Anansi Menipu Ular
Banyak dari Anda mungkin pernah mendengar kisah Anansi, jenis laba-laba yang berani dan cerdik yang tampaknya selalu mendapatkan yang lebih baik daripada rekan-rekannya di hutan Afrika bertahun-tahun yang lampau. Akan tetapi, yang mungkin tidak Anda ketahui adalah mengapa kisah ini begitu berkesan….
Bertahun yang lampau, semua binatang mengetahui dan menganggap sang Macan, yang memproklamasikan dirinya sebagai Raja Hutan, sebagai binatang paling kuat dan paling berkuasa di antara mereka semua, sementara Anansi sang laba-laba adalah yang paling lemah dan tak berdaya di antara mereka semua. Pada suatu hari, kedua binatang itu bertemu, Anansi menunduk untuk memberikan hormat pada sang Macan dan berkata, “Saya ingin meminta tolong padamu, sang Raja.”
“Meminta tolong?” jawab sang Macan dengan suara terheran. “Apa yang dapat saya bantu, Laba-laba kecil?”
“Semua binatang tahu bahwa Anda yang terkuat dari semua binatang dan semua tahu nama Anda,— ada Macan Loreng dan Macan Kumbang—-tetapi tidak ada yang pernah mendengar namaku. Tidak satu pun yang membicarakan Anansi,” jelas Anansi.
“Jadi sebutan apa yang sebenarnya ingin diberikan pada namamu, Anansi?”
“Kisah-kisah yang kita ceritakan,” jawab Anansi sambil menganggukan kepalanya dengan antusias. “Kisah sang Kelinci, sang Serigala, dan binatang-binatang lain. Saya benar-benar ingin dikenal sebagai ‘Kisah Anansi’.
“Baiklah,” jawab sang Macan, meskipun diam-diam ia berpikir bahwa “Kisah sang Macan” akan jauh lebih cocok. “Dengan satu syarat,” jawab sang Macan sambil memikirkan tugas yang tersulit. “ Kamu tahu ular besar yang tinggal di sungai?
Saya ingin kamu membawakannya untukku sebagai tawanan— tetapi harus dalam keadaan hidup. Setuju?”
Anansi, awalnya kaget. Tetapi mengingat betapa inginnya ia mendapatkan kisah itu, maka ia menyetujui tantangan sang Macan. Setelah meninggalkan sang Macan, ia duduk dan memikirkannya lagi berulang-ulang, hingga akhirnya mendapatkan sebuah rencana.
Pada hari pertama, ia memasang sebuah perangkap untuk sang ular. Ia mengambil sepotong tumbuhan merambat dan membuat sebuah jerat. Lalu, ia menutupi tumbuhan merambat itu dengan rumput, menebarkan buah berry kesukaan Ular di sekelilingnya— lalu ia menunggu. Tak lama kemudian, sang Ular datang serta melihat buah berry. Ia merangkak dan menuju kearah buah berry dan memakannya. Anansi menarik tanaman rambat untuk mengikat jebakan, tetapi sang Ular terlalu berat baginya dan berlalu pergi tanpa cedera.
Tanpa takut, pada hari kedua Anansi menggali sebuah lubang yang dalam di tanah dan melumuri pelumas di seluruh sisinya. Di dasar lubang, ia menaruh beberapa pisang kegemaran sang Ular. Lalu, ia bersembunyi di sisi jalan—dan menunggu. Akhirnya, sang Ular datang dan melihat pisang di dasar lubang. Ia mengaitkan ekornya mengelilingi sebatang pohon, lalu masuk kedalam lubang, memakan pisang, dan dengan hati-hati ekornya menarik kembali badannya keluar dari lubang. Kemudian ia berlalu pergi diiringi kekecewaan Anansi.
Anansi mulai berpikir bahwa tantanagan ini terlalu berat baginya, hingga kemudian pada keesokan harinya, ia menjumpai sang Ular di dalam hutan.
“Anansi,” kata sang Ular, “saya tahu kamu sudah berusaha untuk menangkap saya selama seminggu ini, tetapi gagal. Apa yang dapat mencegah saya untuk tidak membunuhmu saat ini?”
“Kamu sudah mengetahuinya,” sang Laba-Laba mengakui. “Kamu terlalu cerdik bagi saya.” Lalu ia menambahkan dengan lihainya, “Ya….saya sudah mencoba menangkapmu,…tetapi cuma untuk memenangi taruhan bahwa kamu adalah binatang paling panjang di dunia, lebih panjang daripada ekor macan, lebih panjang daripada belalai gajah, dan tentu saja lebih panjang daripada pohon bamboo di sebelah sana.”
Sang Ular berbalik dan melihatnya dengan pandangan meremehkan. “Tentu saja saya lebih panjang daripada pohon bambu,” akunya. “Kenapa? Karena saya adalah binatang paling panjang di seluruh dunia.”
“Itulah yang saya katakan kepada mereka ,” jawab si cerdik Anansi. “Tetapi, saya harus mengakui bahwa pohon bamboo memang terlihat sangat panjang—tetapi tentu saja sulit untuk mengetahuinya dari kejauhan sana,”
“Baiklah, bawa bambu itu kemari!” teriak sang Ular bernada menantang. “Potong dan letakan di samping saya, maka kamu dapat meyakinkan dirimu bahwa saya lebih panjang.”
Anansi melakukan apa yang diminta sang Ular dan meletakkan pohon bamboo itu di samping sang Ular.
“Maafkan saya,” kata sang Laba-Laba, “saya hanyalah mahluk kecil yang bodoh. Bagaimana saya yakin ketika saya berlari kearah puncak pohon, kamu tidak menggeser badanmu kearah puncak pohon, dan ketika saya kembali ke bawah pohon, kami tidak bergeser ke bawah lagi?”
“Kalau begitu, ikatlah ekorku ke pohon kalau kamu tidak yakin,” jawab sang Ular dengan penuh percaya diri. “Kamu akan tahu bahwa saya mengatakan yang sebenarnya.”
Anansi melakukan apa yang diminta sang Ular. Ia mengikatkan ekor sang Ular ke bawah pohon bamboo. Lalu ia berlari ke ujung yang satunya.
“Mereganglah, Ular!” ia berteriak. “Mereganglah semampumu, dan kita akan lihat siapa yang lebih panjang.”
Sang Ular meregangkan badanya semaksimal mungkin dan Anansi mengikatkan bagian tengah badannya ke pohon bambu.
“Saya khawatir ini masih belum meyakinkan,” jawab sang Laba-Laba. “Istirahatlah sejenak Ular, lalu meregangkan lagi badanmu. Lakukan sekuat tenagamu—pejamkan matamu dan berkonsentrasilah!”
Sang Ular yang sombong dan bodoh melakukan apa yang diminta Anansi. Ketika ia meregangkan badannya sekuat tenaga, dengan kedua matanya terpejam, Anansi dengan cepat mengikat kepalanya ke pohon bambu. Setelah sang Ular terikat dengan aman ke pohon bamboo, Anansi dengan cepat memegang ekornya dan menyeretnya ke sang Macan yang sudah menunggu (dan agak kecewa).
Sejak saat itu, sang Macan setuju bahwa semua kisah yang berasal dari hutan harus dinamakan “Kisah Anansi”.
Ada lebih dari satu cara untuk menangkap seekor ular!
Disarikan dari buku: Tales for Change, penulis: Margaret Parkins.