Bencana Itu Mulai Terlihat
Oleh: Handining
Kalimantan dan batubara tak terpisahkan. Komoditas ini menjadi penggerak ekonomi pulau ini. Di berbagai tempat, alat-alat berat berseliweran mengeruk isi bumi Kalimantan. Entah apa yang tersisa kelak?
Samarinda merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur. Sekitar 71 persen wilayah Samarinda masuk dalam konsesi batubara. Di pinggir kota itu jalan-jalan berdebu dan pemandangan galian-galian tambang tampak jelas. Banjir pun sudah menjadi langganan.
Cobalah tanya warga Samarinda mengenai pendapat mereka tentang kotanya sendiri. Mereka sudah putus harapan karena kotanya kotor, berdebu, dan sering kebanjiran. Ketika akhir pekan, banyak warga Samarinda berekreasi ke Balikpapan, kota tetangga, meski harus menempuh 130-an km.
Begitu dekatnya tambang dengan permukiman, menyisakan harap-harap cemas penduduknya. Sebuah kompleks perumahan di Lhok Bahu, Sungai Kunjang, Samarinda, misalnya, hanya berjarak tak lebih 30 meter dari tambang. Lokasi itu pun cuma 10-an km dari kantor gubernur Kalimantan Timur.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur—lembaga swadaya masyarakat yang konsen memantau tambang—mencatat luas konsesi tambang batubara di Kalimantan Timur, termasuk Kalimantan Utara, provinsi baru pemekaran Kalimantan Timur, sekitar 5,4 juta hektar. Ini sekitar 27 persen luas daratan Kalimantan Timur-Kalimantan Utara. Sekadar perbandingan, luas Kalimantan Selatan hanya 3,7 juta hektar.
Sebanyak 1.448 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemkab/pemkot dan 33 IUP yang diterbitkan pemerintah pusat bercokol di Kaltim. ”Dari luas konsesi 5,4 juta hektar itu, 40 persennya sudah ditambang,” ujar Merah Johansyah, Bagian Hukum Jatam Kalimantan Timur.
Setelah era kayu, batubara jadi primadona di Kaltim. Ketika keran otonomi daerah dibuka, kabupaten-kabupaten seakan ”menggila” dengan memberikan izin tambang sesuka hati. Dari 14 kabupaten/kota di Kaltim, hanya Balikpapan, Bontang, dan Tarakan yang tak tergerus batubara.
Situs resmi Pemprov Kaltim menyebutkan, cadangan batubara di Kaltim—termasuk Kalimantan Utara/Kaltara—25,13 miliar metrik ton (atau sekitar 38 persen cadangan batubara nasional). Produksinya diperkirakan mencapai 120,5 juta ton per tahun, atau 68,5 persen produksi nasional. Cadangan batubara diperkirakan bisa untuk 90 tahun.
Cadangan yang melimpah membuat Kaltim lupa daratan. Tidak hanya lahan menganggur yang dikeruk dan dibabat, tapi juga kawasan konservasi. Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, misalnya, tak luput dikeruk sehingga jadi bahan lelucon di kalangan pemerhati lingkungan.
Tambah ironis, mayoritas batubara (kualitas tinggi) yang dikeruk dari perut Kaltim bukan untuk penduduk Indonesia, melainkan diekspor. Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswo Utomo dalam Kaltim Summit 2013 di Balikpapan, akhir Juli lalu, menyebutkan, cadangan batubara Indonesia saat ini 28 miliar ton. Produksi per tahun sekitar 400 juta ton, dan 325-330 juta ton diekspor.
Lalu, apa yang didapat penduduk Kaltim? Jawabannya, bencana karena alam rusak plus konflik. Warga RT 010 Lempake Samarinda tentu ingat ketika pada November 2008 bendungan tambang yang jebol menyebabkan air limbah mencemari kolam-kolam lele mereka. Sampai sekarang, Lempake tidak bisa lagi bangkit, padahal dulu merupakan sentra lele.
Kecamatan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara yang dulu merupakan sentra padi, kini wajahnya bopeng-bopeng. Desa Sungai Merdeka di Samboja yang masih asri dan hijau tahun 2000, kini menyisakan pemandangan bukit-bukit gundul berwarna coklat. Resapan air hilang sehingga banjir datang.
Suyuti (58), warga Sungai Merdeka, yang juga Ketua Kelompok Tani Rukun Abadi, mengestimasi, setidaknya 1.000 hektar sawah di Sungai Merdeka tak bisa lagi menjadi sawah. Itu karena sawah terendam air sebagai imbas dampak tambang. Ia menyebutkan, kini hanya tersisa 200 petani di Sungai Merdeka, atau seperlima dari jumlah petani tahun 2000.
Tambang tak hanya menghabisi alam, tetapi juga merenggut nyawa. Perusahaan tambang skala kecil yang asal keruk dan pergi meninggalkan lubang-lubang menganga. Lari dari kewajiban mereklamasi. Hasilnya, sejak tahun 2011 hingga sekarang, sudah enam anak tewas tercebur kolam bekas kerukan tambang. Perlu diingat, semua lokasi kejadiannya hanya di Kota Samarinda.
Sejumlah kalangan yang jengkel akan tambang batubara di Samarinda mengajukan gugatan warga (citizen law suit), dan sekarang tengah menjalani sidang mediasi. Sebanyak 19 warga yang tergabung dalam Gerakan Samarinda Menggugat menuntut sejumlah pihak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Samarinda dan pemulihannya.
Kondisi Kaltim sepertinya tidak menjadi pelajaran. Provinsi Kalimantan Utara, pemekaran dari Kaltim, sepertinya akan meneruskan jejak Kaltim. Rencana pembangunan terminal batubara di Pulau Miang Besar, Kabupaten Kutai Timur, misalnya, menggambarkan itu.
Kalimantan Utara yang terdiri dari Kabupaten Malinau, Tana Tidung, Nunukan, Bulungan, dan Tarakan menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa. Minus Tarakan yang mengandalkan migas, empat daerah lainnya belum banyak tersentuh tambang. Ada peluang mengeruk batubara dari sana.
Hal yang sama terlihat di provinsi tetangga Kalimantan Timur. Kalimantan Selatan dikenal sebagai penghasil batubara terbesar kedua di Indonesia setelah Kalimantan Timur. Pertambangan batubara ini memunculkan sejumlah persoalan. Salah satu masalah itu ialah soal reklamasi bekas galian yang masih cukup kecil, di samping adanya tumpang tindih lahan.
Mengenai munculnya persoalan lingkungan dibenarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, perusahaan tambang yang melakukan reklamasi baru dalam skala kecil. Banyak perusahaan, terutama pemegang IUP, tidak melakukannya.
Alasannya lubang tersebut hendak ditambang lagi di kemudian hari. Akhirnya yang terlihat hanya bekas-bekas galian berukuran raksasa yang menganga begitu saja dan sebagian terisi air menjadi danau-danau buatan. Pemandangan seperti ini tampak di daerah-daerah penghasil tambang, seperti Kabupaten Tanah Bumbu, Kotabaru, dan Tanah Laut.
”Bahkan, di beberapa tempat tidak ada satu pun perusahaan yang melakukan reklamasi secara baik dan benar. Alasannya, lubang itu mau ditambang lagi, sengaja tidak ditutup. Alasannya selalu itu,” ujarnya.
Dari catatan Walhi, berdasarkan yang terdata, ada ratusan tambang batubara di Kalsel. Tambang-tambang tersebut di antaranya 19 buah mengantongi izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (7 buah telah beroperasi) dan 652 Izin Usaha Pertambangan.
”Di luar itu masih ada tambang mineral lain yang jumlahnya 91 buah dan pertambangan tanpa izin yang beroperasi secara diam-diam,” katanya. Wilayah Kalsel yang diperuntukkan bagi tambang sendiri mencapai 1,2 juta hektar dari total wilayah yang hanya 3,7 juta hektar. Dari 1,2 juta hektar, sudah ditambang sekitar 669.000 hektar.
Mengenai maraknya pertambangan tanpa izin dibenarkan Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Rachmadi Kurdi. Sebelumnya, menurut Rachmadi, jumlah pertambangan tanpa izin diperkirakan lebih dari 100 buah. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang mulai merambah kawasan hutan lindung.
Ada beberapa daerah rawan tambang ilegal, yakni Kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut. Penyebabnya daerah tersebut umumnya memiliki wilayah luas dan mengandung potensi batubara besar. Dikatakan Rachmadi, pihaknya kesulitan melakukan penertiban karena anggota polisi hutan terbatas.
Jumlah polisi hutan di Kalsel hanya 150 orang, artinya 1 orang mengawasi lahan seluas 5.000 hektar. ”Batubara ilegal ini laku di pasaran karena ada yang bersedia membeli. Hal ini dipermudah oleh adanya pelabuhan khusus yang bersedia memfasilitasi,” ucapnya.
Sama seperti di Kaltim dan Kalsel, di Kalimantan Tengah (Kalteng) pun bahan bakar mineral satu-satunya yang ditambang adalah batubara. Peningkatan eksploitasi batubara dicerminkan dengan nilai ekspor komoditas tersebut yang cenderung terus tumbuh.
Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas menjelaskan, pihaknya mencatat 13 izin tambang dengan luas total 774.574 hektar di Kalteng yang berada di kawasan moratorium. Di Kalteng terdapat sekitar 3 juta hektar lahan gambut yang termasuk obyek moratorium.
Moratorium diterapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Instruksi berlaku selama dua tahun yang berakhir pada 20 Mei 2013. Pemerintah kemudian melanjutkan moratorium selama dua tahun berikutnya.
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang telah mendesak agar penundaan pemberian izin baru diteruskan dan pemerintah pusat memenuhi permintaan itu. Pemerintah Provinsi Kalteng sempat mengirimkan surat mengenai usul perpanjangan moratorium kepada Presiden, awal Mei 2013.
Langkah lain, yakni menolak rencana pembangunan rel kereta api dari Kalteng ke Kaltim sepanjang 135 km itu. Rencana yang dicetuskan investor Rusia itu dikhawatirkan merusak hutan lindung di Kabupaten Murung Raya. Dan tentu saja, jelas akan merusak secara masif.
Alam Kalimantan sangat kaya, mulai dari hutan, tambang, laut, hingga minyak dan gas. Namun, satu demi satu dikeruk. Penebangan tak terkontrol di era 1970-1990-an menghabiskan pohon. Era kayu selesai, migas dan batubara giliran diambil. Setelah itu, apalagi yang tersisa untuk warga Kalimantan? Bencana sudah di depan mata.
(Lukas Adi Prasetya/Dwi Bayu Radius/Defri Werdiono)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.