Menjadi Manusia Bebas
Oleh: Herry Tjahjono
Krisis dahsyat menghantam muka Bumi, dan konon, puncaknya akan terjadi di sekitar pertengahan tahun yang baru ini. Disadari atau tidak, kekhawatiran dan ketakutan melanda umat manusia. Ketakutan kehilangan pekerjaan, nasib usaha, yang semuanya bermuara pada ketidakpastian dan ketidakamanan. Kegalauan melanda jiwa-jiwa yang tanpa disadari mengganggu produktivitas kerja dan fungsi hidup keseharian.
Namun, krisis itu tidak bisa dihadapi dan dijalani hanya dengan rasa takut dan khawatir. Itu adalah sikap mental pecundang (loser mentality)…. Krisis dahsyat itu hanya bisa dihadapi dan ditaklukkan dengan sikap mental sebaliknya (winner mentality).
Ada dua esensi sikap mental pemenang yang diperlukan: Pertama, menjadi ”penyapu jalan terbaik”! Martin Luther King Jr pernah mengatakan, … Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Beethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya. Ia seharusnya menyapu sedemikian baiknya sehingga segenap penghuni surga maupun Bumi berhenti sejenak untuk berkata: ”Di sini telah hidup seorang penyapu jalan yang begitu hebat, yang melakukan pekerjaannya dengan demikian baik.”
Maka, profesi dan pekerjaan apa pun yang dijalani sekarang, lebih dulu perlu diterima dengan rasa syukur. Masih banyak saudara lain yang kehilangan pekerjaan, belum bekerja, tak tahu harus berbuat apa. Krisis tak berhak mengganggu dan menggugat yang ada di tangan kita sekarang. Dari rasa syukur akan timbul kesadaran baru bahwa apa yang masih ada itu adalah karunia, sekaligus amanah. Harus dijalankan sebaik-baiknya dan yang terbaik.
Itulah bentuk mental syukur terpenting dalam kondisi serba krisis dan menakutkan seperti sekarang. Menjalankan sebaik-baiknya apa yang ada di tangan adalah ”ibadah” paling bernilai (bentuk rasa syukur paling konkret), yang bukan hanya berguna bagi kita, tetapi juga bagi manusia lain yang terkait dengan kita. Menjalankan segala sesuatunya dibarengi dengan kekhawatiran dan ketakutan akan dahsyatnya krisis, apa adanya, seadanya (yang penting masih ada yang dikerjakan) sama sekali tak berguna bagi siapa pun dan hanya membuat penghuni surga dan Bumi mencibir serta menangis.
Manusia budak atau bebas
Kedua, menjadi ”manusia bebas”! Esensi sikap mental pertama tersebut hanya bisa dibentuk melalui esensi mental kedua, yakni menjadi ”manusia bebas”, seperti dimaksudkan Lao Tzu: ”… Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa yang diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang budak. Namun jika engkau mengerjakannya lebih dari yang diharapkan, barulah engkau menjadi manusia bebas.”
Kalimat bijak itu sungguh menyiratkan esensi makna yang indah sekaligus dahsyat. Jika kita hanya bekerja dan menjalankan tugas kewajiban sebatas yang diharapkan, di- standarkan, diminta, maka sesungguhnya kita masih dibatasi dan dikurung oleh batasan-batasan eksternal.
Misalnya, karyawan yang bekerja tentu mempunyai target-target atau KPI (key performance indicator). Target atau KPI ini tentunya ditetapkan oleh pihak eksternal (manajemen, atasan, atau organisasi). Maka, karyawan yang bekerja hanya ”sebatas” memenuhi target dan KPI-nya, secara hakiki, ia dibatasi dan dikendalikan oleh pihak eksternal. Itulah yang dimaksud ”budak”. Apalagi jika ia bekerja kurang atau di bawah KPI-nya.
Bagaimana menjadi manusia bebas? Ya, jika seseorang (sesuai profesinya masing-masing), mau memberi dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan, lebih dari target dan KPI-nya. Artinya, ia telah berani, bersedia, dan mampu menetapkan sendiri batasan- batasan kerja dan hidupnya (tidak lagi oleh pihak eksternal). Karyawan ”budak” hanya bekerja sebatas KPI-nya. Karyawan ”bebas” bekerja melebihi KPI-nya tanpa diminta.
Sikap mental menjadi ”manusia bebas” inilah yang sangat diperlukan di negeri ini. Makna kemerdekaan bukan hanya sekadar lepas dari para penjajah bangsa asing. Bukan jadi ”bangsa budak”, melainkan bangsa pemenang yang mampu mengatasi krisis global sehebat apa pun.
Sesaat lagi kita akan memilih para pemimpin bangsa di segenap dimensinya. Bangsa ini butuh para ”manusia bebas” yang mampu menjadi ”penyapu jalan terbaik” di bidangnya masing-masing.
Herry Tjahjono Corporate Culture Therapist & President The XO Way.