Kelahiran UU Ormas (Bagian 2/2)
Menelusuri kelahiran UU Ormas, bentuk “ormas” sendiri sesungguhnya tidak jelas posisinya di dalam kerangka hukum karena ia adalah sebuah bentuk yang dicari-cari untuk mengontrol dan merepresi kebebasan berorganisasi. Terkait Ormas sendiri, aroma politik yang kental mewarnai kelahiran UU Ormas. Keberadaannya memang didesain untuk menerapkan konsep “wadah tunggal”, yaitu konsep untuk menempatkan segala jenis organisasi dengan kepentingannya masing-masing (kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, atau agama) ke dalam satu jenis format organisasi yaitu Organisasi Kemasyarakatan sehingga lebih mudah untuk dikontrol.
e. RUU Ormas dan Fenomena Kekerasan
Penyusun RUU Ormas juga terkecoh.Terkait anarkisme perseorangan dan berkelompok, sesungguhnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Dengan demikian, (pengusulan) RUU Ormas sebenarnya tidak relevan untuk memadamkan persoalan tersebut.
Pembiaran terhadap anarkisme dianggap karena tak ada aturan yang mewajibkan masyarakat berorganisasi (ormas) untuk mendaftarkan diri kepada pemerintah.Tak lebih sebuah argumentasi akal-akalan dan tidak berdasar. Sebetulnya anggota ormas dapat meminta pembubaran melalui rapat anggota atau ormas lain dapat menuntut pembubaran melalui kepailitan. Atas nama ketertiban umum dan kepentingan masyarakat, Jaksa Agung juga dapat menuntut pembekuan atau pembubaran badan hukum ormas melalui pengadilan.
f. Bantuan Asing
Dana atau bantuan asing acapkali menimbulkan persepsi negatif, terutama dari pihak legislatif dan eksekutif.Mereka menuduh bahwa jika suatu organisasi masyarakat menerima bantuan asing maka mereka menjalankan agenda atau memajukan kepentingan pihak luar negeri. Ada pula yang mengkhawatirkan bahwa dana asing merupakan sarana untuk mengintervensi dinamika kehidupan sosial politik dalam negeri.Berangkat dari dugaan miring tersebut, beberapa pihak menuntut pengaturan yang lebih ketat atas aliran dana asing. Mulai dari larangan hingga yang lebih ekstrim lagi, tuntutan pembubaran organisasi masyarakat yang menerima dana asing.
Bantuan asing merupakan instrumen politik luar negeri suatu negara, khususnya untuk memajukan kepentingan ekonomi-politik negara bersangkutan.Hal ini kiranya benar jika hanya didasarkan pada argumen self-interestdi mana tindakan agen sosial (dalam hal ini negara) selalu didasarkan pada perhitungan untung rugi.
Sebagian yang lain, yang sering terlewatkan adalah argumen etis yang mendasari bantuan luar negeri bahwa negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan , ketidakadilan sosial di negara- negara berkembang, dilanda konflik, tertimpa bencana, dan pasca perang.
Dasar argumen etis ini bersandar pada setidaknya dua pokok (Vernon W. Ruttan, 1987).Pertama, keadilan distributif, yakni perlunya kompensasi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang atas ketidakadilan yang muncul dari dominasi politik dan eksploitasi ekonomi.Kedua,penyebaran atau distribusi kekayaan alam yang secara global tidak merata sehingga kelebihan perlu dibagi kepada yang kekurangan.
Keadilan distributif menyatakan pula bahwa sebagian keuntungan atau manfaat ekonomi yang dinikmati negara-negara maju bersumber dari keuntungan yang didapatkan dari negara-negara berkembang.Secara empiris, hal ini terkonfirmasi melalui laporan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) bahwa pada 2007 misalnya, 45% dari harga final minyak per barel di negara-negara maju (G7) merupakan pajak yang dipungut negara (dikutip dalam Berlinschi dan Dubanes, 2010). Selain itu, negara-negara maju terikat dengan Monterey Consensus yang mewajibkan mereka mengalokasikan dana sebasar 0,7 % GDP untuk bantuan luar negeri.
Sumber Non-negara sumber lain dana pembangunan internasional yang mengalir secara global adalah filantropi. Filantropi berasal dari penyisihan keuntungan atau kekayaan organisasi atau perorangan yang di beberapa negara maju diakui sebagai faktor pengurang pajak.
Sumber berikutnya adalah dana publik yang dikumpulkan langsung dari masyarakat (charity) oleh lembaga-lembaga non-profit baik yang berbasis agama maupun non agama. Melalui pengelolaan secara transparan serta memenuhi berbagai persyaratan, dana-dana masyarakat ini disalurkan atau dibelanjakan untuk tujuan tertentu (ditetapkan sejak semula) maupun untuk tujuan yang masih terbuka atau tidak spesifik.
Kerjasama Strategis Donors – Recepients telah jamak dipraktekkan bahwa pengucuran dana bantuan internasional mengikuti apa yang dikenal dengan kerangka kerja strategis. Kerangka kerja ini pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, harus disusun rencana strategis yang dibangun berdasarkan analisis kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki dan tantangan dan kesempatan yang tersedia dalam lingkungan eksternal (negara/daerah tempat dilaksanakannya rencana).
Dalam prakteknya, penyusunan rencana strategis lembaga donor tidak hanya didasarkan pada assessment dan konsultasi dengan para pihak. Namun juga melibatkan para pihak yang potensial menerima atau menindaklanjutinya. Lebih jauh, kerjasama antara donor dan recipient (penerima) tidak didasarkan pada pesanan pekerjaan (job order) dari donor, tapi pada kesamaan agenda strategis antara donor dan recipients. Pada kondisi yang pertama, agenda datang dari pemberi pekerjaan (job offerer). Sementara yang kedua, agenda datang dari recipientdan diterima karena sesuai dengan agenda strategis mereka (donor).
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa bantuan luar negeri sebenarnya bukan alat penaklukan politik domestik oleh kekuatan asing, tapi lebih sebagai instrumen pelaksanaan keadilan distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan sosial secara domestik.
Terkait dana atau bantuan asing, sebenarnya yang ingin diatur adalah akuntabilitas organisasi masyarakat dalam hal keuangan. Kehadiran UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 angka 3, menjadikan pula organisasi masyarakat sebagai BADAN PUBLIK, yang dikenakan sejumlah kewajiban. Salah satunya transparansi dan akuntabilitas serta kebijakan organisasi masyarakat (Pasal 7).
Keberadaan dana Official Development Assistance (ODA) yang masuk ke Indonesia telah disetujui oleh Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, dapat disimpulkan ODA telah melewati tahapan uji bahaya (harm test) terhadap kepentingan bangsa. Rangkaian prosedur (persetujuan) oleh suatu kementerian atas dana atau bantuan luar negeri hanya akan menambah beban yang tidak perlu bagi organisasi masyarakat. Regulasi yang dikenakan oleh UU Keterbukaan Informasi Publik rasanya sudah lebih dari cukup untuk mendorong hadirnya transparansi dan akuntabilitas.
Bahkan realitasnya, sebagian besar organisasi di Indonesia karena kebutuhan administratif telah menata diri dalam organisasi berbadan hukum Perkumpulan atau Yayasan. Pasal 16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah memberikan kewajiban kepada organisasi non pemerintah untuk menyediakan informasi publik seperti asas dan tujuan, program, sumber dana, pengelolaan keuangan dan lain-lain, sehingga organisasi akan mencantumkan informasi ini melalui website masing- masing organisasi. Hampir seluruh organisasi yang berbadan hukum sebagian besar diaudit keuangannya oleh akuntan publik karena hal ini menjadi kewajiban lembaga sebagai wajib pajak. Sehingga tidak benar jika organisasi tidak tertib secara administratif dan keuangan. Tanpa Undang Undang Ormas-pun telah ada Undang Undang yang mengatur hal-hal administratif bagi organisasi seperti Undang Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang Undang Yayasan, dan Staatsblad tentang Perkumpulan.
g. Payung Hukum
Pengaturan Ormas sebagai UU payung hanya akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan menciderai kebebasan berorganisasi di Indonesia. Keberadaannya tidak diperlukan, karena Undang Undang Dasar 1945 telah memayungi undang undang dan memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul.
Pendekatan represif politik-keamanan terhadap organisasi masyarakat sipil harus ditinggalkan, dengan menghilangkan peran Kemendagri dan menggantinya dengan pendekatan hukum melalui Kemenkumham dan pendekatan pemberian dukungan/fasilitasi kegiatan melalui kementerian yang relevan (Kemensos, Kemendiknas, Kemenag dlsb) sesuai bidang kegiatan organisasi. Selama urusan organisasi masyarakat sipil diserahkan kepada Kemendagri, maka selama itu pula sektor organisasi masyarakat akan selalu didekati dengan pendekatan politik keamanan yang represif (pembatasan, pembubaran dlsb). Hal ini jelas berbanding terbalik dengan sektor swasta yang didukung melalui berbagai fasilitas dan insentif.
Oleh: Agung Wijaya
Artikel ini merupakan bagian dari presentasi Diskusi RUU Ormas yang diselenggarakan tanggal 11 September 2012 di Bumiwiyata, Depok. Hasil kerjasama antara ICCO Kerk in Actie dan Yayasan Penabulu yang diikuti beberapa Yayasan Mitra ICCO Kerk in Actie dengan narasumber dari: Kontras, Koalisi Kebebasan Berserikat, INFID, dan YLBHI.