Kesalahan Umum Soal CSR #6: CSR Hanya untuk Perusahaan Besar
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Banyak keengganan perusahaan—atau dalih saja dari mereka yang tak peduli—untuk mengadopsi CSR karena anggapan bahwa CSR adalah untuk perusahaan berskala besar saja. Hal ini boleh jadi merupakan kesalahan besar dari mereka yang membiarkan C di depan SR tetap sebagai singkatan dari corporate. Sebagaimana yang banyak diketahui, corporate juga corporation berarti perusahaan besar. Sementara istilah generik untuk entitas bisnis yang mencari keuntungan—tanpa memerhatikan ukuran—adalah company. Karenanya, prihatin dengan ketidaktertarikan perusahaan skala sedang dan kecil pada CSR—serta kerancuan akibat digunakannya “social”, Edward Freeman dan Ramakhrisna Velamuri mengusulkan agar CSR diartikan sebagai company stakeholder responsibility. Dengan demikian, CSR berarti tanggung jawab perusahaan (apapun ukurannya) terhadap (seluruh) pemangku kepentingan mereka.
Kalau perdebatan mengenai istilah ini hendak disingkirkan, apabila kita kembali pada ide dasar CSR, maka memang CSR itu berlaku untuk seluruh perusahaan. Ide dasar itu adalah bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya dalam operasinya. Idealnya, dampak negatif operasi perusahaan harus berupaya ditekan sampai titik nol. Namun, karena kondisi ideal itu sangatlah sulit dicapai, maka yang harus dilakukan adalah minimisasi dampak negatif. Dampak residual (dampak negatif yang masih tersisa setelah upaya minimisasi dilakukan) harus dihitung secara saksama kemudian dikompensasi dengan sesuatu yang setara (tidak perlu sama jenisnya). Sementara, dampak positif operasi— yang ini kerap lolos dari pembicaraan mengenai CSR—bisa dimaksimumkan. Begitulah konsep dasar CSR.
Di antara banyak pembicaraan tentang dampak, berbagai pihak punya pendirian bahwa perusahaan-perusahaan besar jelas punya dampak yang lebih besar dibandingkan mereka yang berukuran lebih kecil. Walaupun tidak selalu demikian, tampaknya kecenderungannya memang demikian. Tidak mengherankan kalau CSR juga jauh lebih popular di kalangan perusahaan besar dibandingkan mereka yang menengah apalagi kecil. Seperti kata Ben Parker—tokoh rekaan, paman Peter Parker sang Spiderman—“With great power comes great responsibility,” kekuasaan perusahaan raksasa memang berkonsekuensi pada besarnya tanggung
jawab mereka.
Riga Adiwoso—yang ini bukan tokoh rekaan, melainkan intelektual dari Universitas Indonesia yang boleh jadi paling serius dalam mengamati perkembangan CSR di Indonesia— pernah menyatakan bahwa CSR harusnya memang sebanding dengan ukuran bisnis perusahaan, bukan dengan ukuran keuntungan. Logikanya juga logika dampak. Lagipula, kalau hanya dihubungkan dengan besarnya keuntungan, maka apakah ketika perusahaan merugi pemangku kepentingannya harus dibiarkan begitu saja? Juga, bukankah besarnya keuntungan bisa juga dikurangi oleh perusahaan dengan alasan untuk kepentingan investasi lanjutan? Logika besaran perusahaan dan besaran dampak memang harus dipertahankan.
Mereka yang berukuran kecil dan berdampak kecil memang harus dibebani tanggung jawab yang kecil pula. Sementara tanggung jawab besar harus dibebankan kepada mereka yang berukuran dan berdampak besar. Yang jelas, semua perusahaan harus ber-CSR sesuai dengan ukuran dan dampaknya.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.