RUU Ormas: Politik Keteraturan
Politik keteraturan (politics of order) adalah politik yang lebih stabil, sederhana dan murah. Politics of order menciptakan sistem keterwakilan kepentingan yang mencegah partisipasi dari bawah. Kalangan elite kini semakin yakin bahwa sebelum demokrasi benar-benar dijalankan secara penuh dan membuka seluas-luasnya pintu bagi dukungan partipasi kerakyatan, yang lebih penting ditegakkan terlebih dahulu adalah rule of law dan tertib-politik. Tampaknya mereka menjalankan apa yang disebut sequencing of democracy (sekuensi demokrasi) yakni pilihan untuk menjalankan demokrasi secara bertahap, sedikit demi sedikit, melalui penataan kelembagaan, good governance, dan stabilisasi politik.
Pertanyaannya: Siapakah yang dianggap paling memiliki hak untuk menjalankannya? Mereka sendirilah yang menganggap diri paling berhak.
Lolosnya RUU Ormas sebagai usul inisiatif DPR, telah menunjukan dengan gamblang kepada kita bahwa keterwakilan suara rakyat dalam sistem politik kita buruk. Monopolisasi diskursus menjadi bukti nyata kepada kita bahwa ada upaya penghancuran kesempatan publik untuk menyalurkan pandangan dan kepentingan masyarakat luas. Situasi ini menyiratkan, di mana para elit sedang melakukan kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu: kekerasan yang sangat halus dan tidak disadari oleh individu yang mengalami sehingga dengan sukarela menerima kekerasan itu. Di sisi yang lain mereka melakukan “konsolidasi demokrasi oligarkis” – suatu gejala yang ditandai oleh praktek politics of order atau politik keteraturan, dan menjadikan demokrasi formal semakin tertutup bagi partisipasi popular. Politik demokrasi elitis dijalankan dengan serangkaian cara seperti itu, dengan melakukan praktek politik aliansi/koalisi dengan elite birokrasi/militer dan pemodal – inilah konsolidasi intra-state-elites.
Ada dua skenario besar yang berkembang dan mengkhawatirkan dari ide-ide di balik Politik Keteraturan.
Pertama, ide atau wacana demokrasi seperti ini pada gilirannya akan membatasi, dan juga menghambat kemajuan dari gerakan pro-demokrasi. Sebaliknya, pada saat bersamaan, wacana demokrasi seperti ini, langsung atau tidak, telah memberikan perlindungan buat kalangan elit oligarkis dan juga kalangan partai politik besar (mapan). Kedua, wacana demokrasi seperti ini akan membatasi upaya-upaya untuk melawan demokrasi patronase.
Singkat kata, di satu sisi, sebagian kalangan elit menggunakan demokrasi untuk kemajuan mereka, dan juga mempertahankannya, dan kemudian menjadi kekuatan yang solid dalam demokrasi yang baru tumbuh tersebut. Namun di sisi yang lain, ini juga menjadi cara untuk menyalahgunakan aturan- aturan main yang ada, dan pada gilirannya ini akan menggrogoti dan merusak kepercayaan yang luas terhadap demokrasi, serta memberangus keberadaan kelompok-kelompok kritis sebagai kelompok anti-demokrasi.
Masyarakat akan didorong untuk menerima struktur sosial yang penuh dominasi begitu saja, seakan-akan para elit oligarkis telah melakukan hal yang baik, bahkan mulia. Padahal individu-individu di dalam masyarakat berada dalam keteraturan yang mendominasi dan menindas dirinya.Politik keteraturan merupakan hasil kerja kekerasan simbolik yang menempatkan individu-individu di masyarakat dalam hierarki sosial yang mengkotak-kotakan manusia menurut fungsi dan peran tertentu. Sehingga tidak dibenarkan individu untuk terlibat di ranah lain, seperti politik.
Dengan kekerasan simbolik, fungsi dan peran individu sebagai aktor sosial direduksi. Sehingga individu menjadi yakin bahwa ia punya fungsi dan peran khusus, serta tak boleh mencampuri fungsi dan peran orang lain. Hal ini bahkan diyakini sebagai “doxa” (pengetahuan yang diterima begitu saja tanpa menimbang-nimbang). Untuk itu, UU No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan ini seharusnya dicabut, bukan direvisi (seperti yang telah diusulkan oleh DPR melalui RUU Ormas).
Oleh: Agung Wijaya
Artikel ini merupakan bagian dari presentasi Diskusi RUU Ormas yang diselenggarakan tanggal 11 September 2012 di Bumiwiyata, Depok. Hasil kerjasama antara ICCO Kerk in Actie dan Yayasan Penabulu yang diikuti beberapa Yayasan Mitra ICCO Kerk in Actie dengan narasumber dari: Kontras, Koalisi Kebebasan Berserikat, INFID, dan YLBHI.