Rio+20: Poin Sosial dan Lingkungan Tak Jelas
Keputusan Konferensi tak Mengikat secara Hukum
JAKARTA, KOMPAS – Poin sosial dan lingkungan pada Dokumen “The Future We Want” diperkiraan tak selesai. Dokumen itu menjadi keluaran Konferensi berkelanjutan PBB, Rio+20,20-22 Juni 2012. Berbagai kalangan juga pesimistis soal ekonomi ramah lingkungan.
Pembahasan dokumen “The Future We Want “ tingkat informal, 29 Mei 2012- 2 Juni 2012, tak menunjukan awal menggembirakan. Pertarungan antarkepentingan blok-blok negara tetap dominan dan meninggalkan hal-hal demi kebaikan bersama. Kesepakatan anggota belum mencapai 50 persen isi dokumen.
Pada sisi lain, Konferensi Rio+20 dibayangi krisis global di berbagai sektor. Diantaranya krisis ekonomi di Eropa dan Benua Amerika, krisis finansial, dan sejumlah konflik politik di Timur Tengah. Tahun ini tahun ke-20 setelah Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB yang pertama di Rio de Janerio, Brazil.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Minggu (10/6), di Jakarta, mengungkapkan, “Rio akan terus berjalan, tetap akan keluar hasilnya. Namun diduga ada beberapa hal menunggu hasil dari Doha, ibu kota Qatar, dan peninjauan ulang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) tahun depan, “katanya. Di Doha Desember 2012 akan berlangsung Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Tahun depan akan dilakukan peninjauan ulang MDGs.
“Perubahan iklim itu aspek lingkungan, sementara MDGs aspek sosial,” ujar Emil. Ia menduga peserta konferensi Rio+20 akan berhati-hati. “Pertemuan Rio+20 akan kesulitan membahas dua hal itu karena akan ada dua konferensi untuk itu. Jadi rumusan Rio+20 mungkin tak akan lengkap,” tambahnya.
Resiko pecah
Presiden Prancis Francois Hollande saat membuka “ Club France Rio+20”, Jumat, di Paris, Perancis, menyatakan, “Ada risiko terjadi perpecahan antarnegara maju, negara berkembang ekonominya (emerging countries), dan negara miskin. Juga ada resiko gagal karena terjadi berbagai krisis, antara lain krisis ekonomi dan politik di berbagai belahan dunia. “Orang akan mudah berpaling dari sesuatu yang mestinya menjadi prioritas, yaitu masalah lingkungan,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menuding pemerintahan sejumlah negara mendahulukan kepentingan negara masing-masing daripada kepentingan bersama. Pada satu minggu tambahan untuk negosiasi di New York, AS, perundingan semakin tak terarah, terpecah menjadi 19 dialog, saat membicarakan jalan baru menuju pembangunan berkelanjutan.
Pesimisme juga disuarakan World Wide Fund Nature (WWF) dan Third World Network (TWN). “Kemungkinan ada dua skenario. Kesepakatan akan lemah sekali sehingga tidak ada artinya, atau sepenuhnya kolaps. Dari dua itu tak ada yang diharapkan terjadi. Posisi negara-negara amat berjauhan dan terlalu dalam perbedaanya untuk bisa mendapat rancangan perjanjian yang bisa disepakati sekurangnya 120 kepala negara,” ujar Direktur Umum WWF Jim Leape.
Tak mengikat
Hasil Rio+20 bukan kesepakatan mengikat secara hukum, melainkan menandatangani peta jalan pada dokumen “The Future We Want”. Negara-negara itu diminta komitmennya pada “ekonomi ramah lingkungan” untuk menyediakan lapangan pekerjaan dari produksi energi terbarukan dan efesiensi energi. Juga diharapkan ada kesepakatan untuk menetapkan tujuan pembangunan berkelanjutan serupa dengan MDGs. Pendapat serupa ditanyakan TWN.
Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20 itu upaya menjawab tantangan transformasi pada kebijakan liingkungan, sosial, dan ekonomi. Tantangan yang dihadapi adalah jumlah penduduk dunia yang melebihi 7 miliar jiwa tahun lalu dan diperkirakan 9 miliar jiwa pada tahun 2050. Untuk memenuhi kebutuhan manusia sebanyak itu, lingkungan tak akan bisa selamat akibat pembangunan. (AFP/GUARDIAN/ISW)
Sumber: KOMPAS,Senin, 11 Juni 2012, Halaman: 13.