Srikandi Lingkungan Bernama Erna
Rambutnya pendek, kupingnya tanpa giwang. Wajahnya tak pernah dipupuri aneka perona. Tubuhnya mungil—tingginya152 sentimeter—tapi menyimpan energi berlimpah, enduransi tinggi—dan cinta yang mendalam pada pelestarian lingkungan.
Terampil memimpin diskusi, seminar, perempuan ini gigih berdebat membela nasib alam raya. Perempuan langka ini bernyali menghardik siapa saja yang menghancurkan dan mencuri isi hutan.
Bakat memimpinnya muncul sejak belia. Erna lahir di Sengkang, kota kecil dekat Danau Tempe, Sulawesi Selatan. Di sekolah menengah dia memiliki grup band wanita, Makrejareja, artinya: bergembira ria, Erna menjadi pemain drum.
Ketika kuliah di ITB Jurusan Kimia Teknik, ia giat berorganisasi. Pernah menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), 1970. Di sini Erna berkenalan dengan Rahmat Witoelar, Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Perkenalan ini berujung di pelaminan, 1972.
Perempuan yang aktif dan cerdas ini memimpin Konsorsium Filantrofi Asia Pasifik (APPC), Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD), dan menjadi Ketua Bersama Asia Pacific Water Forum (APWF), serta Presiden Konsumen Internasional dan Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI ).
Erna pernah setahun menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah di era Presiden Abdurrahman Wahid. Erna berpendapat, pemerintah daerah perlu mengantisipasi permukiman liar sedari awal. Caranya? Beri peringatan ketika baru ada satu atau dua bangunan di wilayah terlarang. “Jangan orang diusir setelah penuh dan bertahuntahun tinggal di situ,” ujarnya.
Erna adalah anggota Dewan sejumlah lembaga swadaya masyarakat Indonesia seperti di Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Yayasan Pembangunan Berkelanjutan, dan Dana Mitra Lingkungan. Dia salah satu pendiri dan pernah menjadi Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Kawan,
Sebagai orang muda, apalagi menjadi pemimpinnya, kita benar-benar mengalami masa yang menggairahkan. Kita bisa bereksperimen dalam berbagai cara yang kreatif umtuk bersama-sama memperjuangkan suatu misi. Apakah itu upaya mencegah kerusakan lingkungan, memberdayakan masyarakat marjinal, menentang korupsi, atau berkampanye soal hak-hak konsumen, semua bisa dilakukan dengan kreatif. Sebagai aktivis lingkungan dahulu, kami yang pertama menuntut presiden, gubernur, dan industriawan perusak lingkungan ke pengadilan. Tentu saja kami tahu akan kalah, namun kami merasa “menang” menemukan cara kreatif yang menarik perhatian dan simpati orang banyak dalam menyampaikan aspirasi kami ketika itu.
Kita bisa saja berjuang dengan marah. Kemarahan membuat kita lebih berani, tidak takut siapapun, asal kita bisa “mengendalikan” kemarahan kita. Pengalaman saya, kalau kemarahan kita kebablasan, orang tidak lagi mendengarkan apa yang kita perjuangkan, tapi belum apa-apa sudah alergi terhadap kita. Kemarahan juga bisa kita salurkan secara lucu, alegoris, dan kreatif… ini sering lebih effektif.
Ketika masih muda, kita punya “kemewahan” bisa melihat suatu masalah hanya dari satu sisi suatu koin. Kita tidak perlu melihat sisi lainnya, hingga bisa lebih jernih melihatnya, lebih tajam menemukan masalah utamanya dan lebih sederhana melihat solusinya. Itu juga menyebabkan kita bisa lebih nyaring bersuara, serta lebih yakin dan percaya diri dalam menyampaikan pendapat kita.
Ketika sudah tidak muda, kita sudah harus melihat kedua sisi koin itu. Orang bilang, ketika itu kita bisa saja “tidak melihat apa-apa” lagi. Cobalah melihat coin dari samping; kan tidak kelihatan kedua gambarnya? Bisa saja suara kita jadi tidak selantang dulu. Namun kita tetap bisa menjalankan kepemimpinan yang menjembatani…istilah kerennya bridging leadership. Kita hanya bisa melakoni peran ini juga kalau dari muda sudah gaul dan jadi pemimpin. Teman-teman masa muda saya kini sudah menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing, dan kami bisa berdialog mencari titik temu. Saya jadi bisa melihat juga sisi lain dari koin itu dengan sama jelasnya, dan bisa menjembatani berbagai pihak. Baik itu LSM dengan pemerintah, dunia usaha, donor, dan badan-badan internasional; atau pemerintah nasional dengan daerah; negara maju dengan berkembang; maupun tua dengan muda; laki-laki dengan perempuan….dst.
Memang banyak hal yang perlu dijembatani untuk bisa bekerja sama. Tantangan yang dihadapi Indonesia besar sekali, kita butuh bekerja sama “mengeroyok” semua permasalahan. Kita tidak bisa lagi kerja sendiri-sendiri, dengan hanya melihat sisi kita masing-masing. Kita perlu menggalang yang terbaik dari masing-masing sisi, kemudian membangun sinergi, menghasilkan energi positif…. dan bersama- sama “menjadi Indonesia”….
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Erna Anastasia Witoelar, Hal: 13-14.