Rimba, Kampus, Birokrasi
Tak pernah menetap. Ia seperti ditakdirkan berjalan dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Dari Bandung, ia meloncat ke Jakarta, lalu ke Tanjung Enim, ke Jakarta lagi, kemudian ke Aceh, kembali ke Bandung, dan sekarang kembali ke Jakarta. “Saya selalu melihat diri saya itu nomaden,” ucap pria kelahiran Purwokerto 1947 ini.
Dari perjalanan berpindah-pindah itu Kuntoro mencurahkan tenaga dan pikirannya di empat tempat nyaris tanpa jeda: rimba, kampus, korporat, dan birokrasi. Kuntoro akrab dengan hutan sejak bergabung dengan Wanadri, kelompok pecinta lingkungan, sewaktu ia kuliah di Institut Teknologi Bandung pada 1969. Ia lalu jadi birokrat, diangkat sebagai direktur jenderal sebuah departemen, dan jadi menteri. Tak berakhir di sini, ia beralih menjadi direktur perusahaan negara, lalu pulang ke kampus, pindah ke Aceh menjadi Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). “Hidup saya zig-zag sekali,” katanya.
Di semua medan pengabdian itu, Kuntoro dikenal teguh memegang prinsip, terutama jika menyangkut soal penyelewengan. Ia dibenci anggota DPR yang korup karena selalu menolak membahas anggaran di luar gedung parlemen sewaktu memimpin BRR setahun usai tsunami 2004. Anggota DPR tahu dana sangat besar untuk BRR di pundak Kuntoro.
Lepas dari Aceh, ia dipanggil presiden memimpin Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Meski tak tampil di media massa, Kuntoro mengendalikan lembaga di bawah presiden ini untuk menerima pengaduan soal mafia hukum hingga mengawal prosesnya di polisi, jaksa, atau pengadilan. Kini ia memimpin unit di bawah presiden mengawasi kerja para menteri dan memastikan target-target sesuai dengan perencanaan.
Senyampang bekerja di pemerintahan, Kuntoro tetap mengajar di Teknik Industri ITB.
Rabuk Hujan Kabut
Galibnya mahasiswa di manapun, sewaktu kuliah di Bandung, ada kalanya saya disergap bosan dan jenuh oleh rutinitas kuliah. Maka, bergabunglah saya ke Wanadri pada 1969. Masuknya saya ke perserikatan anak muda penempuh rimba dan pendaki gunung itu sedikit-banyak juga karena pengaruh lingkungan kampus saya, Insititut Teknologi Bandung.
Wanadri, dibentuk pada Mei 1964, tersohor dengan pendidikan dasarnya yang cukup keras, disiplin, serta kental akan cinta lingkungan dan Tanah Air. Pendidikan dasar digeber lima pekan. Sepekan terakhirnya berupa long march dari Waduk Jatiluhur menuju Gunung Tangkubanperahu, tempat dilangsungkannya pelantikan. Di antara kedua titik itu, kami harus menaikturuni Gunung Burangrang. Gunung setinggi 2.000-an mdpl yang berlembah-lembah curam ini semula adalah Gunung Sunda Purba. Setelah meletus hebat, Gunung Sunda Purba terbelah menjadi sepasang gunung: Burangrang dan Tangkubanperahu, dengan sebuah ngarai besar di tengahnya. Menurut legenda Sangkuriang, ketika murka atas kegagalannya, Sangkuriang menendang perahu yang terbuat dari segelondongan pohon hingga menjelma Tangkubanperahu. Adapun ranting-ranting (rangrang) pohonnya, menjelma Burangrang.
Kami secara acak dibagi ke dalam regu-regu. Regu saya tujuh orang, belum ada yang saya kenal, kecuali satu orang. Perjalanan siang-malam cukup berat. Tidur sedikit, di alam bebas. Makan-minumpun dari alam. Nilai persaudaraan, bersatu, tabah sampai akhir, betul-betul terajarkan dan diuji di sini. Inilah satu kisah yang, terutama bagi saya, “menorehkan bekas” luar biasa.
Suatu malam, seorang dari kami tanpa sengaja menginjak bara. Satu telapak kakinya melepuh dan berangsur-angsur bernanah, padahal perjalanan masih beberapa hari lagi. Medan berimba makin lebat, naik-turun, sungai, ngarai, banyak onggokan kayu besar maupun onak.
Lukanya makin terbuka, berdarah. Bisa dibayangkan, pasti sakit bukan main. Hingga, pada suatu malam berhujan lebat, di depan tenda yang baru saja kami dirikan, ia memutuskan. “Karena telah menjadi beban bagi regu ini, maka tinggalkan saja saya. Janganlah seluruhnya gagal gara-gara saya,” ujarnya terbata-bata.
Kami terbekap, diam terpaku, pandang-memandangi, saling menanti respons. Saya sendiri terpekur, sedih, dan tentu saja terpukul.
Di tengah himpitan kalut yang amat itu, saya memecah keheningan, menyatakan sikap, “Temanteman, apapun yang terjadi, kita harus bersama-sama. Jika berhasil, berhasil bersama. Jika gagalpun, gagal bersama. Oleh karena itu, saya tidak izinkan teman kita yang satu ini untuk gagal sendirian. Kita akan bantu ia berjalan, bagaimanapun caranya.” Untunglah semua rekan menyetujui.
Setelah dipikir-pikir, itulah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya bikin dalam hidup saya. Mengingat, betapa “nilai yang diajarkan”-nya sungguh telah mewarnai hidup saya bahkan hingga detik ini: rawat sungguh-sungguh itu tali persahabatan dan kesatuan tim.
Kami memapahnya bergantian. Sudah barang tentu perjalanan menjadi melambat, tertatih-tatih, padahal kita dituntut untuk tidak boleh telat di titik penghabisan: Tangkubanperahu.
Beban jadi bertambah, karena pada dua malam terakhir, salah satu rekan lainnya, yang berkaca mata, baru ketahuan ia penderita rabun ayam (nyctalopia). Pantas saja manakala perjalanan malam, ia gampang terpeleset di tempat-tempat yang sewajarnya tidak terpeleset. Artinya, selama ini ia menyembunyikan rapat-rapat keterbatasannya demi menjaga mental kami. Hal ini baru benar-benar kita sadari setelah ia akhirnya terperosok ke jurang yang cukup dalam. Begitu sudah berhasil kita tarik ke atas, saya bilang ke dia dan teman-teman lainnya, “Setelah ini, tampaknya jalan akan semakin susah, curam, dan sempit. Kita perlu bergantian menggandeng teman kita ini agar tidak terperosok lagi.”
Kini, dua orang sudah, dan kita bergantian membantunya. Dalam perjuangan, hal seperti ini adalah khas. Di keprajuritan, manakala ada rekan yang tertembak, masak ditinggal? Kita mesti bantu meski kemungkinan kita tertembak menjadi semakin besar.
Perjalanan kian berat manakala hujan seperti mengamuk. Dalam seminggu yang terasa lama itu,hujan atau kabut nyaris selalu menemani penjelajahan kami. Kaki nyaris becek melulu. Itulah mengapa, belakangan, Wanadri angkatan kami disebut sebagai “Angkatan Hujan Kabut”.
Kami tiba di Tangkubanperahu 2-3 jam menjelang upacara pelantikan, sekitar 04.00 WIB. Singkat cerita, kami semua akhirnya berhasil menamatkan pendidikan dasar itu. Puji Tuhan, ini adalah buah dari perjuangan bersama.
Itu empat dekade lampau. Hari ini, di Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, saya bekerja dibantu 30-an orang. Separuhnya, anak-anak usia 20-an tahun. Meski saya sebut “anak-anak”, karena memang sepantaran anak-anak saya, dalam bekerja, mereka adalah sahabat-sahabat saya. Kami adalah sebuah tim zonder hierarki, laksana regu “Hujan Kabut” Wanadri yang itu.
Saya sadar barangkali ini bukanlah kisah yang spektakuler. Namun, nilai di dalamnya yang terbawa terus, telah membentuk diri saya menjadi seperti sekarang. Kisah ini meyakinkan saya bahwa tidak ada tujuan dalam hidup ini yang dapat dicapai sendirian kecuali dengan bekerja dan berjuang bersama orang lain. Di dalam kebersamaan, satu sama lain dituntut untuk menciptakan rasa aman dan terlindungi. Inilah pupuk bagi tumbuh-suburnya kepercayaan, trust, demi mencapai tujuan bersama. Sederhana sekali, namun susah untuk dibangun alih-alih dijaga.
Dalam level yang lebih luas, dengan trust ini pulalah anak-anak muda pendahulu kita di segenap penjuru Nusantara sampai berani mati meleburkan identitas primordial “yang telah” melekat ke dalam kibaran satu identitas Indonesia “yang kelak”. Laksana semut, mereka menyebar dan bergerilya di Indische Partij, di Sumpah Pemuda, di kegentingan peristiwa Proklamasi, di Bandung Lautan Api, di Jembatan Merah Surabaya, dan lain-lain. Berlimpah kebanggaan meski juga berlimpah risiko.
Sama. Itu pulalah kiranya nilai yang saya bawa dan rawat terus dalam pertemanan, serta terutama dalam mengemban tugas negara dan di medan pendidikan. Semaian rabuk itulah yang menumbuhkan semangat tiada kenal lelah dalam membangun noktah-noktah ke-Indonesia-an saya hingga detik ini.
Anda?
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Kuntoro Mangkusubroto, Hal: 119-121.