Penghayat Kebebasan
Bagi Bambang Harymurti, kebebasan adalah bagian dari ‘iman’. Ia menjadi wartawan Tempo pada 1982, dua tahun sebelum lulus dari jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung. Ketika itu rezim Suharto sedang angot-angotnya membatasi suara publik lewat media massa.
Mencintai dan menyuarakan kebebasan membuat Bambang selalu mencari perspektif lain dari sebuah masalah. Sebagai calon insinyur yang belajar ilmu pasti, ia melihat teman-temannya menganggap apapun punya jawaban tunggal. “Sebab mesin itu yang penting jalan,” kata dia. Dari situ ia belajar bahwa memiliki banyak perspektif tentang sesuatu itu baik.
Tak hanya di dalam negeri, Bambang populer di komunitas wartawan internasional. Terutama karena kiprahnya mewujudkan kebebasan pers dan bersuara di Indonesia. Sebab, ia percaya kebebasan berfaedah bagi banyak orang. Di Cina, ia kerap mencontohkan, 28 juta orang mati karena kelaparan akibat informasi dibatasi negara. Sementara di Yahukimo, Papua, kelaparan segera bisa ditangani karena informasi yang deras ke segala penjuru.
Begitu pula dalam demokrasi. Baginya demokrasi harus riuh. Sebab ujian utama sistem ini adalah kesediaan tiap orang mendengar orang lain yang tak sepaham, kendati menjengkelkan. Otoritarianisme, masa yang membentuk Bambang, sudah mengajarkan keputusan dari satu kepala kerap merugikan orang banyak.
Bambang juga suka menyitir kutipan Edmund Burke, ilmuwan politik Inggris yang mengatakan “Demokrasi berpotensi menampilkan kekuatan jahat, jika orang baik membiarkannya berkuasa.” Maka ia tak lelah menyebarkan virus kebebasan, modal dasar hidup bernegara. Di Tempo, ia selalu mengingatkan agar majalah itu selalu menjadi ‘clearing house of information’, lembaga yang menjernihkan persoalan agar semua problem bisa dipecahkan sesuai porsinya.
Kepemimpinan
Bagi saya kepemimpinan itu bukan sekadar kemampuan memengaruhi orang lain agar melakukan apa yang kita inginkan.
Sebab kepemimpinan itu amat beragam. Banyak sekali sisinya.
Kepemimpinan di perusahaan misalnya, tentu berbeda dengan di keluarga atau birokrasi.
Kepemimpinan yang baik bagi seorang jenderal tentu tak sama dengan CEO.
Bahkan, kendati sesama jenderal, kepimpinan di medan perang dan disaat damai tidaklah serupa.
Tengoklah kepemimpinan yang di perlukan dikampu yang kental dengan nuansa intelektualitas, dan bandingkan dengan kepemimpinan yang dibutuhkan dijalan raya.
Belum lagi soal demise waktu. Kepemimpinan yang diperlukan sekarang jelas tak dapat dipenuhi kepemimpinan masa silam.
Setiap masa memang mempunyai tantangan sendiri, dan setiap tantangan memerlukan kepemimpinan yang unik.
Itulah sebabnya kita perlu demokrasi, sebuah proses periodik untuk mengganti pemimpin dan gaya kepemimpinan.
Jadi, dari begitu banyak sisi kepemimpinan ini, yang mana yang akan ditonjolkan? Manakah yang paling penting?
Setiap orang, setiap kepentingan, tentu punya jawaban tersendiri. Dan itu sah.
Tapi, bagi saya, kepemimpinan yang paling penting justru berada di dalam diri sendiri.
Itulah kemampuan mengendalikan perilaku agar selalu sesuai dengan panggilan hati, cerminan jujur hati nurani.
Itulah jihad, seru nabi Muhammad SAW. Itulah kehidupan beretika, teriak Socrates satu millennia sebelumnya.
Itulah inti dari semua kepemimpinan.
Setidaknya bagi saya seorang.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Bambang Harymurti, Hal: 82-83.