Kemiskinan dan Kesejahteraan
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2011 yang belum lama diterbitkan untuk Program Pembangunan PBB (UNDP) kembali mengingatkan kita akan beberapa fakta, ilusi, dan pengharapan tentang kemiskinan, pemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia.
Kesadaran akan kenyataan konkret dan cita-cita kebangsaan ini sangat menentukan sikap kita menanggapi beragam umbaran para politikus sekarang tentang penghidupan rakyat banyak dan kebijakan ekonomi yang diberlakukan dan ditawarkan.
HDR menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multidimensi, yakni yang diukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup. Walaupun ini angka besar, jumlah orang miskin sebenarnya terus berkurang dari tahun ke ta- hun. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat dari 0,423 pada 1980 menjadi 0,617 pada 2011, hampir 50 persen dalam 30 tahun, suatu pencapaian yang signifikan dibandingkan dengan banyak negeri lain.
Kenyataan ini tetap benar menurut ukuran yang berbeda. Bank Dunia menyatakan, jumlah orang yang hidup di bawah 2 dollar AS (paritas daya beli) per hari pada 1984 adalah 88,4 persen, dibandingkan dengan 50,6 persen pada 2009, dan yang hidup di bawah 1,25 dollar AS pada 1984 adalah 62,8 persen, dibandingkan dengan 18,9 persen pada 2009. Persentase orang sangat miskin saat ini menurut BPS lebih kecil lagi, 13,33 persen, tetapi dengan garis kemiskinan yang terlalu rendah untuk dianggap serius.
Data ini membuktikan tiga hal dalam satu generasi terakhir ini. Pertama, orang Indonesia pada umumnya makin sejahtera secara substansial. Kedua, telah terjadi pengurangan kemiskinan yang besar. Ketiga, separuh rakyat Indonesia masih sangat miskin.
Pemerintah pada umumnya berusaha membesar-besarkan peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan itu dengan angka-angka statistik, tetapi cenderung mengecil-ngecilkan keberadaan orang miskin yang masih sangat besar. Sebaliknya, politikus oposisi serta pejuang dan pembela orang miskin biasanya menekankan kenyataan kemiskinan dan menyorot kesenjangan dengan cara mendramatisasi kepahitan hidup orang miskin dibandingkan dengan kemewahan orang kaya.
Barisan itu menggugat kemampuan orang kaya menyetir para penyelenggara negara sehingga mengeluarkan kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan mereka dikontraskan dengan ketidakberdayaan orang miskin yang bahkan dengan demonstrasi, teriakan, dan air mata jarang mendapatkan kebutuhan, apalagi keinginan mereka.
Fakta dan ilusi
Untuk sampai pada pemilihan kebijakan ekonomi yang benar-benar bijaksana dan bermanfaat bagi umum serta pada pembukaan mata orang banyak dalam menentukan pilihan atas calon-calon pemimpin secara cerdas demi kesejahteraan mereka sendiri, dan pada arah advokasi yang berwawasan kemakmuran jangka panjang universal oleh organisasi masyarakat sipil (alih-alih demi kemenangan sesaat dan setempat yang justru bisa menghambat pemajuan ekonomi yang diidamkan), fakta dan ilusi harus dipisahkan dengan ketat.
Pemerintah harus secara terbuka mengadopsi garis kemiskinan yang lebih realistis. Angka 2 dollar AS yang dipakai Bank Dunia adalah angka kasar, dan seperti angka-angka BPS, perlu penjabaran lebih konkret menurut kenyataan kebutuhan hidup setempat.
Namun, BPS memakai garis yang terkesan direndah-rendahkan, antara di bawah Rp 200.000 dan sedikit di atas Rp 300.000 per bulan per orang sehingga alih-alih meyakinkan orang akan keberhasilan pembangunan malah menimbulkan keraguan akan kejujuran pemerintah. Bahwa pa- ling tidak separuh penduduk Indonesia bisa dianggap miskin dapat dijadikan titik tolak kasar untuk saat ini.
Pemerintah juga perlu mengakui bahwa kesan kesenjangan (bahkan kalaupun dianggap bukan persoalan mendasar menurut ilmu ekonomika dan adalah keniscayaan dalam setiap pertumbuhan ekonomi menuju kemakmuran) bisa menimbulkan ketidakstabilan politik dan memperlemah rasa persatuan kebangsaan apabila dibiarkan sangat melebar sehingga wajib ditangani secara khusus dengan kebijakan ekonomi dan politik yang efektif.
Keberadaan kantong-kantong kemiskinan, penggerogotan terhadap tanah-tanah adat, dan perusakan lingkungan hidup dalam sejumlah bentuk yang cenderung merugikan orang kecil adalah masalah-masalah serius. Penyelenggara peradilan yang cenderung mudah disuap orang kaya serta korupsi di tingkat menengah yang menjadi fokus sekarang—demikian pula di tingkat atas dan bawah yang berdampak sangat besar terhadap kesejahteraan umum—juga masalah yang tak kalah seriusnya.
Selain kebijakan yang memajukan ekonomi secara keseluruhan, negara perlu secara khusus, serius, serta meluas memberlakukan dan meneruskan kebijakan yang targetnya hanya demi pendukungan terhadap orang miskin. Jadi, yang berkurang tak hanya kesengsaraan hidup mereka (seperti Askeskin dan jaring keselamatan sosial), tetapi juga mereka mendapat kemudahan melepaskan diri dari kemiskinan (seperti penaikan batas penghasilan terendah untuk pembayaran pajak dan penghilangan pemerasan birokratis, legal ataupun ilegal, atas usaha sangat kecil).
Pernyataan bombastis
Sebaliknya, para politikus oposisi dan organisasi masyarakat sipil pembela kemiskinan perlu mempertimbangkan ulang kecenderungan mengeluarkan pernyataan bombastis yang memang bermanfaat menggugah keprihatinan, tetapi berpotensi membawa orang pada pemilihan jalan keluar yang keliru.
Apabila orang banyak—bahkan pakar dan ilmuwan—salah percaya bahwa telah terjadi pemiskinan parah yang meluas, makin banyak orang Indonesia kian miskin dan rakyat pada umumnya makin tak sejahtera, sementara hanya sedikit orang yang menarik manfaat dengan curang hingga menjadi kaya raya luar biasa, mereka mungkin akan mengambil kesimpulan keliru bahwa semua kebijakan ekonomi dalam beberapa puluh tahun terakhir telah gagal. Dengan demikian, mereka akan berusaha membuang segala yang baik bersama-sama dengan yang buruk.
Kesadaran teliti akan fakta dan ilusi ini semoga menolong kita lebih bijak dan cerdas memilah mana padi mana ilalang, mana pupuk mana racun sehingga dengan menyingkirkan kebijakan serta pemimpin buruk dan bodoh, dan terus-menerus mendukung kebijakan serta pemimpin baik dan efektif, seluruh rakyat Indonesia akan terus bergerak menuju kesejahteraan ekonomi sebagaimana dimandatkan konstitusi kita.
Oleh: Samsudin Berlian, Pengamat Keadaan Sosial.
Sumber: KOMPAS, Rabu, 7 Desember 2011, Halaman:7.