Gagah dalam Kemiskinan
Oleh: Bre Redana 1 Komentar FacebookTwitter
Seperti sering saya katakan, setiap kali pulang kampung saya selalu diajak rerasan mengenai segala hal, dianggap saya tahu segala hal. Padahal, siapa artis-artis sinetron paling populer sekarang pun, saya tidak tahu. Seandainya berpapasan di mal, mereka di depan hidung saya telanjang sekalipun, saya tak akan mengenali. Para pekerja rumah tangga dan sanak-saudara di kampung dijamin lebih tahu dari saya.
Salah satu sepupu saya sangat suka bicara politik. Cita-citanya jadi lurah. Dia bertanya kenapa para koruptor banyak bolo-nya. Bolo artinya teman, kelompok (kalau tidak ingin menyebut gerombolan), sekutu. Dilanjutkannya dengan berujar sendiri, kenapa kalau melihat pengacara bicara di televisi, katanya kepalanya jadi mumet, pusing, dunia serasa jungkir balik. Para pengacara juga dikomentarinya sebagai sangat mewah. Cincin dan arlojinya bertatah berlian.
”Mumet ndasku nek weruh pengacara ngomong,” ucapnya.
Itulah yang saya nikmati di kampung. Bahasa mereka otentik, spontan, sarkas. Kadang saya terbawa ngawur.
”Kamu tahu Veblen?” tanya saya.
”Sopo kuwi?” ia bertanya dalam bahasa Jawa, artinya siapa dia.
”Pemikir. Kamu mau jadi lurah harus tahu. Tahun 1800-an ketika di Jawa zaman tanam paksa, dia sudah bikin buku, The Theory of Leisure Class,” jawab saya.
”Saya tidak perlu bahasa Inggris. Orang-orang kampung tidak ngerti. Saya cuma pengin jadi lurah ndeso, bukan presiden. Bahasa Jawa saja,” sergahnya.
Dengan bahasa Jawa saya katakan padanya, bahwa dasar pemikiran Veblen sederhana, yakni orang mengukur kemakmuran dan kekuasaan berdasar uang. Dalam istilah Veblen, ”pecuniary power” (yang ini tidak saya terjemahkan, karena jujur saya tidak tahu apa terjemahannya paling tepat. Biar saja dia bingung). Itu sebabnya mengapa koruptor banyak bolo-nya.
”Semua kecipratan uang…” komentarnya.
Ya, jawab saya. Sedangkan pengacara harus tampil mewah, karena itu tanda dia telah sukses, telah laku. Kalau belum laku, jadi LSM.
Saudara saya tertawa terkekeh-kekeh.
”Pertama memberi, kemudian mengambil…” ucapnya. Diam-diam saya akui kecerdasannya.
”Kamu tahu philanthropy?” tanya saya. Dia menggelengkan kepala. Saya terangkan, philanthropy adalah semangat untuk memberi. Nah, semangat itu kadang dimanipulasi, memberi terlebih dahulu, belakangan mengambil lebih banyak. Mekanisme politik di Indonesia berjalan seperti itu. Siapa pun yang ingin menjadi pegawai negeri, wakil rakyat, penguasa, akan mengobral janji serta uang, sebelum nantinya mereka mengambil lagi berlipat-lipat banyaknya, sampai triliunan.
Semenjak sukses, kemakmuran, serta kekuasaan dasarnya uang, maka perolehan uang dengan sendirinya harus diperlihatkan. Ini berlaku untuk siapa saja, dari pendangdut, pengkhotbah, CEO, penguasa, dan lain-lain. Wujudnya bisa rumah mewah, mobil mewah, termasuk tubuh yang dijadikan etalase kemakmuran. Mereka bungkus tubuh dengan barang-barang bermerek dan perhiasan gemerlapan.
”Padahal kalau mati itu semua tak dibutuhkan,” kata dia, mengutip nasihat klise.
”Itu soal pelepasan. Pertanyaannya, mana lebih mudah, mencari atau melepaskan?”
Ia berpikir sejenak.
”Kayaknya lebih mudah mencari. Apalagi kalau melihat nasihat para pembangkit motivasi di televisi. Pesertanya mendengar sambil berteriak-teriak girang dan penuh semangat. Untuk jadi kaya kemudian bahagia sepertinya gampang banget,” ucapnya.
Pembicaraan di kampung bisa merembet ke mana-mana seperti itu. Sama sekali tidak sistematik dan terpola seperti di kalangan akademik, ataupun di antara pemikir-pemikir pintar di ruang-ruang seminar.
”Bagaimana tidak disebut lebih mudah mencari. Orang miskin diajari tinggal mengemis, antre meminta bantuan langsung tunai,” katanya melanjutkan.
”Kamu ikut antre?” tanya saya.
”Tidak,” jawabnya. ”Aku ingat kata-kata penyair, yang suka kamu ucapkan dulu.”
”Apa itu?” saya sudah lupa pernah mengucapkan apa padanya.
”Gagah dalam kemiskinan…” ia mengutip Rendra.
Saya tertawa. Mudah-mudahan dia jadi lurah.
Sumber: KOMPAS, Minggu, 24 November 2013.