Tantangan dalam Mengelola Lingkungan Perairan
Sutan Yuswar gusar. Dia mempertanyakan status kepemilikan Pulau Bando atau Pulau Gosong dan Pulau Ujung di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Awal Agustus lalu, ia mengikuti konsultasi publik kedua rencana zonasi Kawasan Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut di sekitarnya yang digelar Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Pekanbaru, di Padang, Sumbar. Yuswar datang sebagai perwakilan suku pemilik dua pulau itu, yang statusnya disahihkan secara adat. Ia menekankan soal status kepemilikan pulau yang disebutkan milik negara itu.
Utusan pemilik Pulau Air, Yunasril, mempertanyakan keharusan pemberian hibah lahan untuk pembangunan sejumlah infrastruktur di kawasan itu. ”Sebab ini sudah secara turun- temurun diwariskan,” kata dia.
Pertemuan itu akhirnya mencapai kesepakatan sementara, kata ”milik negara” dihapus dalam rancangan dokumen. Kepala Sub-Seksi Program dan Evaluasi KKPN Pekanbaru, Riau, Darmawan, mengatakan, ketentuan itu tetap memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan.
Kawasan Konservasi
Kawasan Perairan Pulau Pieh dan Laut di sekitarnya akan dijadikan kawasan konservasi dan pariwisata. Hal itu termasuk penetapan sebagian kecil kawasan sebagai zona inti yang tak boleh diganggu untuk aktivitas apa pun. Penangkapan ikan yang tidak mengindahkan prinsip kelestarian memang menjadi ancaman kelestarian ekosistem di perairan itu, di antaranya dugaan pemakaian bom serta racun potassium sianida.
Kawasan Perairan Pulau Pieh dan Laut di sekitarnya terdiri atas Pulau Bando, Pulau Pandan, Pulau Air, Pulau Pieh, dan Pulau Toran. Kelima pulau yang secara administratif berada di Padang Pariaman dan Kota Padang itu diawali penetapannya dengan rekomendasi Gubernur Sumbar tahun 1994. Setelah ditetapkan sebagai Kawasan Wisata Alam Laut Pulau Pieh tahun 2000, kawasan itu dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Pada 2009 pengelolaannya diserahkan oleh Menteri Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rehabilitasi dan konservasi Kawasan Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut di sekitarnya saat ini adalah bagian dari upaya perlindungan ekosistem secara keseluruhan. Termasuk pengawasan beragam biota laut yang terancam punah dan memiliki dampak ekologis secara global. Ini termasuk pelaksanaan komitmen ratifikasi sejumlah perjanjian internasional, seperti Konvensi Internasional untuk Perdagangan Spesies Langka (CITES) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Kawasan Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut di sekitarnya hanya sebagian kecil di antara pulau-pulau kecil di Sumbar. Provinsi itu memiliki 185 pulau kecil dan diperkirakan hanya 10 pulau yang berpenghuni.
Dua pulau di antaranya termasuk dalam pulau terluar di Indonesia, sesuai Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yaitu Pulau Sibarubaru dan Sinyaunyau di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Secara umum, pulau-pulau kecil itu belum dimanfaatkan optimal. Ini termasuk relatif belum adanya upaya konservasi ekosistem perairan secara berkelanjutan guna menjamin ketersediaan sumber daya kelautan bagi masyarakat.
Padahal, dengan ekosistem perairan yang sehat, nilai jasa lingkungan yang bisa disediakan untuk masyarakat akan sangat besar. Direktur Program Kelautan Indonesia Conservation International (CI) Tiene Gunawan, beberapa saat lalu, menyatakan hal itu dalam forum pelatihan selam yang digelar Society of Indonesian Environmental Journalists di Jakarta.
Ia juga menegaskan pentingnya pengelolaan kawasan perairan dengan basis ekosistem. ”Tidak bisa per satu spesies, harus dengan pendekatan sistem,” ujar Tiene.
Hal itu termasuk upaya pendekatan budaya yang mesti dilakukan untuk mencapai tujuan konservasi bagi keberlanjutan perlindungan biota laut. Misalnya, kebiasaan mengonsumsi daging penyu yang cenderung lazim dipraktikkan pada sejumlah wilayah di Indonesia harus kian ditekan.
Tantangan lain yang termasuk paling sulit, kata Tiene, pemantauan penegakan hukum. Ini seperti pengawasan untuk menjamin tidak adanya upaya penangkapan dilakukan dalam zona inti.
Aktivitas CI untuk menumbuhkan kesadaran konservasi di masyarakat, misalnya di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, yang dilakukan sejak 2004, sedikit menunjukkan hal itu. Pembelajaran aktif dengan melibatkan warga untuk mengelola lingkungan perairan menumbuhkan sejumlah organisasi konservasi oleh warga sendiri.
Namun, ujar Tiene, upaya itu kadang menemui kendala terbesarnya. Kebijakan politik membuka kawasan pertambangan kerap kali bertentangan dengan prinsip konservasi. (Ingki Rinaldi)
Sumber: KOMPAS, Kamis, 17 Januari 2013.