Pelembagaan Kelompok Kritis
Kita mungkin butuh enam bulan untuk mengganti seorang Presiden, dan sejumlah waktu yang sama untuk membuat aturan main politik formal baru. Namun adakah yang tahu, berapa lama kita butuhkan untuk membangun masyarakat demokratis? Jawabannya tergantung pada kondisi kelompok-kelompok yang menginginkan demokratisasi dalam menghadapi kelompok yang tidak menginginkan adanya perubahan.
Kelompok yang kritis terhadap pemerintah dan negara saat ini dapat digolongkan menjadi dua. Yaitu, kelompok-kelompok yang sebelum pergantian Presiden sudah melancarkan kritik dan usaha pembaharuan sistem politik dan kelompok-kelompok yang tiba-tiba saja menjadi kritis. Meskipun kehadiran kedua golongan ini mungkin sama-sama menciptakan dorongan yang lebih kuat pada pemerintah sekarang untuk menjadi lebih demokratis, namun peran keduanya berbeda. Perbedannya terletak pada sosialnya. Kedua hal ini mempengaruhi peran golongan kritis dalam mengarahkan atau menjaga arah demokratisasi. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah golongan organisasi yang pertama, khususnya organisasi nonpemerintah (ornop), atau popular di kalangan birokrat sebagai LSM.
Salah satu dari sedikit golongan organisasi yang sudah lama bersikap kritis terhadap pemerintah adalah ornop. Pada tahap pertama, ornop-ornop yang lain pada pertengahan tahun 1980-an hinggan 1980-an ini, yang bergerak di bidang pelayanan sosial ekonomi masyarakat jumlahnya jauh lebih. Setelah itu, jumlah ornop yang mengambil titik pandang kritis dalam menilai kebijakan pemerintah maupun program-program ornop sendiri menjadi bertambah. Perkembangan ini disebabkan karena beberapa hal. Pada periode awal, banyak ornop yang percaya dapat ikut memperbaiki kondisi sosial ekonomi rakyat dengan melengkapi program-program kesejahteraan pemerintah. Namun sejalan dengan waktu, aktivis ornop melihat makin banyak berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan di berbagai wilayah Indonesia yang menimbulkan marginalisasi baru. Fakta-fakta ini mendorong organisasi-organisasi ini meninjau kembali pendekatan yang telah mereka ambil.
Perubahan struktur ekonomi berpengaruh pada perkembangan peran ornop. Paling penting adalah adanya pergeseran dari tenaga kerja di pedesaan ke arah perburuhan di bidang industri. Untuk menciptakan “kestabilan” ekonomi dan sosial di bidang industri, pemerintah melakukan kontrol politik terhadap pekerja. Upah buruh yang rendah di tengah kultur dan struktur perkotaan mendorong gelombang pemogokan dikalangan buruh. Para aktivis mulai memandang bahwa persoalan sosial ekonomi bersangkut paut dengan kekuasaan politik. Itulah sebabnya, semakin banyak ornop yang mengambil peran advokasi dalam upaya mencegah, atau kalau dapat mengurangi, berbagai penyalahgunaan kekuasaan. Saat itu, advokasi ornop terutama mengambil bentuk penyebarluasan pandangan kritis dan pengajuan perubahan peraturan undang-undang.
Sebab lain adalah interaksi yang selanjutnya berkembang di antara pemerintah dan ornop. Pemerintah rupanya tidak dapat menerima munculnya organisasi-organisasi yang kritis terhadap kebijakan-kebijakannya maupun sepak terjangnya yang lain. Berbagai tindakan diambil untuk mengecilkan peran ornop secara umum maupun untuk menyingkirkan beberapa ornop. Beberapa diantara tindakan tersebut bersifat formal seperti UU Keormasan dan penggunaan UU tertentu untuk menuntut para aktivis.
Tindakan di belakang layar juga diambil seperti intimidasi, pelecehan, pengontrolan berita media massa tentang aktivis ornop, dan penyerangan fisik. Beberapa ornop surut dengan tindakan pemerintah. Tetapi terjadi juga pengerasan sikap dan radikalisasi di kalangan aktivis akibat interaksi tanpa komunikasi ini. Itulah sebabnya di kalangan ornop lahir sikap negatif yang sangat kuat terhadap apa yang disebut institusi negara. Dalam pandangan kebanyakan aktivis, proses demokratisasi yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mengekang penyalahgunaan kekuasaan.
Sejalan dengan perubahan pandangan di kalangan aktivis, terjadi pula transformasi penggunaan dan pengembangan sumber daya di kalangan organisasi-organisasi ini. Jika sebelumnya dana ornop banyak digunakan untuk program kesejahteraan sosial, setelah itu lebih banyak dana digunakan dalam studi-studi guna mendukung advokasi, penyusunan rancangan peraturan alternatif, pengembangan jaringan komunikasi, pengiriman tenaga ke luar negeri untuk studi kebijakan maupun pengembangan jaringan, dan pertemuan dengan badan-badan internasional. Sejak itu ornop Indonesia semakin menginternasionalkan.
Meskipun program pengembangan jaringan di kalangan ornop cukup banyak, kerja sama ornop dengan organisasi-organisasi lain kurang bervariasi. Untuk ornop yang bergerak di bidang politik, keterbatasan bentuk kerja sama ini ditentukan oleh gabungan antara visi ornop yang cenderung ingin memurnikan gerakan demokratisasi (sehingga tidak bersemangat mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok ‘abu-abu’) dengan faham tentang kehidupan politik yang dikembangkan selama masa Orde Baru. Faham berpolitik yang dimaksud adalah penanaman patronase negara dan mematikan gagasan adanya bentuk-bentuk representasi dan legitimasi lain dalam masyarakat. Kedudukan ornop dalam hal di mata banyak golongan adalah “Kelompok kritis”, dan bukan bagian yang fungsional dari kehidupan berpolitik.
Dalam situasi perubahan politik yang sangat besar saat ini, ornop yang mengadvokasikan suatu sistem politik yang terbuka pada awalnya seperti gamang dengan peran yang selanjutnya akan dijalankan. Hal yang selama ini menjadi fokus gerakan, yaitu pergantian kepemimpinan dan suatu pemerintahan yang lebih terbuka secara mendadak menjadi kenyataan. Namun beberapa gejala menunjukkan bahwa proses demokratisasi dapat berhenti atau melenceng dari tujuannya.
Penghalang yang pertama adalah kepentingan beberapa kelompok untuk mempertahankan status quo melalui instrument negara seperti birokrasi dan undang-undang. Untuk yang pertama ini, ornop menghadapi masalah yang tidak asing. Namun ada penghalang lain proses demokratisasi yang tidak terpikirkan sebelumnya, yang menuntut ornop untuk memikirkan kembali perannya. Keterbukaan ruang politik ternyata menimbulkan suasana gaduh dan membingungkan. Begitu banyak kelompok yang ingin berteriak setelah terkungkung sekian lama.
Wilayah publik yang terbuka bukan terutama digunakan untuk mendorong pelembagaan demokrasi, melainkan digunakan oleh bermacam-macam kelompok untuk mempromosikan diri. Dengan runtuhnya sumber patronase dan legitimasi yang lama, terjadi usaha perekonstruksian status, identitas dan sumber kekayaan yang baru. Begitu banyak kelompok yang ingin menduduki institusi negara tanpa pemikiran yang jelas tentang arah peran negara yang baru.
Keadaan ini tentu disadari oleh ornop. Kesadaran ini tampak misalnya dari hasil pertemuan-pertemuan kalangan ornop tentang reposisi peran mereka. Untuk mengatasi apa yang mereka sebut sebagai “konflik horisontal” dikembangkan program-program pendidikan politik rakyat. Tujuan jangka pendek program ini adalah untuk menghadapi pemilu, yaitu “untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang arti pemilu. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah “agar rakyat kritis dan rasional dalam berpolitik”. Dalam mengembangkan program-program ini ornop dibantu oleh berbagai lembaga-lembaga asing nonpemerintah yang telah memiliki kredibilitas. Agaknya dunia internasional ikut merasa cemas dengan munculnya berbagai konflik sosial dan politik dan Indonesia. Lalu mereka mempercayakan program-program pendidikan politik pada komunitas ornop.
DI tengah-tengah situasi di mana terjadi pengkotak-kotakan baru dalam masyarakat, peran ornop seharusnya memang sebagai organisasi yang secara profesional membangun institusi politik yang lebih demokratis. Namun adalah suatu tantangan besar bagi para aktivis untuk tidak menjadi partisan. Ketergantungan pada lembaga asing, di satu sisi ada segi positifnya yaitu menjadikan program suatu ornop tidak digunakan untuk keuntungan kelompok politik tertentu. Karena, pada umumnya lembaga-lembaga tersebut sangat berhati-hati agar hal ini tidak terjadi.
Dalam situasi penuh ketidakpercayaan dalam masyarakat, untuk menjaga kredibilitasnya, ornop harus lebih menjadikan profesionalisme sebagai metode kerja. Adalah suatu isu klasik di kalangan ornop bahwa profesionalisme akan menjadikan lembaga ini jauh dari rakyat kecil. Pemikiran ini merupakan kekhawatiran yang berlebihan sehingga seperti membuang bayi bersama air mandinya. Profesionalisme seharusnya diterjemahkan sebagai metode kerja yang teratur, disiplin dan menjunjung prinsip obyektivitas. Jika ornop dapat mengembangkan cara kerja seperti ini, organisasi ini dapat menjadi agen kultural yang memperbaiki segi pengorganisasian masyarakat.
Bidang program-program ornop seharusnya menyangkut peran negara yang baru maupun pendidikan politik rakyat. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah membangun suatu sistem politik yang rasional. Saat ini, institusi negara, meskipun masih ada cukup kuat, sudah kehilangan kepalanya. Sehingga, tidak saja tidak efektif untuk menjalankan fungsi tradisionalnya seperti ketertiban dan mempromosikan kesejahteraan umum, tetapi juga dapat memakan organ-organnya sendiri.
Dari pemikiran yang muncul di komunitas ornop saat ini, yang menjadi fokus perhatian dalam mendefinisikan peran ornop mendatang masih terfokus pada aspek pencegahan sentralisasi kekuasaan pada negara. Padahal dalam keadaan negara saat ini, dalam masyarakat harus dikembangkan pemikiran-pemikiran tentang kewajiban dan otoritas negara yang baru. Pekerjaan ini belum dipikirkan oleh partai-partai politik yang baru, dan masih merupakan tanda tanya besar apakah mereka dapat melakukannya nanti. Jika pekerjaan ini terlalu besar bagi ornop, organisasi harus mengembangkan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, apakah itu berupa partai politik, universitas, dunia bisnis, bahkan dengan badan donor.
Peran ornop mendatang tidak lagi terutama sebagai organisasi yang kritis terhadap kebijakan negara. Sekarang ornop dapat berperan lebih penting dari itu. Ia adalah agen yang membangun rambu-rambu di zaman kegelapan dimana berbagai golongan terlalu bersemangat untuk ikut bertanding dengan agak mengabaikan apa arti pertandingan itu sendiri bagi pembangunan bangsa. Namun di pihak lain, ornop masih harus banyak belajar tentang kerja sama yang bervariasi, tentang profesionalisme, dan tentang sinergi antara lembaga-lembaga negara dengan organisasi-organisasi masyarakat.
Disarikan dari buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (LSM disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah (ornop), Penerbit: Kompas, Hal: 98-104.