Kesalahan Umum Soal CSR #5: CSR Itu Bersifat After Profit
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Ada banyak pendapat bersliweran di Indonesia bahwa penganggaran CSR itu akan dihitung sebagai proporsi atas keuntungan kotor maupun bersih yang diperoleh perusahaan pada tahun anggaran sebelumnya. Tampaknya ini memang manjadi cara pandang dominan banyak perusahaan. Semakin besar pendapatan/keuntungan tahun lalu, maka pada tahun ini anggaran untuk CSR akan dibuat semakin besar. Padahal, sudah lebih dari satu dekade para pakar bersepakat bahwa kebutuhan anggaran CSR tidak bisa dihitung secara after profit. Young-Chul Kang dan Donna Wood secara tegas menyatakannya hal itu ketika menyunting Before-Profit Social Responsibility di tahun 1995.
Mengapa demikian? Ada dua bahaya besar yang mengancam dari cara berpikir after profit: (1) dengan mengambil argumentasi CSR sebagai after profit maka perusahaan akan menghindari melakukan CSR sebelum masuk ke periode untung. Padahal, dampak negatif perusahaan bisa jadi sudah dimulai ketika perusahaan belum beroperasi (misalnya masa eksplorasi dan konstruksi, untuk kasus industri ekstraktif). Padahal, sudah seharusnya CSR dilakukan oleh perusahaan sejak periode awal ia bersinggungan dengan pemangku kepentingannya. (2) Perusahaan juga bisa menghindari melakukan CSR apabila tahun sebelumnya ia mengalami kerugian. Secara logis, perusahaan harus melakukan bisnisnya secara bertanggung jawab, terlepas dari apakah ia untung atau tidak.
Pakar CSR Claudio Nidasio pernah menyatakan bahwa mereka yang masih mempertahankan pendirian bahwa CSR bersifat after profit sesungguhnya tidak memahami CSR dengan benar. Banyak pengamat CSR lainnya yang menyatakan bahwa keuntungan perusahaan sesungguhnya adalah by product dari keberhasilan perusahaan memuaskan kebutuhan dan keinginan sebagian besar—kalau bukan seluruh—pemangku kepentingannya. Sehingga ketika keuntungan perusahaan mengecil atau perusahaan mengalami kerugian, sesungguhnya itu merupakan pertanda bahwa banyak pemangku kepentingan yang tidak puas atas kinerja perusahaan. Salah satu contoh adalah investasi perusahaan dalam menyediakan kondisi kerja yang aman dan nyaman bagi pekerjanya serta pelatihan yang memadai akan membuat karyawan lebih produktif dan loyal, yang tentunya menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi akibat biaya yang lebih rendah atau produk yang lebih baik. Konsekuensinya, perusahaan malahan harus menambah investasi CSRnya pada tahun berikut kalau mau memenuhi tuntutan pemangku kepentingan, bukan malahan mengecilkan atau menghilangkannya.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.