Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana
Tidak jarang (artinya sering), muncul perdebatan – bagaimana integrasi perubahan iklim dalam pengurangan risiko bencana. Sekalipun disadari, keduanya memiliki pertalian yang sangat kuat. Bahkan pada beberapa kasus, tidak lagi bisa dipisahkan. Pada bahaya/ancaman bencana yang berhubungan dengan hidrometeorologis, seperti banjir, longsor, angin ribut, kebakaran lahan, atau kekeringan – hampir tidak ada perseteruan pendapat adanya keterkaitan iklim atas kejadian bencana tersebut. Demikian juga dengan wabah atau epidemik, seperti malaria, DBD atau diare
Bagaimana dengan gerombolan bahaya geologis seperti gempa bumi, tsunami atau letusan gunungapi? Adakah pertaliannya dengan iklim? Demikian juga dengan kegagalan teknologi dan konflik sosial. Dimana pertautannya? atau tidak ada hubungannya sama sekali?
atau….. ya pinter-pinternya kita saja, untuk bisa menghubung2 kan. Kan orang Indonesia itu terkenal kreatif dan inovatif. “Otak atik gatuk“. Apapun bisa “diakali”. termasuk hukum yang katanya “panglima” di Negeri ini.
Risiko = Bahaya x Kerentanan/Kapasitas (R = H x V/C). Demikian rumus sakti yang populer dikalangan penggiat PRB. Artinya, risiko bencana merupakan perbaduan dari ancaman bencana/bahaya (apapun jenisnya) saat bersanding mesra dengan kerentanan dan. Tingkat risiko bencana menunjukan “konsekwensi” logis yang akan harus diterima dari kondisi riil yang ada dari ketiganya.
UU PB menjelaskannya dengan:
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. (Ps 1 (17))
Pada beberapa refrensi, untuk memunculkan nilai risiko bencana, cukup dengan menilai bahaya dan kerentanan. Asumsinya, kapasitas merupakan kebalikan dari kerentanan. jika berkapasitas, tentu saja tidak rentan. jika rentan, tentu tidak berkapasitas. simpel bukan?
Apapun yang menjadi tentang perdebatan penggunaan “rumus” untuk memunculkan nilai risiko, yang juga sangat penting adalah; ketersediaan dan sumber data serta analisisnya. bahkan pada beberapa kasus (seperti pendekatan partisipatif), cara mengambil data pun menjadi persoalan tersendiri. Jangan harap anda mendapatkan data (apalagi valid), jika kita menggunakan “cara” yang tidak disukai masyarakat. apalagi dengan menantang kebiasaan atau adat. sekalipun anda menggunakan AK 47 dengan kawalan 7 pletoon SATPOL PP Berbadan tegap dan berotot ala Ade Ray. Never… Komunitas tidak akan memberikan seluruh data-data, apalagi yang valid jika mereka tidak senang atau tidak memberi manfaat apa2 bagi dirinya, keluarganya atau komunitasnya.
Tidak ada hubungan banjir, longsor atau angin ribut dan kekeringan dengan pemanasan global sebagai biang perubahan iklim. Sekalipun ada, hanya sekelompok kecil yang mengkaitkan perubahan iklim. Dan argumen tersebut lemah. Faktanya, dari dulu perubahan iklim merupakan siklum alamiah. Sebagai siklus alam, bumi memang mengalami perubahan-perubahan tersebut. Karena perubahan tersebut, terjadi proses evoluasi. juga perpindahan era pleistosen (diluvium) – holosen/aluvium seperti saat sekarang (enseklopedia Indonesia, 2012). Kepunahan berbagai penghuni bumi berukuran jumbo seperti Brachiosaurus seberat 80 ton diyakini akibat perubahan iklim (penelitian lain menyebutkan kepunahan akibat meteorit yang jatuh ke bumi). Begitu kira2 pendapat sekelompok ilmuan dalam mensikapi polemik pemanasan global yang menjadi tema sentral paska pertemuan bumi, 1992. artinya, – pada saatnya seluruh penghuni bumi yang saat ini ada akan punah. dan itu proses alamiah.
Namun para ahli yang lain percaya. Bahkan sangat yakin jika banjir, badai atau kekeringan yang terjadi lebih eksrim bertalian erat dengan pemanasan global. Dan pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim ini tidak terjadi secara alamiah. Namun dipicu percepatannya oleh berbagai kegiatan manusia. dari hitung-hitungan konsentrasi gas rumah kaca, meningkat sangat signifikan memenuhi atmosfir bumi paska revolusi industri. setelah ditemukannya mesin uap dan memudahkan proses ekplorasi dan eksploitasi serta produksi. terjadi juga peningkatan pola konsumsi. dan tentu menciptakan sampah yang bekali lipat lebih besar.
Perubahan Iklim dan Risiko Bencana
Bisa dibilang tidak terjadi perdebatan saat membicarakan jenis ancaman bencana hidrometeorologis dan biologis memiliki hubungan dengan perubahan iklim. pertalian langsung dapat dengan mudah masuk ke logika. tingkat ancaman bencana meningkat atau menurun (dilihat dari probablitas dan dampaknya) bisa dihubungkan secara langsung dengan terjadinanya perubahan iklim.perubahan iklim yang memicu kondisi ekstrim, secara langsung mempengaruhi tingkat bahaya yang ada.
bisa dibayakngkan, curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya turun pada priode yang lebih pendek. secara jelas kita bisa membayangkan – lingkungan yang ada tidak lagi mampu menampung secara alamiah. apalagi lingkungan yang ada terlanjur rusak. sama halnya kita di guyur air satu ember ukuran 50 lt satu kali guyuran. dibandingkan kita menggunakan gayung atau shower. Sama-sama volume air 50 lt pada satu obyek yang ditumpahkan, namun berbeda dari sisi waktu karena media yang digunakan.
kerap kita meng-generalisir sesuatu, seolah dampak perubahan iklim menyebabkan musim hujan lebih pendek dan kemarau lebih panjang dan kering. faktanya, tidak selalu seperti itu. dampak perubahan iklim tidak bersifat statis. karena juga akan dipengaruhi dengan banyak faktor. untuk Indonesia sebagai wilayah tropis dan berada di garis katulistiwa, iklim yang ada juga dipengaruhi oleh la nina dan el nino yang mempengaruhi kecenderungan musim. Kita tentu masih ingat tahun 2010, sebagian besar wilayah Indonesia tidak merasakan kemarau. sebaliknya tahun 2012, kemarau dirasakan sangat panjang dan kering.
Jika mengacu pada rumus risiko bencana, ancaman bencana, baik berjenis kelamin hidrometeorologis, biologis, geologis atau industri merupakan salah satu variabel. variabel lain adalah kerentanan dan kapasitas. dalam kontek bahaya atau ancaman bencana, perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan perubahan pola sifat iklim. terjadinya fenomena menyimpang dan ekstrim tentu perlu mendapatkan tempat tersendiri dalam menentukan tingkat ancaman bencana. demikian juga implikasi perubahan-perubahan tersebut pada beberapa jenis vektor. bagaimana menempatkan hal tersebut pada rumusan nilai tingkat ancmaan bencana? apakah sudah terakomodir dengan rumusan probabilitas dan dampak?
Hal yang juga perlu untuk dilihat dalam menghitung variabel bahaya atau ancaman bencana dalam kontek risiko bencana adalah rumusan yang digunakan oleh penggiat perubahan iklim; V = E + S – C. dalam rumusan ini, penggiat perubahan iklim pada akhir kajiannya adalah untuk melihat tingkat kerentanan. menjadi pertanyaan besar adalah; apakah kerenanan yang menjadi salah satu variabel risiko bencana dapat secara langsung di overlay dari hasil kajian kerentanan iklim?
untuk mengatakan iya atau tidak, tentu kita perlu melihat secara mendalam komponen2 yang digunakan dari masing-masing variabel. Kerentanan dalam kontek manajemen bencana adalah melihat dari lima aset penghidupan; human, social – culture, finance/economic, infrastructure and nature. dan kerentanan sendiri dilihat atau disandingkan dengan jenis dan nilai hazard/ancaman bencana yang ada.
Sedangkan dalam analisis kerentanan iklim, sekalipun juga ada beberapa refrensi yang juga menggunakan lima aset penghidupan dalam menilai kerenanan – namun jika melihat dari variabel yang digunakan untuk mendapatkan nilai tersebut berbeda. exposure atau keterpaparan misalnya dimaknai sebagai penerimaan; manusia atau infrastruktur terhadap terpaan suatu bahaya menurut lokasi serta pertahanan fisiknya. atau bisa dimaknai jenis aset yang bernilai yang berada pada risiko untuk terkena dampak dari sistem perubahan iklim. aset disini adalah aset sosial (manusia, kesehatan, pendidikan), ekonomi (properti, infrastuktur, pendapatan), dan aset ekologis (SDA dan jasa ekologis). sedangkan sensitivitas dimaknai sebagai dampak. atau lebih lengkapnya adalah derajat atau tingkatan dimana sistem terkena dampak, baik negatif atau positif karena stimulan perubahan iklim. atau bisa dimaknai sebagai tingaktan kerugian seseorang/kelompok atau ketegasan suatu infrastruktur/lingkungan terhadap terpaan suatu bahaya. sedangkan kapasitas adaptif dimaknai sebagai kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim (MercyCorps, 2012)
Jika melihat dari komponen-komponen yang ada, seharusnya kerentanan yang ada dalam kajian kerantanan iklim secara langsung sudah dapat digunakan dalam kajian risiko bencana dengan satu catatan, hazard atau ancaman bencana telah terindentifikasi atau digunakan dalam kajian kerentanan tersebut. Ini penting menjadi catatan, karena dalam kajian risiko bencana, kerentanan seseorang atau kelompok terhadap ancaman bencana yang ada bisa berbeda-beda. seseorang/kelompok memiliki kerentanan rendah pada satu ancaman bencana tertentu, tapi bisa tinggi pada ancaman bencana yang lain. demikian juga dengan kapasitasnya.
Hal positif yang bisa kita tarik adalah – kemungkinan untuk mengintegrasikan kajian antara risiko bencana dan iklim jelas sangat mungkin. tinggal kembali pada pelaksana atau penggiat – apakah cukup terbuka atau memiliki niat untuk mengintegrasikannya? Hal di atas baru untuk tipe atau jenis ancaman bencana hidrometeorologis dan biologis, bagaimana dengan jenis kelamin geologis dan teknologi?
Jika kita melihat variabel risiko bencana tidak hanya melihat dan menilai tingkat hazard atau ancaman bencana. tentu kita harus terbuka untuk melihat secara jeli tingkat kerentanan dan kapasitas yang dipengaruhi iklim. dalam menghadapi erupsi gunungapi, apakah kerentanan dari sisi sosial budaya yang ada, terpengaruh dengan perubahan iklim. begitu juga dalam kontek ekonomi, infrastruktur maupun lingkungan. Jika ya – sekalipun jenis ancaman bencana geologis atau industri, namun karena variabel risiko lainnya terpengaruh – sudah seharusnya kajian iklim menjadi hal mendasar untuk digunakan. karena pendapatan seseorang dari sektor pertanian, sekalipun ancamannya geologis – menentukan tingkat ekonomi sebagai salah satu komponen kerentanan.
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 16 November 2012.