Penyebab dan Dampak Perubahan Iklim
Gas Rumah Kaca (Efek Rumah Kaca) dapat digambarkan sebagai sebuah proses. Rumah kaca adalah analogi atasbumi yang dikelilingi gelas kaca. Panas matahari masuk ke bumi dengan menembus gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya proses dalam rumah kaca di pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca/GRK) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya dan menyebabkan pemanasan global.
Perubahan iklim adalah perubahan dalam status iklim yang diidentifikasi dengan perubahan rata-rata dan atau variabilitas factor-faktor yang berkaitan dengan iklim dan tetap berlaku untuk peride yang luas atau lebih panjang (IPCC, 2007)[1][2].
UU 32/2009 PPLH Pasal 1 (19) mendefinisikan Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Perubahan iklim, yang dipicu oleh pemanasan global lebih diakibatkan oleh peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK)di atmosfer. Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas yang pada saat terakumulasi di atmosphere dan menciptakan selubung kemudian menimbulkan gangguan pada pelepasan panas dari bumi ke luar lapisan atmosphere. Gas yang memungkinkan untuk hal tersebut terjadi adalah: Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur hexafluoride (SF6).
Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60° F/15° C.
Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.
Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.
Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan (2006) mengungkapkan bahwa, “Sektor peternakan adalah satu dari dua atau tiga penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global.”Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!
Sementara, koalisi masyarakat sipil untuk keadilan iklim, sebuah forum organisasi non pemerintah di Indonesia yang memfokuskan pada advokasi keadilan iklim mengungkapkan – pemanasan global lebih disebabkan pada ketimpangan pola produksi, konsumsi dan gaya hidup yang mendorong eksploitasi SDA melampaui kemampuan alam memulihkan dirinya. Sampah-sampah sebagai implikasi memenuhi kebutuhan dan produksi menjadi kontributor utama pemanasan global berbaur dengan eksploitasi SDA yang berlebih.
Kebakaran hutan, pembukaan hutan dan pemanfaatan kawasan gambut untuk perkebunan skala besar, pertambangan, perumahan, atau infrastruktur merupakan sumber penyebab pemanasan global di Indonesia.
Akibat kebakaran hutan, Indonesia ditempatkan sebagai penyumbang C02 ke empat di dunia. Sedangkan akibat laju kerusakan hutan yang 1,8 juta hektare per tahun, Indonesia bahkan tercatat dalam buku rekor dunia (Guinness Book of World Records) sebagai negara dengan kerusakan hutan terbesar di dunia[2][3].
Pemanasan global diikuti dengan perubahan iklim yang memicu peningkatan curah hujan di beberapa belahan dunis yang menimbulkan banjir dan erosi. Sementara di belahan bumi lain bias jadi mengalami kekeringan yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu.
Dampak perubahan iklim
Implikasi perubahan iklim saat ini sudah menjadi momok bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Meningkatnya intensitas curah hujan menyebabkan banyak wilayah Indonesia teredam banjir, banjir bandang dan longsor. Hal yang cukup menghawatirkan dari curah hujan yang lebih tinggi dengan waktu relatif pendek adalah kemampuan bendungan-bendungan buatan yang terdapat dibanyak wilayah untuk menahan volume air.
Waduk atau Dam besar menjadi dilematis. Satu sisi, Dam atau waduk masih dianggap sebagai salah satu cara memanfaatkan sumberdaya air untuk berbagai kepentingan. Menyediakan air baku, irigasi, pembangkit listrik, perikanan atau rekreasi merupakan manfaat Dam. Selain fungsi DAM juga untuk pengendali banjir. Namun sisi lain, keberadaaan waduk menjadi menjadi teror ketika fungsi waduk tidak lagi berfungsi atau over capacity.
Ketidak mampuan waduk menahan volume air dan menjadi bencana terjadi di Queensland dan Brisbane, Australia. Dibukanya bendungan Wivanhoe karena tidak lagi mampu menahan volume air dari curah hujan yang ada, menyebabkan banjir di dua kawasan menjadi sangat parah.
Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam setudi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia. Pemasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya.
Di Indonesia, kasus yang sama terjadi saat Bendung Walahar dan limpasan air dari Jatiluhur menggelontor menggenangi wilayah lumbung padi Karawang tahun 2010. Padahal bendungan semisal Jatiluhur didesign dapat menahan limpasan air sampai dengan 3.000 m³/detik. Jadi kondisi Bendungan Jatiluhur secara fisik masih dikategorikan aman. Namun tingginya curah hujan yang terjadi di kawasan bendungan menaikkan tinggi muka air sehingga mencapai 108,42 m menyebabkan air melimpas dari pintu air dengan perkiraan sebanyak 400-500 m³/detik.Ancaman lain yang harus diwaspadai oleh Indonesia adalah banjir bandang akibat jebolnya tanggul seperti yang terjadi di Situ Gintung 2009.
Sebaliknya, kemarau yang lebih kering dan panjang mengancam ketersediaan air bersih dan kebutuhan air untuk pertanian. Ketahanan pangan dan mata pencaharian penduduk akan terganggu. Karena sektor ini merupakan mayoritas bagi penduduk Indonesia.
Berbagai dampak negatif perubahan iklim secara langsung akan mempengaruhi sektor-sektor penting, antara lain:
Air;
Dari tahun ke tahun air cenderung menurun akibat pencemaran lingkungan dan kerusakan daerah tangkapan air dan perubahan iklim. Pola curah hujan yang berubah-ubah juga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih.
Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah dan kenaikan muka air laut akan memungkinkan air laut menyusup ke sumber-sumber air bersih. Di daerah sub polar serta daerah tropis basah diperkirakan rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah sekarang sering mengalami banjir dan kekeringan akan semakin parah kondisinya.
Pangan;
Ancaman terhadap ketahanan pangan dapat langsung dirasakan masyarakat pesisir, dataran tinggi, pedesaan maupun perkotaan. Kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2°C di daerah tropis akan meningkatkan frekuensi kekeringan dan banjir. Akibatnya produktivitas pertanian seperti Indonesia akan mengalami penurunan[3][4]. Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang.
Dept. Pertanian menyampaikan, periode 1993-2002 angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 hektar dengan lahan puso mencapai 43.434 hektar atau setara dengan hilangnya 190.000 ton gabah kering giling.
Khudori, Pengamat pangan nasional, menyebutkan kekeringan merusak tanaman padi rata-rata seluas 90.000-95.000 hektar per tahun (Khudori, 2011)[4][5].
Energi;
Dari data 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian El Nino Southern Oscilation (ENSO) seperti tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksilistrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007)[5][6].
Kurangnya pasokan energy dari sektor terbaharukan akan mendorong pemenuhan listrik bersumber dari bahan bakar fosil (batu bara atau BBM). Kondisi tentu akan semakin meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dan akan memperburuk kondisi iklim global
Kesehatan;
Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil. Seperti setelah hujan lebat berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembang biakan nyamuk dengan cepat. Tiga penyakit dikategorikan sebagai pembunuh utama yang sensistif terhadap perubahan iklim antara lain; Undernutrition membunuh 2,7 juta/tahun, Diare; 1,8 juta/tahun dan Malaria 1,1 juta/tahun (WHO, 2007).
Di Indonesia, laju kejadian DBD di berbagai kota besar di Pulau Jawa dari tahun 1992-2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Counry Report, 2007).
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 16 November 2012.