Dahsyatnya Goyang Karawang…
Suatu pagi di medio April 2013. Batang-batang padi tertunduk menahan berat bulir beras yang bernas. Embusan angin membuat padi yang telah menguning bergoyang sembari menebar hawa sejuk di tengah terpaan panas mentari. Petani di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berdoa penuh harap angin kali ini bukan pertanda akan datang hujan angin dan banjir yang bisa merusak padi.
Banjir membuat 40 persen areal persawahan di Karawang rusak akhir tahun 2012. Bencana ini menjadi momok yang menakutkan setiap tahun saat musim hujan datang. Bahkan, kini saat musim hujan dan kemarau tak jelas lagi batasnya, petani sulit memprediksi cuaca. Namun, banjir bukan satu-satunya ancaman.
Ketua Kontak Tani Nasional Andalan Kabupaten Karawang Endjam Djamsir sudah lama galau memikirkan nasib beras Karawang. Kawasan lumbung beras yang menyumbang 15 persen produk beras nasional ini terancam kelestariannya, tidak hanya dari luar, tetapi juga dari internal keluarga petani.
Sepuluh anak Endjam, misalnya, tidak satu pun yang ingin menjadi petani. ”Anak sekarang sekolah tinggi. Mana mau turun ke sawah,” ujarnya.
Dari sisi eksternal, ancaman yang dihadapi padi di Karawang ada dua. Pertama, bencana alam, seperti banjir dan hama. Kedua, luas lahan persawahan semakin menyempit.
Alih fungsi
Dari semua ancaman yang dihadapi Karawang, ancaman yang paling berat adalah penyempitan luas lahan persawahan. Saat ini semakin banyak areal persawahan yang beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Bahkan, Endjam mengaku kecolongan, ketika tiba-tiba tanah di dekat pintu masuk areal rumahnya sudah dibeton. ”Katanya mau jadi showroom mobil,” katanya.
Sebagai Ketua Kontak Tani di Karawang, Endjam termasuk kelompok yang menolak perubahan fungsi areal persawahan. Ia kerap bicara di berbagai forum, mengemukakan kekhawatirannya, tetapi kini di depan matanya sepotong sawah telah berubah fungsi.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Karawang, hingga akhir 2011, luas lahan baku pertanian di kabupaten itu tercatat 94.311 hektar. Areal itu terdiri atas 83.021 hektar sawah irigasi teknis, 3.852 hektar sawah irigasi setengah teknis, 4.165 hektar sawah irigasi sederhana, dan 3.273 hektar sawah tadah hujan. Dari lahan ini, produksi beras Karawang mencapai 1,45 juta ton pada 2012.
Alih fungsi lahan pertanian di Karawang terbagi menjadi dua, yakni alih fungsi lahan pertanian secara massal dan tidak massal. Alih fungsi secara massal terjadi karena adanya kepentingan berbagai pembangunan, seperti proyek perumahan dan industri. Alih fungsi tidak massal terjadi karena pemiliki lahan pertanian membangun rumah di atas lahan pertanian miliknya.
Menurut Sensus Pertanian tahun 2003, terjadi penyusutan lahan persawahan yang signifikan di Kerawang. Rata-rata penyusutan sejak tahun 1993 hingga 2003 mencapai 181,87 hektar per tahun.
Tahun 2004, sekitar 53 persen dari 175.327 hektar wilayah Karawang adalah lahan persawahan, yang mencapai 92.923 hektar. Namun, tahun 1994, areal persawahan di Karawang sekitar 94.742 hektar.
Bertambahnya luas lahan pertanian ini pada 2011 karena banyak lahan sawah yang dibeli untuk industri, tetapi hingga kini belum dibangun. Dengan demikian, lahan kembali menjadi sawah, tetapi dengan sistem sewa. Jika industri atau pengembang akan menggunakan lahan itu, sawah akan hilang.
Berkurangnya lahan persawahan di Kabupaten Karawang, sesuai data di Bank Indonesia, juga membuat komposisi ketenagakerjaan di daerah itu berubah. Di sektor pertanian, jumlah pekerja mengalami penurunan dari 41,9 persen (sekitar 281.155 orang) pada 2003 menjadi 27,67 persen (sekitar 185.667 orang) pada 2004.
Di sektor industri terjadi peningkatan jumlah pekerja dari 19,75 persen (sekitar 107.204 orang) pada 2003 menjadi 22,73 persen (sekitar 152.522 orang) pada 2004. Peningkatan juga terjadi di sektor jasa, yakni dari 38,35 persen (sekitar 257.495 orang) menjadi 49,6 persen (sekitar 332.823 orang).
Penyusutan luas lahan persawahan yang diikuti dengan penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian tidak terlepas dari belum adanya insentif pada sektor pertanian. Petani kurang bergairah karena harga jual gabah atau beras petani masih rendah, sementara biaya hidup terus meningkat.
Suhartoyo, salah seorang petani di Cibuaya, Karawang, mengatakan, harga gabah kering panen seharusnya bisa mencapai Rp 4.000 per kilogram. Namun, kenyataan di lapangan, harga jual petani tidak bisa mencapainya. Suhartoyo mengaku, pada April lalu dirinya hanya mampu menjual harga gabah panennya di level Rp 3.350 per kilogram. ”Ini sudah termasuk harga yang bagus karena banyak petani yang hanya mampu menjual gabahnya dengan harga Rp 3.100 atau Rp 3.200 per kilogram,” ujar Suhartoyo.
Rentan hama
Alasan rendahnya harga jual itu karena banyak padi Karawang yang diserang hama kupu-kupu sehingga bulir padinya kopong. Hal itu dipakai para tengkulak untuk menekan harga jual petani.
Supriyatna dari Balai Benih Padi, Subang, Jawa Barat, menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat padi di Karawang dan sekitarnya rentan terhadap serangan hama.
”Perubahan iklim akibat pemanasan global yang terjadi saat ini telah menyebabkan dua hal bagi pertanian di pesisir. Yang pertama, intrusi air laut yang semakin masuk ke daratan membuat gagal panen. Lalu pemanasan global juga membuat kelembaban meningkat. Kelembaban yang tinggi telah mengubah perilaku dan resistensi hama,” kata Supriyatna.
Selain itu, petani juga masih menggunakan varietas lama yang tidak dilengkapi dengan ketahanan terhadap hama yang ada saat ini.
”Varietas padi yang lama hanya tahan pada hama golongan 1, 2, 3. Padahal, hama yang ada sekarang telah mengalami mutasi gen sehingga masuk ke golongan 8, 9, 10,” kata Supriyatna.
Sebenarnya, Balai Benih Padi telah mengantisipasi persoalan itu dengan menciptakan lebih dari 250 varietas padi unggul yang cocok dengan beragam kondisi tanah dan iklim. Namun, ternyata varietas unggul itu belum bisa diaplikasikan kepada petani karena belum diperkenalkan oleh instansi teknis yang berkewajiban melaksanakannya.
”Akibatnya, varietas padi yang dipakai petani masih yang lama, yang jumlahnya tidak sampai 10 jenis, dan sudah tidak cocok dengan kondisi lingkungan saat ini,” kata Supriyatna.
Di tengah ancaman internal dan eksternal, produksi beras Karawang hingga kini masih menunjukkan peningkatan. Namun, tanpa ada kebijakan yang tepat, lumbung yang memenuhi sebagian besar kebutuhan beras warga Jakarta dan sekitarnya itu sewaktu-waktu bisa hancur. Tidak terbayang gangguan serius yang bakal menimpa ketahanan pangan Indonesia.
”Inilah kedahsyatan goyang Karawang yang sebenarnya,” kata Endjam.(M CLARA WRESTI/NELI TRIANA)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 29 Mei 2013.