Konsep Masyarakat Sipil (4/12)
Seri 1/3 dari Bag. 2 Sektor Masyarakat Sipil, dari keseluruhan 12 seri artikel berjudul Menuntaskan Dilema “Moral dan/atau Modal?” dalam Praksis Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, ditulis oleh Hasan Bachtiar.
Keterangan lengkap tentang tulisan ini.
Ringkasnya, para ilmuwan sosial kritis dan praktisi OMS, pada akhirnya, sampai pada satu simpulan yang sama: sektor ketiga, masyarakat sipil, adalah entitas yang paling lemah ketika berhadapan dengan bisnis dan negara. Di berbagai belahan bumi, cerita-cerita nyinyir tentang masyarakat sipil, yang cenderung menjadi korban ketimbang penikmat hasil-hasil operasi kekuasaan negara dan bisnis, bertebaran. Dus, suatu upaya intervensi, atau “pembelaan”, dirasa semakin mendesak untuk memperkuat kapasitas masyarakat sipil.
Sampai di sini pun, jalan tidak segera tampak lempang. Upaya intervensi jenis apa terhadap masyarakat sipil bakal tergantung pada bagaimana masyarakat sipil didefinisikan. Namun, sayang, pengalaman sudah jelas menunjukkan bahwa, harus diakui, kerumitan dan silang-sengkarut begitu meluas dalam setiap ikhtiar untuk mendefinisikan konsep masyarakat sipil. Uraian ini telah sengaja memilih untuk merumuskan tempat (locating) masyarakat sipil dalam konfigurasi arena sosial, sebagaimana telah dilakukan di muka, lantas membicarakan masyarakat sipil dalam tataran institusional-sosiologis serta dalam konteks Indonesia.
Definisi tentang konsep masyarakat sipil amatlah bervariasi—sebagaimana wajah unsur-unsur di dalamnya pula. Akibatnya, setiap usaha untuk mendefinisikannya, tak pelak, telah menjadi suatuarena pertarungan tersendiri, yang begitu rumit. Meski begitu, benang merah tetap bisa dan harus ditarik. Uraian ini hendak mengambil dua definisi saja, yang sejauh dianggap cukup bisa mewakili, yaitu dari Muhammad A.S. Hikam dan Centre for Civil Society-London School of Economicsand Political Science (CCS-LSE).
Pertama, menurut Muhammad A.S. Hikam, masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Sebagai sebuah ruang publik, masyarakat sipil adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap oleh jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
Dari pengertian masyarakat sipil ala Hikam di atas, masyarakat sipil mewujud dalam berbagai organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) adalah pengejawantahan kelembagaan masyarakat sipil. Tentu saja, menurut Hikam, tidak semua pengelompokan tersebut lantas memiliki kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan negara atau mampu mengambil jarak dari kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, kondisi masyarakat sipil harus dimengerti sebagai suatu proses yang bisa mengalami pasang-surut, kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahan dalam perjalanan sejarahnya.
Kedua, untuk keperluan pendasaran program-program risetnya, CCS-LSE merumuskan sebuah “definisi operasional” tentang masyarakat sipil. Menurut CCS-LSE, masyarakat sipil merujuk pada arena tindakan kolektif sukarela—tanpa paksaan atau, apalagi, kekerasan—di sekitar kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, dan nilai-nilai bersama. Dalam teori, bentuk-bentuk kelembagaannya berbeda dari negara, keluarga, dan pasar—meskipun, dalam praktik, batas-batas antara negara, masyarakat sipil, keluarga, dan pasar seringkali bersifat kompleks, meluruh, dan ternegosiasikan.