Naik Saja Tidak Cukup!
Pada 2 November 2011, Program Pembangunan PBB mengumumkan nilai baru, dikenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia.
Indeks ini diciptakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan manusia yang diyakini lebih baik daripada ukuran tingkat pendapatan. Pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index, ada penambahan pengukuran tingkat pendidikan dan kesehatan pada masyarakat suatu negara.
Dari tahun ke tahun, ukuran yang dipergunakan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk melaporkan indeks ini tidak selalu sama, terutama pada lima tahun terakhir. Oleh karena itu, ranking suatu negara agak sukar dibandingkan dari tahun yang satu dengan tahun lainnya. Indonesia pernah berada di ranking ke-111 tahun 2009. Tahun 2010 seakan-akan bertambah baik karena naik ke ranking ke-108. Lalu ”tiba-tiba merosot” ke ranking ke-124 pada laporan 2011.
Apakah dengan penurunan tersebut berarti IPM Indonesia menurun, tidak juga. Berbagai indikator yang digunakan UNDP menyimpulkan IPM Indonesia tidak pernah menurun. Angka IPM pada tahun 1990—waktu Human Development Report pertama kali diterbitkan—Indonesia mempunyai nilai IPM untuk tahun 1980 sebesar 0,423 dan tahun 1990 sebesar 0,481.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2000, angka IPM naik menjadi 0,543. Tahun 2005 naik lagi menjadi 0,572 dan menjadi 0,617 pada tahun 2011. Jadi, tidak ada penurunan sepanjang sejarah pelaporan UNDP. Namun, harus diakui, apabila pada sepuluh tahun pertama kenaikannya 14 persen, pada dua puluh tahun terakhir telah terjadi stagnasi.
Pada laporan tahun 2011 ada delapan negara di atas Indonesia dengan ranking ke-114-123. Mereka adalah Palestina, Uzbekistan, Botswana, Suriah, Namibia, Honduras, Kiribati, dan Afrika Selatan. Lima di bawah Indonesia: Vanuatu, Kirgistan, Tajikistan, Vietnam, dan Nikaragua.
Dari 20 negara di Asia Pasifik, Indonesia berada di posisi ke-12. Di bawah Palau, Malaysia, Tonga, Samoa, Fiji, China, Thailand, Mongolia, Filipina, Mikronesia, dan Kiribati, serta di atas Vanuatu, Vietnam, Laos, Kamboja, Pulau Solomon, Timor Timur, Myanmar, dan Papua Niugini. Dibandingkan negara berpenduduk terbesar di dunia: China, India, AS, dan Indonesia, posisi Indonesia berada di urutan ketiga setelah AS dan China.
Kalau diperhatikan saksama, sebenarnya ”lawan-lawan” Indonesia bukan negara besar dengan sosial ekonomi menakjubkan, melainkan selalu di bawah negara-negara yang sebenarnya sangat tidak potensial. Tahun 1980- 1985 posisi Indonesia pernah di atas rata-rata ranking negara-negara Asia Pasifik, tetapi sesudah itu terus merosot dan makin menjauh dari rata-rata regional.
Sampai dengan laporan tahun 2011, Indonesia selalu kalah dari banyak negara Asia Pasifik. Andaikan Indonesia bekerja keras dan cerdas, barangkali bisa mengejar Filipina di posisi ke-12 di Asia Pasifik atau ke-112 di dunia karena tahun 2011 Filipina makin stagnan atau melambat. Namun, Indonesia bisa disabet Vanuatu atau Vietnam yang belakangan ini naik tajam.
Untuk mengejar negara besar seperti China tampaknya tetap menjadi impian yang sukar diwujudkan. Sejak tahun 1990, China selalu berada di atas rata-rata negara-negara Asia Pasifik.
Basis kependudukan
Indikator terbaru IPM adalah usia harapan hidup untuk mengukur kesehatan. Nilai terendah 20 dan nilai tertinggi 83,4 tahun. Indonesia sebenarnya beruntung punya program Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan yang berhasil sehingga nilai usia harapan hidup dalam tiga tahun terakhir masih naik dari 0,765 tahun 2009, 0,772 tahun 2010, dan 0,779 tahun 2011. Kenaikan ini sebenarnya bisa lebih besar lagi kalau dalam sepuluh tahun terakhir program KB dan kesehatan digalakkan seperti tahun 1980-2000.
Pembangunan berbasis kependudukan lain yang menjadi ukuran vital adalah pendidikan anak-anak muda. Ukuran pendidikan adalah angka lamanya seseorang bersekolah di bawah usia 25 tahun dan anak-anak yang diharapkan sekolah bagi yang mulai sekolah.
Laporan yang menjadi dasar mengukur IPM 2011 tidak menggembirakan. Berturut-turut tiga tahun terakhir adalah 0,578, 0,584, dan 0,584. Angka tahun 2011 yang sama dengan tahun 2010 menimbulkan tanda tanya, apakah tidak ada kemajuan atau laporan terlambat ke UNDP.
Angka ini bisa diperbaiki dengan laporan yang baik atau menambah kegiatan kursus-kursus paket A, B, dan C bagi generasi muda putus sekolah yang belum tamat SD, SMP, atau SMA. Kesenjangan bagi anak-anak putus sekolah atau semula tidak sekolah sangat memengaruhi indeks komposit sebagai ukuran bidang pendidikan.
Ukuran ketiga adalah kenaikan tingkat pendapatan. Sayang, kenaikan tingkat pendapatan rata-rata dalam tiga tahun terakhir ini menurut catatan UNDP tidak tinggi: dari 3.521 dollar AS, menjadi 3.689 dollar AS dan 3.813 dollar AS dihitung dalam nilai konstan 2005-2009.
Sekalipun angka IPM dalam tiga tahun terakhir ini selalu naik, naik saja tidak cukup. Kita perlu mengarahkan pembangunan dengan pelaporan statistik yang baik. Pembangunan perlu diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pendidikan pada usia di bawah 25 tahun, bukan pada orang dewasa di atas usia 50 tahun. Program Pos Pemberdayaan Keluarga perlu lebih digalakkan agar setiap keluarga meningkat kesejahteraannya, dari pendidikan sampai kesehatan, sehingga terjadi peningkatan kualitas yang berdampak pada kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan yang lebih merata.
Oleh: Haryono Suyono, Mantan Menko Kesra dan Taskin.
Sumber: KOMPAS, Rabu, 16 November 2011, halaman 6.