Media dan Gerakan (Media) Sosial
Gerakan masyarakat sipil memang lazim mendapat dorongan dan penguatan dari media sosial.
Namun, melambungkan peran media sosial belaka dapat menjebak kita pada kesimpulan merepotkan, setidak-tidaknya dalam kasus Indonesia: Koin Prita, Cecak vs Buaya (Bibit dan Chandra), dan Semut Rangrang vs Buaya (5 Oktober 2012 di Kantor KPK).
Dalam peristiwa 5 Oktober itu aktivis masyarakat sipil menyatakan diri membela KPK dari upaya sekelompok polisi yang bermaksud menahan penyidik KPK, Novel Baswedan. Laporan langsung televisi cukup intensif. Publik menyaksikan adegan visual kantor KPK ”dikepung”. Media massa selektif memilih orang- orang yang bersama-sama menyatakan ketidaksetujuannya— sebagian mengutuk—atas perlakuan sekelompok oknum polisi.
Demikian pula dalam ”fenomena” Joko Widodo, yang akhirnya terpilih sebagai gubernur DKI. Selain oleh gerakan sosial pendukung Jokowi-Basuki dan simpatisannya, terutama lewat media sosial, mereka juga sangat terbantu oleh dukungan media massa. Sekalipun pemilihan hanya untuk wilayah DKI, seluruh Indonesia menyaksikan ”fenomena” itu melalui televisi.
Menggarisbawahi interaksi seperti ini, tidak berarti mengecilkan peran gerakan sosial beserta media sosial. Justru gerakan masyarakat sipil inilah yang sering jadi peristiwa media. Masyarakat sipil melakukan ”pertunjukan”, media massa berjalan mengiringi. Di saat itu media sosial konsisten menabuh penguatan.
Media dan industri
Media sosial memang unik. Tak sedikit tulisan di jurnal komunikasi politik internasional menggambarkan peran media sosial dalam destabilisasi sesuatu yang dianggap tak menguntungkan serta tak didukung publik. Ketika salah satu calon wakil gubernur DKI mengejek Basuki dengan panggilan bernada rasisme, kekuatan media sosial dalam arah seperti itu makin terbukti.
Media sosial juga memiliki kekuatan lain, semacam ”kebebasan” menyajikan sinisme dengan gaya dan bahasa humoris atau parodis. Beberapa media massa belum berani mengadopsi gaya dan bahasa yang dianggap ekstrem ini.
Pada bagiannya, media massa yang cerdas akan tetap berpengaruh dalam menyejahterakan rakyat sesuai dengan keinginan konstitusi. Hanya jurnalis yang sekaligus intelektual dapat menemukan serta mengangkat data bahwa di Indonesia setiap dua jam ada seorang ibu yang meninggal! Jika media massa konsisten memberitakan hal-hal seperti itu, khususnya sebagai berita utama halaman depan, maka media bisa menginspirasi, mendorong, bahkan memobilisasi.
Namun, harus segera dinyatakan pula bahwa media massa yang bisa memainkan peran luar biasa itu telah jatuh ke dalam logika industri. Karena itu, publik harus memilah-milah siapa pemilik, siapa pengelola, siapa jurnalisnya. Dalam lintasan sejarah media, kita kagum pada kiprah PK Ojong, Jakob Oetama, Rosi- han Anwar, Mochtar Lubis, Goe- nawan Mohamad.
Namun, kita juga harus kritis memperhatikan rekam jejak para taipan media yang kini makin rajin menggunakan medianya untuk kepentingan politis. Hanya dengan rekam jejak itu, publik dapat membedakan mana yang sungguh-sungguh pernah berjuang untuk demokratisasi media serta demokratisasi dan perubahan bangsa ini.
Jadi, tak berdasar pernyataan yang baru saja dikeluarkan atas nama menginginkan perubahan. Kalaupun terpaksa harus mengakomodasi penampilan para pemilik media untuk aktivitas politiknya, tentu cara-caranya tidak langsung serta tidak terlalu lama makan durasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ancaman lain bisa muncul ketika para taipan ini memilih orang yang sejalan dengannya pada posisi pemimpin redaksi, pemimpin usaha, dan seterusnya. Pada ujungnya, jurnalis relatif terpaksa mengikuti arahan seperti itu.
Melirik ke belakang, dulu banyak aktivis yang tamat kuliah memilih berkiprah di LSM dan media massa. Artinya, rekam jejak jurnalis pun dapat menentukan bagaimana mereka bersikap di tengah tatanan industri media masa kini. Lepas dari kritik publik terhadap industri media, TV One masih punya ”Indonesia Lawyers Club”, di Indosiar masih ada ”BBM Show”, dan di Metro TV masih ada ”Mata Najwa”.
Gerakan media sosial
Bersama dengan bagian tertentu dari industri media massa yang masih memberi harapan, media sosial dapat memainkan peran yang lebih diharapkan masyarakat sipil. Dulu, hanya kalau redaktur opini meloloskan, maka opini seseorang akan tersebar dan dapat dibaca secara luas. Sekarang tak diperlukan izin semacam itu. Tiap orang langsung bisa menebarkannya lewat Facebook, blog, Twitter, dan forum yang juga disediakan media massa.
Salah satu kendala yang bisa dipecahkan media sosial adalah rintangan meliput dua sisi yang sering dijalankan secara konservatif oleh media massa. Apalagi jika suatu isu menyangkut institusi dan nama tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung memiliki kedekatan dengan media itu, setidaknya secara psikologis.
Kebebasan lain yang dirayakan masyarakat sipil pengguna media sosial di Indonesia adalah menyatakan sikap secara langsung kepada kelompok pengguna kekerasan menghadapi perbedaan dan interpretasi ajaran agama. Yang ini umumnya dihindari media massa, terutama karena kelompok itu mengancam mendatangi kantor media massa.
Tentu saja kelebihan media sosial ini harus dicatat bersama sekelompok orang yang dapat menyalahgunakannya. Mula- mula publik menyaksikan mereka seperti gerakan masyarakat sipil pengungkap data, tapi lama- lama menjadi kelompok bayaran untuk menjatuhkan pihak lain.
Di atas semua itu, sebetulnya tersisa suatu pertanyaan penting: kapan masyarakat sipil memperjuangkan hak konstitusinya untuk memiliki akses lebih adil kepada media massa dalam kredo kebinekaan pemilikan dan kemajemukan isi media? Ini sebenarnya bisa dilakukan dengan memobilisasi isu lewat media sosial. Kalau ini terjadi, kita bisa melihat media massa (yang barangkali masih harus merangkul sebagian logika industri) dalam perjuangan masyarakat sipil menuju negara kesejahteraan.
Sumber: KOMPAS, Rabu, 26 Desember 2012, Halaman: 6.