Empu Jurnalistik yang Tak Pernah Lelah
Membicarakan kebebasan pers di Indonesia tak akan lengkap tanpa menyebut nama Atmakusumah Astraatmadja. Pada periode menentukan pasca kejatuhan Presiden Soeharto, dialah salahsatu motor utama di balik revisi UU Pokok Pers buatan rezim Orde Baru. Dia percaya kebebasan pers adalah modal penting untuk merawat demokrasi Indonesia yang kala itu masih teramat muda.
Hasilnya: UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, sebuah undang-undang yang dengan tegas menyatakan keberpihakan pada kebebasan pers. Sejak itu, wartawan Indonesia tidak bisa lagi dipenjarakan karena beritanya. Jika semua prosedur dan etika jurnalistik telah ditaati, sengketa pers cukup diselesaikan dengan hak jawab dan koreksi. Ini tentu lompatan jauh dibandingkan jaman Orde Baru ketika jurnalis yang kritis dan berani setiap saat bisa dibui.
Undang-undang ini juga memandatkan adanya lembaga Dewan Pers yang independen untuk menyelesaikan sengketa pers. Setahun kemudian, pada 2000, Atmakusumah terpilih menjadi Ketua Dewan Pers pertama pada masa reformasi.
Pada tiga tahun kepemimpinannya, Atmakusumah meletakkan fondasi bagi perlindungan kebebasan pers di negeri ini. Dia memberi contoh bagaimana menyelesaikan sengketa pemberitaan antara media dan masyarakat, menghalau mereka yang masih ingin mengganggu independensi media, dan mendidik publik tentang pentingnya kebebasan pers.
Pengetahuannya yang luas mengenai hukum media massa, dan pemahamannya tentang sejarah pers di banyak negara, membuat Atmakusumah selalu menjadi rujukan. Atas pengabdiannya itu, pada 2000, Atmakusumah mendapat anugerah Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang disebut sebagai Nobel-nya Asia. Satu hal yang membuat Atmakusumah amat didengar oleh komunitas pers Indonesia adalah latar belakang pengalamannya yang panjang dan mumpuni sebagai jurnalis senior.
Menjadi Indonesia yang Saya Mimpikan
Saya tertegun ketika merenungkan makna di balik ucapan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat di gedung parlemen di Jakarta pada awal masa reformasi bahwa “pendidikan rakyat di negeri kita masih rendah.” Yang dimaksudkannya ialah bahwa tidak mungkin memberikan kebebasan sepenuhnya untuk berekspresi kepada warga Indonesia “yang kurang terdidik.”
Tidak lain, itulah yang dimaksudkan oleh anggota parlemen itu ketika sejumlah utusan lembagalembaga swadaya masyarakat bertemu dengan para anggota Komisi I DPR, sekitar tahun 1998, untuk menyampaikan saran agar DPR mendukung dan memperjuangkan kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan pendapat bagi setiap warga dan kebebasan pers.
Sekalipun benar bahwa masih banyak dari warga kita yang tidak berpeluang untuk memasuki ruang sekolah sampai ke perguruan tinggi, saya menolak pendapat bahwa rakyat Indonesia tidak atau kurang cerdas.
Bagi saya, pengalaman mengikuti perjalanan ayah saya—sebagai pamong praja—untuk menyaksikan pemilihan para lurah di desa-desa memberikan pelajaran bahwa rakyat di pelosok-pelosok negeri ini sekalipun bahkan mengenal dan memahami demokrasi. Bertahun-tahun lamanya, ketika mengikuti perjalanan itu pada masa remaja, saya tidak pernah menyaksikan kericuhan dalam pemilihan para pemimpin desa itu—yang dilakukan secara demokratis. Saya merasakan selama pengamatan itu, betapa menarik dan edukatif jika informasi tentang situasi politik di perdesaan ini juga diketahui oleh masyarakat di wilayah lain di negeri kita.
Agaknya keyakinan saya pada masa remaja tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan arus informasi itu kemudian mendorong saya untuk mulai menjadi wartawan di surat kabar pendukung gagasan demikian, yaitu harian Indonesia Raya yang didirikan dan dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Sejak memulai pekerjaan pers, awal tahun 1958, di koran demikian pada masa pemerintahan otoriter, saya sudah sadar bahwa setiap saat saya bisa menjadi penganggur karena ancaman pembredelan pers oleh pemerintah. Dan benarlah, pada bulan Oktober tahun itu, Indonesia Raya dibredel untuk kelima kali atau terakhir kali pada masa Orde Lama.
Ketika dibolehkan terbit kembali pada masa Orde Baru sepuluh tahun kemudian, bulan Oktober 1968, para wartawan dan bahkan para pegawai tata usaha di surat kabar itu tidak mungkin bermimpi untuk dapat mengelola koran seperti ini tanpa hambatan bagi kelangsungan hidupnya. Dan benar lagi, Indonesia Raya dibredel untuk keenam kali pada bulan Januari 1974. Ini adalah pembredelan pertama kali dan terakhir oleh pemerintah Orde Baru.
Saya juga mengakhiri karier wartawan sebagai pekerja tetap di kantor pers. Kegiatan saya lalu beralih ke bidang hubungan masyarakat dan sebagai pengajar jurnalisme praktis.
Akan tetapi, mimpi untuk menyaksikan perubahan negeri ini Menjadi Indonesia, tentu saja tidak pernah berakhir—apa pun risiko kehidupan yang harus dihadapi. Setelah lebih dari satu dasawarsa kita menyaksikan lagi upaya—yang masih dengan susah payah—untuk membangun kebebasan berekspresi, saya sekali-sekali bergurau dalam lokakarya dan seminar: Kebebasan tidak menghancurkan Indonesia—malahan, sebaliknya, memeriahkan negeri ini; karena itu, mengapa takut pada kebebasan?
Seperti dikatakan oleh anak kami: Jika ketakutan merajalela, kebebasan berekspresi akan mati dan membawa kebebasan-kebebasan lain ke kuburnya.
Untuk merawat kebebasan kita, kaum muda di negeri ini semakin perlu bersikap rasional dan kian memperkecil reaksi emosional terhadap pikiran dan tindakan provokatif. Bersikap emosional terhadap karya-karya provokatif hanya akan membenarkan tujuan provokasi itu. Indonesia perlu menjadi negara yang berwarga rasional dan kritis—tetapi, tetap menghargai perbedaan pandangan dan menghormati pluralisme asal-usul yang beragam.
Akan tetapi, menghargai perbedaan pandangan bukan berarti saya mendukung semua pendirian itu. Saya tetap enggan menerima ideologi yang mementingkan upaya menegakkan autokrasi. Mimpi negeri kita Menjadi Indonesia tidak akan menjadi kenyataan tanpa demokrasi.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Atmakusumah Astraatmadja, Hal: 7-9.