Depolitisasi Masyarakat Sipil
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan berkah bagi negeri ini karena telah memainkan peran kultural sebagai gerakan masyarakat sipil.
Dedikasi keduanya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kebudayaan sudah tak diragukan lagi. Dalam konteks kebangsaan, NU dan Muhammadiyah telah menegaskan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar-pilar kebangsaan yang final. Kesadaran ini dibangun dari penghayatan terhadap simbiosis mutualisme antara keislaman dan keindonesiaan. Salah satu kaidah yang mengakar kuat dalam tradisi NU, mencintai Tanah Air, adalah ekspresi penghayatan keimanan seorang muslim (hubb al-wathan min al-iman).
Eksistensi NU dan Muhammadiyah sebagai distingsi dan eksepsionalisme dari disharmoni antara Islam dan masyarakat sipil. Di dunia Islam lain, khususnya di Timur Tengah, Pakistan, Banglades, dan Malaysia, gerakan keislaman selalu identik islamisasi negara. Namun, NU dan Muhammadiyah justru menolak arus mainstream dengan berperan aktif pada ranah kultural untuk memperkuat solidaritas kebangsaan. Selain itu, pilihan memperkuat masyarakat sipil sebagai bentuk keberpihakan terhadap hak-hak kaum tertindas (al-ma’un/al-mustad’afin), yang bersumber dari pembacaan otentik terhadap problem keumatan.
Konsekuensi dari pilihan itu sangat positif. NU dan Muhammadiyah punya basis sosial yang mengakar kuat di tengah masyarakat. Pada masa kemerdekaan, kedua ormas ini saling bahu- membahu melawan penjajahan dalam rangka menyongsong dan mengawal kemerdekaan. Pada masa Orde Baru, keduanya menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang (check and balance system) terhadap rezim otoriter.
Namun, seiring perjalanan waktu pasca-Reformasi, kedua ormas yang merupakan ikon gerakan masyarakat sipil ini mulai menghadapi persoalan serius. Terbukanya kanal-kanal demokrasi di satu sisi kian membuka peluang bagi peran masyarakat sipil. Namun, di sisi lain, demokrasi justru menghambat peran-peran kultural karena tarikan ke ranah politik yang begitu kuat.
Godaan syahwat politik
Sebagai organisasi yang punya pengaruh di akar rumput, kedua ormas punya daya tarik cukup kuat di mata partai politik. Godaan untuk naik ke atas panggung perebutan kekuasaan tidak terelakkan karena politik dipahami sebagai instrumen penting dalam menunjang perjalanan roda organisasi. Bahkan, aturan main yang menegaskan bahwa ormas harus steril dari politik praktik sesuai amanat khitah cenderung dilanggar tanpa ada sanksi serius. Untuk menduduki kursi kekuasaan, tidak sedikit elite menyeret kedua ormas tersebut ke ranah politik praktis. Syahwat politik yang berkecambah dalam kedua ormas ini menyebabkan visi dan misi masyarakat sipil sebagai kontrol dan penyeimbang kekuasaan terbengkalai.
Salah satu masalah besar yang dihadapi negeri ini yaitu korupsi dan kemiskinan. Kedua masalah ini telah menjadi problem akut yang dihadapi bangsa ini. NU dan Muhammadiyah telah mempunyai program kemitraan dalam rangka penghapusan korupsi. Bahkan, kedua ormas mengeluarkan fatwa yang menggema di jagat politik bahwa koruptor adalah kafir karena itu seorang koruptor yang meninggal dunia tak perlu dishalati. Sayangnya, fatwa ini laksana angin berlalu karena tak mampu memengaruhi ruang politik, yang sebagian mereka adalah kader-kader berlatar belakang kedua ormas ini.
Apalagi muncul anggapan, mereka yang berlatar belakang NU dan Muhammadiyah tidak punya distingsi yang mencolok saat terjun dalam dunia politik. Mereka bukan mewarnai dunia politik dengan nilai-nilai masyarakat sipil yang telah mengakar kuat dalam tradisi kedua ormas ini, melainkan justru terbawa arus dalam politik transaksional. Konsekuensinya, ranah politik kehilangan figur teladan yang mampu mewujudkan politik transformatif, terutama dalam rangka melayani rakyat dan mengangkat derajat mereka.
Memperkuat gerakan
Karena itu, dalam rangka memperkuat kembali gerakan masyarakat sipil sebagai pilar penting dalam demokratisasi dan tercapainya cita-cita para pendiri bangsa, diperlukan langkah serius untuk melakukan depolitisasi masyarakat sipil. Pertama, kedua ormas terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, harus mampu memanfaatkan kader- kadernya untuk memperkuat visi dan misi organisasi sebagai gerakan masyarakat sipil.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedua ormas ini melahirkan ratusan sarjana dalam berbagai disiplin keilmuan, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam memberdayakan rakyat sesuai keahlian masing-masing. Langkah ini penting agar mereka tak tergoda ingar-bingar politik.
Kedua, memperkuat amal usaha sebagai langkah membangun kemandirian ekonomi. Harus diakui, problem akut yang dihadapi oleh gerakan masyarakat sipil, khususnya NU dan Muhammadiyah, adalah soal sumber dana. Kedua ormas ini biasanya mengandalkan bantuan asing atau anggaran pemerintah. Ketidakmandirian dalam sektor ekonomi menyebabkan perannya sebagai gerakan masyarakat sipil tidak maksimal, karena terikat dengan kepentingan pihak lain. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius untuk mengukuhkan kemandirian finansial.
Ketiga, mengubah paradigma yang selama ini sebagai ”pengemis jabatan” kepada pemerintah menjadi gerakan masyarakat sipil yang mempunyai daya tawar terhadap pemerintah. Langkah ini penting agar pemerintah tak melihat gerakan masyarakat sipil sebagai entitas yang mampu diintervensi, bahkan pada akhirnya pemerintah mesti ditekan agar melakukan peran-peran pelayanan dan keberpihakan terhadap warga negara.
Depolitisasi gerakan masyarakat sipil, khususnya bagi NU dan Muhammadiyah, mendesak dilakukan dalam rangka mengukuhkan kembali gerakan masyarakat sipil yang dalam beberapa tahun pasca-Reformasi mengalami kelesuan akibat masalah yang dihadapi, baik masalah kemandirian maupun masalah keterlibatan dalam politik praktis. Alangkah eloknya jika politik yang dimainkan oleh kedua ormas terbesar di negeri ini menjadi pendorong terwujudnya etika publik dalam politik.
Demokrasi yang sedang bergemuruh di negeri ini sejatinya tidak hanya menjadi perayaan secara prosedural yang hiruk-pikuk saat pemilihan umum/pemilihan umum kepala daerah, tetapi dapat mewujudkan demokrasi substansial dalam rangka menegakkan pluralisme, hak asasi manusia, kesetaraan jender, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini terlihat absen dalam perhelatan demokrasi yang menyebabkan demokrasi berada di persimpangan jalan.
Perlu dorongan kuat agar politik dijadikan sebagai instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan publik (al-mashlahal al-’ammah) dan persaingan dalam bingkai kebajikan (istibaq al-khayrat). Politik bukanlah alat merampok uang rakyat, melainkan alat untuk mencapai cita-cita bersama sebagaimana dicetuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan perdamaian dunia.
Prinsip-prinsip adiluhung dan luhur tersebut mulai absen dalam realitas kehidupan sosial-politik. Karena itu, tugas gerakan masyarakat sipil, khususnya NU dan Muhammadiyah, menjadi pengingat dan kontrol efektif terhadap pemerintah agar menjalankan fungsi dan tugas sebagai pelayan rakyat. Semua itu bisa dilakukan jika NU dan Muhammadiyah benar-benar mampu menjadi ormas mandiri, apolitis, rasional, dan transformatif.
Sumber: KOMPAS, 26 Desember 2012, Halaman: 7.