Pendidikan untuk Melahirkan Generasi Baru (Bagian 4/4)
Ketika gerakan reformasi merebak pada tahun 1977-’78, seluruh rakyat Indonesia berharap agar segera terjadi perubahan-perubahan yang berarti dalam kahidupan mereka. Lima tahun setelah reformasi berjalan, dan kehidupan rakyat ternyata tidak juga bertambah baik, mulailah terdengar pendapat, bahwa Indonesia harus melahirkan “generasi baru” untuk dapat keluar dari berbagai jenis krisis yang melilit dirinya selama ini.
Suara ini makin lama kedengaran makin lantang, dan bahkan ada yang melontarkan pendapat, bahwa bila perlu Indonesia harus berani melakukan “loncatan generasional”. Artinya, Indonesia harus berani “mengorbankan” suatu generasi, yaitu mengabaikan sepenuhnya generasi tadi, tidak usah memperhitungkannya dalam penyusunan dan pengembangan kekuatan baru dalam kehidupan bangsa.
Apakah gagasan-gagasan di atas cukup sehat, cukup realistik, dan dapat dilaksanakan?
Sukar untuk menjawab pertanyaan ini secara definitif. Bagi saya, yang jelas ialah bahwa gagasan di atas mencerminkan masih adanya optimisme dalam masyarakat kita. . Ini lebih baik daripada gagasan-gagasan yang pesimistik. Apakah cukup realistik? Sukar untuk dijawab, karena gagsan-gagasan tadi masih “mentah”, belum cukup diolah. Jadi belum dapat dikatakan, apakah gagasan untuk melahirkan generasi pembaharu ini cukup realistik atau tidak, dan dapat dilaksanakan atau tidak.
Pendidikan Untuk Mendorong Lahirnya Generasi Pembaharu
Jadi, apa sekarang yang sebaiknya dilakukan oleh guru-guru di sekolah kita, agar generasi-generasi mendatang secara berangsur-angsur menjadi lebih siap untuk bertindak sebagai generasi pembaharu?
Saya kira ada dua hal yang dapat dan perlu dilakukan oleh guru-guru kita. Pertama, mendefinisikan kembali (redefining) tugas mereka sebagai guru. Yaitu, bahwa dalam masa peralihan ini tugas guru pada akhirnya ialah mempersiapkan murid-murid mereka untuk menjadi generasi pembaharu. Redefinisi seperti ini akan lebih bermakna dibandingkan dengan definisi-definisi klise yang sangat hiperbolis itu. Dan dilihat dalam konteks perjalanan historis kita, juga akan lebih relevan. Dengan redefinisi seperti ini, apa pun tugas resmi seorang guru, ia akan dapat secara sadar turut serta mempersiapkan kedatangan generasi pembaharu . Setiap guru akan dapat secara sadar turut membimbing murid-murid menjadi warga negara yang bersih, cakap, dan merasa turut bertanggungjawab terhadap keadaan masyarakat dan bangsa.
Kedua, mengarahkan segenap program pendidikan untuk mendorong murid-murid memahami semangat zaman dan menangkap “panggilan zaman.”. Ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tetapi dapat dilaksanakan. Intinya ialah mengusahakan untuk mewujudkan hubungan langsung antara materi pendidikan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Ini cukup sukar. Sebabnya ialah karena selama ini guru harus bekerja dalam tradisi pendidikan sekolah yang hanya mengutamakan “penguasaan ilmu” atau “pengumpulan pngetahuan” (accumulation of knowledge) dan mengabaikan sama sekali pendidikan untuk mempertajam kepekaan terhadap nilai-nilai. Selamu guru harus bekerja di sekolah dengan suasana pendidikan seperti ini, selama itu pula guru tidak akan dapat membimbing murid-murid untuk memahami “semangat zaman” dan menangkap “panggilan zaman”. Kedua hal ini membutuhkan kepekaan terhadap nilai-nilai, kepekaan terhadap suasana yang ada dalam masyarakat. Kedua hal ini membutuhkan kepekaan sosial dan kepekaan kultural yang tinggi, di samping kesadaran sejarah. Selama pendidikan sekolah tetap berorientasi kepada “pengetahuan tentang kehidupan”, dan bukan kepada kehidupan itu sendiri, selama itu pula akan sangat sukar bagi guru untuk menimbulkan kemampuan memahami “semangat zaman” dan “pangilan zaman” tadi. Selama tradisi pendidikan sekolah ini tetap dipertahankan, selama itu pula pendidikan sekolah tidak akan mampu mendorong murid-murid untuk menerjuni dan memahami kehidupan nyata yang terdapat dalam masyarakat.
Kalau kedua langkah di atas kita lakukan secara beramai-ramai, maka pasti akan terdapat perubahan dalam suasana pendidikan di sekolah. Tetapi kalau hanya dilakukan oleh beberapa orang guru, dampak kedua pembaharuan dalam praktek pendidikan sekolah ini akan dangat terbatas. Jadi bergantung kepada kita, guru-guru sekolah, sekarang apakah kita akan terut berusaha untuk mempercepat kedatangan generasi pembaharu tadi, atau akan kita biarkan saja masyarakat, bangsa, dan negara tatap dalam keadaan yang sangat merisaukan ini.
Melalui dua langkah dasar ini saya kira sekolah akan menjadi lebih mampu untuk membimbing murid-murid memahami tugas historis yang dibebankan kepada generasi mereka secara lebih cepat dan lebih jelas. Dapatkah kedua langkah ini dilaksanakan dalam kondisi pendidikan sekolah yag ada sekarang ini? Saya yakin dapat. Karena yang dibutuhkan dalam hal ini bukan ketentuan birokrasi yang baru, bukan metode pembelajaran yang baru, bukan kurikulum yang baru. Yang dibutuhkan ialah keberanian serta kemampuan untuk bekerja secara imajinatif.
Apa yang akan terjadi, apabila pendidikan sekolah dibiarkan tetap berjalan seperti sekarang ini? Apakah generasi pembaharu tidak akan pernah datang? Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, generasi pembaharu itu akan tetap datang di tengah-tengah kita. Mereka akan datang, karena selama masyarakat kita masih bersifat demokratis, selama itu pula akan terdapat kekuatan-kekuatan kultural yang mendorong lahirnya generasi pembaharu ini. Hanya saja, sekolah akan sekedar menjadi penonton dalam peristiwa historis besar yang akan datang nanti.
njalanya
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
njalanya panas menempa
badja kemerdekaan
badja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanja
pilih njala atau pilih badjanya?
dan kita merebut kedua-duanja”
Agam Wispi, “Surabaja” (1965)
Oleh: (Alm) Mochtar Buchori
Makalah yang disampaikan pada “Simposium tentang Peran Guru dalam Perubahan Sosial Politik Bangsa”
Diselenggarakan di Aula SMU 6 Bulungan pada 15 Mei 2009 oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah DKI, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).