Kemandirian dan Martabat Bangsa
Ketika gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 2004, Panglima TNI Endriartono Sutarto mengundang tentara asing masuk Serambi Mekah untuk tugas kemanusiaan. Keputusan itu memantik kontroversi: Panglima TNI dituding merendahkan martabat bangsa. “Kalau saya tak segera menghubungi mereka, mungkin akan lebih banyak korban,” ujarnya.
Peralatan TNI sangat terbatas, sedang jumlah korban tewas lebih dari 106 ribu. Ratusan ribu orang yang selamat terlantar tak tentu tempat berlindung. Sutarto mendahulukan keselamatan ribuan nyawa.
Tono, sapaan akrabnya, punya pandangan soal demokrasi dan hubungan sipil-militer. Menurutnya, kebijakan politik ada di tangan sipil dan TNI tidak boleh turut campur. Tapi soal teknis di lapangan — dalam suatu operasi militer — sipil tidak boleh cawe-cawe. Sipil hanya memutuskan negara berperang atau tidak dan TNI tidak boleh mengintervensi keputusan itu. Jika seorang tentara ingin jadi politisi, ia harus melepas seragam tentara, lalu masuk partai politik.
Tono nyaris jadi orang sipil saat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, selulus SMA . Namun ayahnya, Sutarto, tentara yang juga sarjana psikologi, melihat sang anak lebih berbakat jadi militer. Maka, ketika diterima Akabri, Tono langsung berangkat.
Selepas lulus Akabri, dia menjalani banyak tugas. Saat suhu politik mendidih menjelang pergantian kekuasaan Soeharto ke Habibie pada 1998, Endriartono adalah Komandan Komandan Pasukan Pengaman Presiden. “Saya menekankan pada prajurit: yang kami jaga bukan pribadi, tapi institusi,” katanya.
Pada 30 September 2012 di Bandar Lampung, dia mengumumkan bergabung dengan Partai Nasional Demokrat yang d mengusung program Restorasi Indonesia. “Saya ingin ikut ambil bagian dalam perubahan itu,” ujarnya.
Kemandirian dan Martabat Bangsa
Pada kesempatan ini saya ingin bercerita kepada para Pemimpin masa depan bangsa tentang pentingnya keberanian, kerja keras, dan komitmen yang dilandasi rasa cinta tanah air, serta keyakinan akan kemampuan sendiri, untuk menjadikan Indonesia lebih mandiri dan bermartabat di mata dunia.
Mengawali hal itu, saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan satu saja dari banyak aspek yang memprihatinkan dan mengusik harga diri kita sebagai orang Indonesia, menyusul peristiwa Reformasi 1998. Perasaan harga diri bangsa yang terkoyak menyaksikan bagaimana Direktur Pelaksana International Monetary Funds (IMF) yang dengan angkuh melipat tangannya menyaksikan Presiden kita menanda-tangani Surat Pernyataan Berkendak (Letter of Intention) untuk merestrukturisasi ekonomi nasional dengan mengikuti ketentuan-ketentuan IMF, sebagai syarat persetujuan pinjaman dari IMF.
Sesungguhnya, kala itu negara kita terperangkap dan tersudut dalam banyak dimensi. Sebagai seorang militer aktif, saya sungguh merasakan pahit getirnya mengalami embargo persenjataan. Terasa betapa tak berdayanya kita, karena ketergantungan pasokan alat utama sistem persenjataan (alutsista) kita. Negara berdaulat seperti Indonesia tiba-tiba harus mendapati bahwa alutsista untuk menjamin pertahanannya tidak lagi mendapat pasokan suku cadang yang diperlukan. Investasi triliunan dalam pesawat tempur, tank, kapal perang, artileri, dan persenjataan lainnya menjadi terancam tidak bisa digunakan ketika negara pemasoknya melakukan embargo kala kita berbeda pendapat dengan mereka.
Pengalaman pahit tersebut mempertebal kesadaran akan perlunya kemampuan dan kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan demi tegaknya kedaulatan dan harga diri kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, ketika kemudian saya memperoleh kepercayaan memimpin TNI, dengan teguh saya terus berupaya mengurangi ketergantungan peralatan persenjataan kita kepada negara lain.
Sebagai langkah antara, saya berusaha menganeka-ragamkan sumber pasokan alutsista. Saat itu saya mengusulkan untuk membeli pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia, dimaksud agar kita tidak lagi terlalu bergantung kepada negara pemasok yang itu-itu saja selama lebih dari 3 dekade. Tetapi jauh di lubuk hati, saya bermimpi bahwa pada suatu saat Bangsa ini harus bisa dan saya yakin akan bisa memenuhi sendiri kebutuhan peralatan pertahanannya, yang lahir dari tangan-tangan cerdas putra-putri Ibu Pertiwi.
Sebagai Panglima TNI, pada tahun 2004, saya meminta PINDAD untuk mendisain dan membuat sendiri kendaraan tempur lapis baja angkut personil. Kesungguhan dan kerja keras personil PINDAD menghasilkan kendaraan tempur Angkut Personil Ringan (APR), yang lalu memotivasi untuk terus bergerak maju. Dengan mensinergikan kemampuan nasional yang ada, serta upaya tanpa kenal lelah, PINDAD lalu menghasilkan Kendaraan Angkut Personil Lapis Baja yang lebih besar dan canggih: Panser ANOA 6×6, dalam berbagai varian yang diakui PBB untuk ditugaskan dalam operasi pasukan PBB, yang lalu diminati banyak negara lain. PINDAD juga saya minta untuk mendisain Senapan Serbu yang berbobot ringan dengan jarak tembak jauh serta akurasi tinggi. Setelah melalui pembuatan beberapa prototype, PINDAD lalu menghasilkan Senapan Serbu SS.2 berbagai varian yang saat ini merupakan jenis senapan serbu yang akurasinya terbaik di dunia.
Saya sangat bangga dengan prestasi putra-putri Indonesia menjawab tantangan, sebuah permulaan sangat baik, yang saya yakin dengan mudah bisa dikembangkan lebih lanjut bermodalkan kemauan kerja keras dan komitmen yang dilandasi rasa cinta mendalam kepada tanah air Indonesia.
Kini, setelah meninggalkan dinas militer dan kembali menjadi warga sipil, saya melihat bahwa sesungguhnya kemandirian yang harus kita perjuangkan ternyata sangatlah luas. Berbagai aktivitas saya kemudian menunjukkan betapa ketergantungan kita kepada dunia luar membuat kehidupan kita terombang-ambing oleh gejolak internasional. Masih segar dalam ingatan kita betapa harga kedelai di pasar internasional menggoyang ketenangan harga tahu-tempe yang merupakan makanan sederhana rakyat Indonesia. Negeri ini negeri subur dan kaya akan sumber energi, tetapi kita sering dihadapkan pada gejolak harga yang mengganggu kesejahteraan rakyat banyak; yang seharusnya tidaklah perlu terjadi.
Kita memiliki banyak sumber gas alam dengan harga keekonomian yang jauh lebih rendah dibanding bahan bakar minyak (BBM). Sayangnya kebijakan dan pola konsumsi selama ini telah membuat kita terperangkap pada energi BBM, memaksa pemerintah menyubsidinya dengan menyerap APBN dalam jumlah sangat besar. Produksi gas alam yang harga keekonomiannya relatif murah diekspor ke berbagai negara, sementara pembangkit listrik dalam negeri terus menggunakan BBM yang mahal. Konversi energi kendaraan bermotor dari BBM ke BBG yang kalau itu dilakukan, pemerintah akan terbebas dari beban subsidi, sampai hari ini belum optimal dilakukan.
Meski konversi ini pada awalnya memerlukan investasi besar, tetapi dalam jangka panjang akan sangat menguntungkan, dan lebih penting lagi membuat kita tidak lagi rawan akan gejolak harga minyak dunia. Sekali lagi, kita hanya butuh kerja keras dan komitmen yang dilandasi rasa cinta mendalam kepada tanah air Indonesia, untuk merebut kemandirian kita di bidang pangan, energi, alutsista dan kemandirian di bidang-bidang lainnya.
Para Pemimpin Indonesia Masa Depan yang saya banggakan, demikian sekelumit yang bisa saya bagikan dengan kalian semua, semoga dapat menjadi bahan perenungan guna menggelorakan semangat dan optimisme bagi masa depan, bagi kemandirian, dan bagi martabat bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Endriartono Sutarto, Hal: 25-27.