Karakter & Orientasi Arena, Sektor, dan Aktor (3/12)
Seri 3/3 dari Bag. 1 Konfigurasi Arena Sosial, dari keseluruhan 12 seri artikel berjudul Menuntaskan Dilema “Moral dan/atau Modal?” dalam Praksis Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, ditulis oleh Hasan Bachtiar.
Keterangan lengkap tentang tulisan ini.
Dari uraian pada dua tulisan sebelumnya, sampai di sini, mungkin bisa ditarik sejumlah ciri pembeda (distinctive features) di antara arena-arena politik, ekonomi, dan kultur berikut sektor dan entitas yang menjadi pengejawantahannya, sebagaimana tampak pada Ilustrasi 0.3 berikut.
Ilustrasi 0.3: Karakter & Orientasi Arena, Sektor, dan Aktor
Meski demikian, seluruh ilustrasi di atas tidak segera membuat semuanya menjadi jelas. Kalaupun sudah sedikit terang, perikehidupan sosial masyarakat tidaklah bisa dibelah-belah secara “hitam-putih”. Dalam kenyataannya, masyarakat tidak sedang bermain peran di satu ranah belaka, namun bisa secara kombinatif di dua atau bahkan sekaligus tiga ranah tersebut. Akibatnya, semua kategori, klasifikasi, dan pencirian akan berisiko tumpang-tindih dan invalid. Misalnya, apakah negara dan pasar harus dihakimi sebagai sama sekali eksploitatif dan destruktif belaka?; apakah peristiwa-peristiwa yang biasa dianggap “murni kultural” sudah pasti tidak mengandung tendensi-tendensi ekonomis bahkan politis?; juga, apakah organisasi masyarakat sipil sungguh-sungguh tidak (boleh) menghasilkan laba?
Usaha pemetaan dan pencirian konfigurasi sosial di atas, dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial mutakhir, menjadi semakin diperumit sebagai akibat, mau tak mau, terlibatkannya konsepsi tentang “ruang gerak” (space)—atau “wilayah operasi”. Ketiga-tiga arena, sektor, berikut aktor, sudah terbukti, tidak berproses di dalam suatu ruang yang terisolasi. Sebaliknya, kesemua itu kini semakin berlangsung secara lintas-batas, bolak-balik antara ruang-ruang “lokal”, “nasional”, hingga “global”—lihat Ilustrasi 0.4 berikut. Perkembangan konsepsi demikian tidak mungkin dipungkiri sebagai akibat logis dari perkembangan peradaban masyarakat manusia pula, yang memasuki suatu fase “modernitas lanjut” (advanced modernity)—atau “pascamodernitas”. Walhasil, konfigurasi sosial dengan segenap implikasinya menjadi semakin dinamis, rumit—bahkan runyam.
Ilustrasi 0.4: Lintas-Batas Ruang, Arena, dan Aktor
Negara-negara beraliansi, secara strategis-permanen maupun taktis-temporer, demi mewujudkan kepentingan bersama—dan mempertarungkan kepentingan nasional masing-masing. Lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan organ-organ di bawahnya, kemudian pakta-pakta pertahanan, perhimpunan-perhimpunan kerja sama ekonomi, politik, budaya, dll., yang berskala regional hingga lintas benua, kesemuanya adalah aktor-aktor supra-negara pada skala global. Operasi lembaga-lembaga seperti ini berlangsung secara mondial dan dampaknya bisa dirasakan pada tingkat nasional hingga lokal secara langsung.
Demikian pula, fenomena keberadaan lembaga-lembaga multi-/transnasional (multi/transnational corporations, M/TNCs), persekutuan-persekutuan bisnis, dan mekanisme perdagangan dengan sistem pasar bebas global telah menampakkan suatu dampak yang semakin manifes: memperkuat sekaligus mengobrak-abrik nasionalitas dan lokalitas! Berita dan data tentang gurita kekuasaan masyarakat bisnis, yang sudah berada pada suatu titik yang jauh-jauh terlalu digdaya dibanding negara dan masyarakat politik, karena menyedot sumber-sumber daya natural dan sosial secara eksploitatif bahkan destruktif, mengundang keprihatinan internasional yang kian mendalam.
Suatu upaya penyeimbangan, bahkan resistensi dan pukulan balik, dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil (civil society groups), dari tingkat lokal hingga nasional, yang—dengan dukungan teknologi informasi mutakhir—mampu menggalang aliansi secara global untuk melawan ganasnya operasi kekuasaan persekutuan-persekutuan negara dan bisnis global. Forum Sosial Dunia (World Social Forum, WSF), yang bermula dari Porto Allegre, Brasil, pada tahun 2001, adalah bukti nyatanya. Kelompok-kelompok masyarakat sipil telah pula bermetamorfosis, membentuk suatu “masyarakat sipil global”.