Anakku yang Kudambakan menjadi Pemimpin Masa Depan
Ulama ini menyiarkan Islam yang sejuk dan mampu beradaptasi dengan jaman. Dia menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual, bukan tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di Al Qur’an bisa difungsikan dalam kehidupan nyata. Dia juga tak suka memaksakan kehendak. Dari empat putrinya, hanya satu yang memakai jilbab. Dia mendidik anak anaknya dengan keteladanan.
Kecintaan terhadap studi tafsir Al Quran ditanamkan ayahnya, Abdurrahman Shihab yang juga cendekiawan besar di Sulawesi Selatan. Quraish menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6. Umur 14 tahun, dia sudah mahir berbahasa Arab, sehingga ayahnya mengirimnya belajar ke Al Azhar, Kairo, Mesir bersama dengan adiknya; Alwi Shihab.
Pada 1973 ia pulang ke Indonesia dengan menggondol gelar MA dalam bidang tafsir Al-Quran. Tujuh tahun kemudian dia kembali ke Al Azhar dan menggondol gelar Doktor dengan summa cum laude dalam spesialisasi tafsir Al Quran.
Usai pindah dari Sulawesi ke Jakarta pada pertengahan 1980-an, dakwahnya mulai menyebar melalui ceramah di masjid, forum-forum pengajian, televisi dan kantor-kantor. Melalui ceramah, dia kenal dengan Soeharto. Di ujung kekuasaannya, Soeharto sempat mengangkat Quraish jadi Menteri Agama selama 2 bulan.
Tak hanya dakwah dengan lisan, Quraish juga berdakwah melalui tulisan yang dituangkan puluhan buku dan tulisan, termasuk tafsir Al Misbah yang terdiri 15 Volume. Kini, Quraish masih getol menulis. Delapan jam sehari ia habiskan buat menulis di rumahnya, di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan.
Anakku yang Kudambakan menjadi Pemimpin Masa Depan
Surat ini kutulis untukmu dalam usiaku yang telah membelakangiku dan setelah banyak asam garam yang kurasakan sehingga menyadari betapa sulitnya menghadapi perjalanan masa dan perubahan nilai-nilainya… Kutulis untukmu di eramu yang kusadari jauh lebih sulit daripada eraku ketika aku seusiamu.
Anakku! Engkau adalah sebagian dari diriku… bahkan engkau adalah seluruh totalitasku-karena engkau adalah pelanjutku… Namun kendati pelanjutku, aku tidak menuntutmu mengikutiku dengan meletakkan langkahmu di tempat langkahku, tetapi yang kuharapkan darimu adalah mengarah ke tujuan pokok yang dituju oleh mereka yang sukses dalam kehidupan di sini dan di sana—di dunia dan di akhirat kelak.
Anakku !
Sungguh aku mendambakanmu menjadi pemimpin bangsa ini—dalam posisi apa pun-, tetapi aku kuatir jangan sampai engkau terjerumus dalam kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang yang menganggap dirinya atau dianggap orang lain sebagai pemimpin.
Ketahuilah bahwa siapa yang ingin menjadi pemimpin maka hendaklah dia memulai langkahnya dengan mengajar dirinya sebelum mengajar orang lain dan hendaklah pengajarannya itu melalui tindakannya sebelum lisannya. Ketahuilah bahwa seorang yang wajar menjadi pemimpin adalah dia yang di tengah masyarakat layaknya pemimpin padahal dia bukan pemimpin mereka. Bila telah menjadi pemimpin, maka di tengah masyarakatnya ia bagaikan orang kebanyakan.
Anakku—dahulu—ada seorang ayah yang mengharapkan anaknya menjadi pemimpin tetapi hatinya perih karena merasa bahwa dambaan nya itu hanya dapat diraih sang anak dengan menelusuri jalan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur. Sang ayah itu menguraikan kepada anaknya diskusi yang pernah terjadi pada masa Yunani kuno sekitar 2.500 tahun yang lalu. Ketika itu berkumpul sekian banyak philosof membahas makna “Keadilan“. Diskusi dipimpin oleh Socrates dan kemudian direkam oleh Plato dalam bukunya yang populer dengan nama Republik.
Philosof Cephalus, berkata: ”Keadilan tercermin dalam kebenaran ucapan dan kesetiaan membayar utang”. Polemarchus menyatakan bahwa: Keadilan adalah “Memberi bantuan untuk teman-teman dan mengakibatkan mudharat terhadap musuh”, sedang menurut Thrasymachus “Keadilan tidak lain kecuali keberpihakan kepada yang kuat”. Philosof ini mengukuhkan pendapatnya dengan mengajak peserta diskusi memerhatikan kondisi objektif aneka sistem pemerintahan seperti otokrasi, demokrasi, dan aristokrasi. Socrates, pimpinan sidang diskusi itu demikian piawai mengarahkan para peserta diskusi sampai akhirnya mereka mengabaikan pendapat di atas ke pendapat yang lain yang bisa jadi dinilai terlalu mengawang-awang diangkat berbeda jauh dengan pandangan Philosof Thrasymachus yang membumi pada masa itu hingga kini.
Memang, kekuatan diperlukan untuk menjadi pemimpin, tetapi kekuatan dimaksud lebih banyak yang berkaitan dengan kekuatan spiritual dan mental. Pelajarilah sejarah hidup tokoh-tokoh yang namanya hingga kini harum, engkau akan menemukan bahwa mereka tidak mengandalkan kekuatan fisik atau materi.
Kepemimpian—anakku—menuntut kemampuan, kepercayaan yang dipimpin dan cinta mereka. Bahkan dalam pandangan Islam sifat-sifat tersebut harus dipenuhi walau oleh seorang imam/pemimpin dalam shalat, yang pelaksanaannya sangat singkat. “Siapa yang memimpin shalat suatu kaum, sedang mereka itu tidak menyukainya, maka shalatnya tidak melampaui kedua telinganya yakni tidak direstui Tuhan”, demikian sabda Nabi Muhammad SAW.
Anakku! Kita bangsa Indonesia tidak mungkin menerima paham Thrasymachus selama kita masih berketuhanan yang maha esa. Karena Tuhan yang kita yakini wujudNya bukan hanya buat mereka yang kuat tetapi juga buat yang lemah. Memang boleh jadi ada yang berdalih bahwa kekuatan nurani dapat menghancurkan tirani, dan dari sini kekuatan tetap menjadi tolok ukur keadilan, namun mereka lupa bahwa membela orang sakit, berbeda dengan membela penyakit dan bahwa memelihara yang sakit, adalah sekaligus memelihara yang sehat. Di sisi lain, tidak wajar memuji kelicikan untuk meraih kekuatan atau kemenangan, karena yang kalah dalam persaingan sportif, lalu menerimanya secara ksatria lebih terpuji daripada yang menang dengan licik.
Keadilan-hai anakku- adalah: ”Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan menyerahkan hak secepat mungkin kepada pemiliknya”.
Anakku! Dalam masyarakat yang menganut paham Thrasymachus itu tidak banyak gunanya berkeberatan atas penempatan seseorang pada posisi tertentu walau engkau atau orang lain lebih layak menempatinya atas dasar pengetahuan, kemampuan, bakat, dan keuletanmu melebihinya! Tidak ada gunanya engkau mengeluh… karena itulah konsekuensi logika faham pengandalan kekuatan.
Anakku! Ayah yang kusampaikan kisahnya di atas berpesan kepada anaknya dan itu pula pesanku kepadamu. Tulis sang ayah dalam suratnya:
“Jika engkau ingin sukses di mata masyarakatmu, maka lebih baik bagimu mengakui makna keadilan sesuai kenyataan hidup yang dirumuskan oleh Thrasymachus, yakni keadilan yang dibangun tolok ukurnya oleh orang-orang kuat. Jadilah orang kuat dalam ukuran mereka niscaya engkau dinilai adil. Bahkan engkau dapat dinilai cendekiawan walau tanpa ilmu, sastrawan tanpa menggoreskan pena, seniman walau tak faham seni. Tetapi… Tidak dan seribu kali tidak! Aku tidak akan berpesan demikian-karena mereka yang kusebut itu, akan dicari oleh putra-putri generasi berikut tapi mereka tidak ditemukan, bahkan mereka tidak akan dicari karena tidak ada suara yang terdengar dari mereka… tidak ada juga kenangan”.
Anakku! Berkaryalah sepanjang kemampuanmu berkarya. Hubungkan siangmu dengan malammu! Bersungguh-sungguhlah mengejar cita-citamu yang luhur bagaikan kesungguhan bintang-bintang beredar di orbitnya. ”Bila engkau berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk) maka tegakkanlah persoalan baru hingga nyata hasilnya”, begitu pesan Tuhan (bacalah Q.S. Al-Syareh: 7-8).
Anakku, tetapkan untuk dirimu misi untuk engkau perjuangkan, sebab kalau tidak, hidupmu siasia! Memang bisa jadi akan panjang masa yang engkau lalui sebelum memetik buah usahamu, tetapi pasti–dengan izin Allah–engkau akan memetiknya. Lihatlah mereka yang kekal namanya dan dipuji karya dan fikiran-fikirannya dan bertanyalah. “Apakah mereka menganut faham Thrasymachus di atas, ataukah mereka adalah pendukung-pendukung Keadilan sebagaimana dirumuskan oleh orang-orang bijak? Apakah mereka tong kosong yang nyaring bunyinya ataukah mereka orang-orang yang mengetahui posisi dan kemampuan mereka lalu berkarya sehingga kekal namanya dalam lembaran-lembaran sejarah?“ Demikian pesanku, semoga engkau berhasil. Aamiin.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Quraish Shihab, Hal: 122-125.