Rio+20: Hadapi Penghancuran Lingkungan, Masyarakat Tak Terlindungi
Jakarta, Kompas – Dokumen keluaran Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB di Rio de Janeiro, 20-22 Juni 2012, dinilai kian melemahkan perlindungan terhadap masyarakat sipil. Masyarakat dihadapkan langsung pada lembaga-lembaga besar dalam kerangka mekanisme pasar. Nyata bahwa peran negara dilucuti.
Demikian antara lain diskusi media dengan Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta, Selasa (12/6). Narasumber adalah Koordinator Forum Masyarakat Sipil (CSF) Siti Maemunah, aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Rakyat (Kiara) Mida Saragih, peneliti pada Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Dyah Paramita, anggota Divisi Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam dari Solidaritas Perempuan (SP) Aliza Yuliana, serta Nika dari Institute for Essential Services Reform (IESR).
”Dari dokumen yang diajukan Indonesia untuk dokumen ’Future We Want’, peran negara dilucuti, dilemahkan,” kata Dyah. Sementara isi deklarasi tahun 1992 pada Konferensi Lingkungan dan Pembangunan di Rio cukup bagus. Ada 27 prinsip kuat yang mendorong perlindungan hukum di tingkat internasional dan nasional.
Saat ini, rakyat dihadapkan langsung dengan transnasional tanpa perlindungan pemerintah. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar.
Menurut Dyah, dokumen yang bakal keluar dari Konferensi Rio+20 bisa dikatakan mundur. ”Sudah 20 tahun sejak dokumen 1992, mestinya sekarang berbicara implementasi untuk menindaklanjuti, bukan memperbarui komitmen lagi,” katanya.
Tujuan Konferensi Rio+20 antara lain memperbarui komitmen pembangunan berkelanjutan dan membangun kelembagaan demi mencapainya.
Penghancuran lingkungan
Menurut Siti Maemunah, sepuluh tahun terakhir di Indonesia justru terjadi penghancuran lingkungan secara berkelanjutan. ”Indonesia dipuji karena pertumbuhan ekonominya 4-8 persen setahun, tetapi hanya 4 juta orang yang mapan dengan gaji Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per tahun. Ada kesenjangan sosial luar biasa. Lebih kurang 56 persen aset negara dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia,” ujarnya.
Di lapangan, pemberian konsesi marak untuk pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan pertanian skala besar. ”Pulau-pulau kecil dan kelautan diberikan kepada konglomerat dan lembaga transnasional,” ujarnya.
Mida mengungkapkan fakta- fakta dalam perkara kelautan dan pesisir. Hal itu di antaranya perubahan fungsi mangrove di Langkat, Sumatera Utara, yang menjadi perkebunan kelapa sawit. Sementara Nika dari IESR menegaskan perlunya pencapaian program akses energi untuk semua agar tercipta tahun 2030.
Keprihatinan juga muncul karena pada dokumen usulan Indonesia sama sekali tak menyinggung soal jender. ”Perempuan berisiko besar menanggung dampak kerusakan sumber daya alam dan lingkungan,” ujar Aliza.
Kemarin, masyarakat sipil menyerukan lima hal penting komitmen negara-negara peserta Konferensi Rio+20 untuk memikirkan nasib penghuni bumi.
(ISW)