Semangat untuk Mencapai Lebih
Dalam suatu pertemuan “kick off” dalam rangka dimulainya program pengembangan talenta karyawan, beberapa individu terpilih yang jelas terlihat sebagai ‘creme de la crème’-nya organisasi, bertanya tentang apa ukuran keberhasilannya dan kapan berakhirnya program ini. Betapa sering kita menganggap bahwa program-program pelatihan, pembinaan, ‘coaching’ dan ‘counseling’ adalah sebuah upaya komplit untuk mengubah atau mengembangkan seseorang. Padahal, kita juga tahu, bahwa masa depan demikian terbuka lebar dan jauh, harus diarungi seseorang dari waktu ke waktu. Sadarkah kita bahwa pengembangan diri sebetulnya terjadi secara pribadi, dalam diri individu, tidak melulu bersama lembaga tempat kita bekerja? Di satu sisi kita sadar betapa organisasi harus menginvestasikan biaya tidak sedikit untuk pengembangan. Di sisi lain, tidak sedikit individu yang terpilih untuk mengikuti program pengembangan dan coaching tidak menunjukkan wajah happy saat duduk di kelas pelatihan, bahkan ada yang mengeluhkan program pengembangan sebagai “beban” tambahan disamping pekerjaannya yang harus ia jalani.
Kita sering lupa bahwa ambisi pribadi, kehendak meraih sesuatu yang lebih baik dan keinginan berkembang adalah hak dan sekaligus juga kewajiban diri sendiri. Kehendak dan ambisi ini, akan sangat berguna, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk teman sekerja, organisasi, keluarga bahkan negara. Namun, betapa sering kita melihat individu lelah mengembangkan diri. Misalnya, seseorang yang rencananya pensiun pada usia 56 tahun, sudah lelah ketika ia memasuki usia 50. Seorang ‘fresh graduate’ pilihan, tiba-tiba kecewa mengetahui lembaga yang dimasuki tidak lagi menyediakan fasilitas belajar ke luar negeri. Pertanyaannya, apakah kita sudah menetapkan strategi karir kita? Apakah kita sudah mempunyai peta pengembangan pengetahuan, ketrampilan, pergaulan, untuk menjadi “a better self”? Apakah mungkin sekedar “go with the flow” dalam persaingan ketat begini? Apakah kita bisa mengalah dengan hasil yang ‘sedang sedang saja”?
Semangat untuk Mencapai “Lebih”
Di beberapa lembaga, kerap terjadi fenomena aneh. Calon pegawai menengah yang sudah terseleksi ketat, pada tahun kelima perekrutan, sudah menunjukkan perlambatan pengembangan diri. Mereka menjadi orang-orang yang super patuh, sangat prosedural, sangat birokratis dan akhirnya ‘lupa’ mengembangkan diri. Dalam situasi begini, “pihak” yang paling dipersalahkan adalah ‘kultur organisasi”. Banyak orang percaya bahwa kultur organisasi bisa ‘menyulap’ orang yang tadinya berinisiatif, ambisius, kritis, menjadi orang yang berbeda secara 180 derajat. Padahal, di lembaga yang sama ada juga individu yang ‘survive’ dan menampilkan sikap manajerial dan kepemimpinan yang keren. Hanya saja, individu seperti ini tidak banyak. Ketika saya menanyakan kepada salah satu direktur yang berhasil ‘tampil beda’ di budaya yang terkenal birokratis ini, ia menyatakan,”Sebenarnya, asal kita selalu ‘eling’ untuk mengembangkan diri sendiri, kita bisa maju. Bahkan di kultur yang tidak produktif begini, kita menjadi lebih mudah ‘bersaing’”. Kita sering lupa bagaimana kita bisa ‘memakai’ potensi yang ada dalam diri kita untuk sesuatu yang berguna bagi diri kita sendiri , organisasi atau bahkan negara ini. Pernahkah kita menghitung berapa banyak bakat, potensi dan enerji terpendam yang belum kita gunakan?
Seorang ahli mengatakan:“The road to self development begin with awareness”. Hanya dengan kesadaran tinggi mengenai posisi kita, mengenai kekuatan, kelemahan, ambisi dan aspirasi kita, kita bisa memetakan karir kita. Selain menentukan sasaran, kita pun perlu memilih jalan yang paling ‘cerdas’ agar bisa mencapai sasaran dengan sukses. Untuk itu ‘self management’ perlu dikuasai betul. Mengatur waktu, berdisiplin, memprioritaskan pekerjaan, juga berespons cepat dalam komunikasi dengan rekan, apalagi pelanggan. Banyak orang mengira bahwa menjalankan tugas secara rapi, teratur, proaktif bukan bagian pengembangan. Padahal, dalam menjalankan pekerjaan itulah kita menemukan kesempatan untuk berkembang. Pengembangan karir itu “embedded” di dalam pekerjaan, tidak selalu harus memakan waktu spesial atau khusus. Kita perlu merasa berterimakasih bila kita diberi tugas baru yang sulit dan menantang, karena disinilah ajang belajar terbaik.
“Human Resources” itu KITA
Masih banyak orang yang punya pandangan keliru dan tidak ‘menguntungkan’ terhadap peran Divisi Human Resources dalam organisasi. Kita sering mendengar komentar: ”HRD- nya melempem. HRD-nya tidak aktif, tidak kreatif, lamban”. Padahal, secara persentase jelas-jelas terlihat betapa Divisi HRD dengan segelintir orang saja tidak akan mungkin dapat mengawasi, melakukan, apalagi mengontrol pengembangan setiap karyawan di organisasi secara intensif. Perkembangan karir individu hanya bisa terjadi bila seseorang yang membawa potensi, kepandaian dan ketrampilannya ke organisasi, kemudian menggerakkannya menjadi suatu aktivitas yang produktif. Disinilah baru individu bisa menangkap pelajaran-pelajaran lain, yang bisa memperkaya kapabilitasnya.
Manusia memang berbeda dari mesin. Mesin bertenaga kuda sekalipun akan jebol bila dipaksakan bekerja di atas kapasitasnya. Manusia, dalam perkembangannya, akan mampu menjalankan hal-hal di luar potensi awalnya. Seorang teknisi, keluaran STM, bisa mengembangkan kemampuan interpersonal melalui bergaul dengan klien, mengembangkan kepemimpinannya, dan bahkan belajar bidang lain, seperti ‘finance’ , pemasaran. Pada saatnya, ia bisa menjadi matang sebagai manajer ‘sales’ misalnya. Disinilah letak kekuatan Human Resources, yang bisa menyulap “human capital” menjadi besar dan berkembang. Dengan banyaknya alat teknologi di seputar kita, kita memang sudah tidak punya pilihan untuk tidak berkembang. Agenda dan mesin pengingat yang demikian canggih , sudah tidak memungkinkan kita luput dari ‘appointment’ yang sudah dijadwalkan. File yang kita butuhkan untuk ditunjukkan ke klien, atau sebagai data penunjang sudah bisa ada dalam saku baju tanpa membebani bobot bawaan kita. Komunikasi sudah ‘real time’ , tidak ada penundaan lagi Kita semua tahu bahwa kita dianggap oleh negara berkembang sebagai negara yang tidak mampu mengoptimalisasi diri. Jangan ditunda. Tidak boleh lagi ada hari tanpa agenda pengembangan diri. Arahkan produktivitas kita, menuju “ideal self” kita. Walaupun berkembang atau tidak itu pilihan, kita tidak mungkin ‘survive’ bila memilih untuk diam dan menunggu.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 22 September 2012, Halaman: 33.