Lonjakan Penduduk Menjadi Ancaman
Jakarta, Kompas – Lonjakan penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,49 persen menjadi ancaman serius karena kualitasnya rendah. Jika tidak dikendalikan, pertumbuhan ini akan berdampak luas, terutama pada ketersediaan pangan dan energi serta layanan pendidikan dan kesehatan.
Konsumsi pangan penduduk Indonesia rata-rata 120 kilogram beras per orang per tahun atau secara nasional sekitar 27 juta ton beras per tahun. Adapun konsumsi energi sekitar 61 juta kiloliter per tahun.
Pertambahan penduduk Indonesia saat ini 4 juta-5 juta per tahun. Pertambahan ini setara dengan jumlah penduduk Singapura.
”Pertumbuhan yang tinggi dengan kualitas masyarakat yang rendah akan menjadi beban besar dalam proses pembangunan,” kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Sabtu (19/11).
Di bawah Libya
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), pekan lalu, mengumumkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) untuk pemeringkatan daya saing global suatu bangsa. Pemeringkatan didasarkan atas pengukuran tiga dimensi berbeda, yaitu kehidupan yang panjang dan sehat, akses terhadap pengetahuan, serta standar kehidupan yang layak.
Hasilnya, kualitas manusia Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara atau lebih rendah dibandingkan dengan Libya (64), Bosnia-Herzegovina (74), atau Palestina (114).
Di Asia Tenggara, penduduk Indonesia sejak 1980 hingga kini mutunya masih di bawah Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112).
”Jika pasar bebas ASEAN, khususnya untuk tenaga kerja, diberlakukan pada 2015, daya saing manusia Indonesia akan sangat lemah,” ujar Ketua Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Sonny HB Harmadi.
Secara kasatmata, rendahnya kualitas manusia Indonesia tampak dengan besarnya tenaga kerja yang bekerja di sektor informal di luar negeri. Karakteristik utama mereka adalah gaji kecil, rendahnya pendidikan dan keterampilan yang disyaratkan, hingga lemahnya perlindungan hukum.
Arif mengatakan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang baik sangat penting. Hal itu berkaitan erat dengan kematangan sosial masyarakat. ”Kematangan sosial memengaruhi kemampuan masyarakat bersikap toleran, menghargai perbedaan, hingga proses demokratisasi yang berkualitas,” katanya.
Senjang
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia El Mostafa Benlamlih mengatakan, Indeks Pembangunan Manusia merupakan nilai rata-rata kualitas manusia suatu negara. ”Nilai Indonesia jatuh karena tidak meratanya layanan publik dalam bidang pendidikan dan kesehatan serta ketimpangan ekonomi antardaerah,” kata Mostafa.
Kesenjangan pembangunan antardaerah itu bersumber dari terkumpulnya 57,5 persen penduduk Indonesia di Jawa yang luas wilayah daratnya hanya 6,8 persen luas Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik 2009 menunjukkan lama sekolah rata-rata penduduk Indonesia hanya 7,72 tahun atau hanya setingkat SMP. Lama sekolah ini sangat bervariasi mulai 1-3 tahun di kabupaten-kabupaten di Pegunungan Tengah Papua hingga 11-12 tahun di Kota Yogyakarta.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Dwini Handayani Arianto mengatakan, pendidikan masih merupakan satu-satunya alat untuk bisa lepas dari jerat kemiskinan. ”Dengan pendidikan, manusia memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memilih sendiri jalan hidupnya,” ujarnya.
Meski demikian, lama sekolah saja tak cukup dijadikan standar keberhasilan pembangunan pendidikan. Kualitas pendidikan juga merupakan faktor penting untuk mewujudkan anak Indonesia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Kondisi kesehatan penduduk Indonesia juga tak terlalu menggembirakan. Angka harapan hidup rata-rata tahun 2009 adalah 69,21 tahun. Namun, kondisi ini tidak merata. Nusa Tenggara Barat berada di posisi terendah, yakni 61,80 tahun, dan Kalimantan Selatan 63,45 tahun, sedangkan angka harapan hidup tertinggi ada di DI Yogyakarta (73,16 tahun) dan DKI Jakarta (73,05 tahun).
Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan rasio puskesmas nasional mencapai 3,79 per 100.000 penduduk. Jumlah puskesmas di Jawa sekitar 35 persen dari 2.920 puskesmas perawatan yang ada. Kelihatannya tersebar merata karena 65 persen berada di luar Jawa. Namun, puskesmas di luar Jawa kebanyakan hanya berupa bangunan dan minim dokter.
”Lebih dari 25 persen puskesmas yang ada tidak memiliki dokter,” kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Bambang Sardjono (Kompas, 12/11).
Masyarakat di Jawa juga lebih beruntung karena 49 persen dari 1.642 rumah sakit berada di Pulau Jawa.
Di sisi ketersediaan dokter, Indonesia juga menghadapi persoalan serius. Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan rasio ideal jumlah dokter umum adalah 1 dokter umum per 2.500 penduduk. Di Indonesia pada 2010, 1 dokter umum melayani 10.000 penduduk atau seperempat dari rasio ideal. Itu pun sebagian besar dokter berada di Jawa.
”Pemerintah perlu segera menyelesaikan disparitas sumber daya pendidikan dan kesehatan secara tuntas,” ujar Arif.
Ekonomi eksklusif
Menurut Sonny, ekonomi Indonesia tumbuh secara eksklusif. Tingginya pertumbuhan dan pendapatan per kapita nasional tidak diikuti penyerapan tenaga kerja yang baik. Investasi yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak, yaitu sektor pertanian.
”Ekonomi tumbuh dan pendapatan nasional naik, tetapi hanya dinikmati sebagian kalangan,” katanya. Artinya, orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.
Sensus 2010 menyebutkan, 25 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian tanaman pangan. Jika kelompok pertanian lain disatukan, seperti hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan, jumlahnya 40 persen dari tenaga kerja Indonesia. Mereka umumnya berkualitas rendah sehingga menjadi persoalan bagi masa depan Indonesia. (MZW)
Sumber: KOMPAS, Senin, 21 November 2011, Halaman: 1.