Kontrol Publik Terhadap LSM (3/3)
Sampai saat ini, tampaknya demokrasi masih menjadi pilihan terbaik untuk membangun negeri ini. Demikian juga membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap organisasi publik, dalam hal ini LSM. Demokrasi adalah mekanisme yang sesungguhnya tepat untuk menjadi pijakan membangun mekanisme kontrol bagi LSM. Jack Snyder mengatakan “suatu negara dikatakan demokratis jika mekanisme demokrasi merupakan satu-satunya mekanisme yang tersedia dan digunakan untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan” (Muhadjir Darwin, 2000).
Kekuasaan yang diberikan kepada negara atau pemerintah dari rakyat sering kali di salah gunakan untuk kepentingan pribadi, golongan dan partai politik dari pada untuk kepentingan rakyat, sehingga dalam sebuah negara demokratis menjadi prinsip utama membuka sebuah ruang publik untuk menjalankan kontrol sosial (social control) terhadap penyelengaraan kekuasaan negara. Bahkan dalam perkembangan demokrasi kontemporer, kontrol sosial tidak hanya dilakukan terhadap proses penyerlenggaraan kekuasaan negara, tetapi juga terhadap aktivitas-aktivitas sektor bisnis dan kerja sosial lainnya yang berdampak terhadap publik, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya fenomena pengawasan terhadap kegiatan sektor usaha dalam hal pencemaran lingkungan atau kerusakan hutan atau penyimpangan alokasi dana yang diperuntukan bagi rakyat oleh kalangan LSM.
Menurut David Korten, pengawasan atau kontrol dalam perspektif penyelenggaraan kekuasaan adalah upaya memeriksa penyalagunaan kekuasaan yang bertentangan dengan hokum dan norma-norma yang berlaku bagi prilaku manusia, yang terutama dilakukan oleh sektor pemerintah dan bisnis. Menurutnya, kontrol sosial dapat dilakukan melalui sistem pemantauan dan protes terhadap kegiatan penyelengaraan kekuasaan, dan untuk itu tidak cukup dengan kekuatan aturan internal organisasi, tetapi membutuhkan keterlibatan kontrol sosial dari kekuatan-kekuatan dalam pranata-pranata yang ada di masyarakat, lembaga peradilan yang indenpenden, kekuatan pers, para pengamat serta pegiat-pegiat organisasi sukarela. Walaupun itu semua tetap membutuhkan dukungan masyarakat secara luas yang sadar dan waspada (Korten, 1991).
Kontrol sosial muncul sebagai upaya untuk menjawab keterbatasan, subjektivitas dan ketidakcukupan perangkat nilai dan aturan yang dimiliki oleh organisasi publik dalam menjalankan amat yang diberikan rakyat. Melalui kontrol sosial, penyelengraan kekuasaan publik oleh pemerintah atau elemen manapun dapat dijaga konsistensinya, menjauhkan dari penyimpangan atau korupsi kekuasaan. Kontrol sosial sekaligus sebagai media check and balances di antara berbagai komponen dalam masyarakat untuk tetap mengutamakan kepentingan publik sepenuhnya. Sebuah kontrol sosial yang efektif dapat terjadi manakala atmosfir publik, seperti pers, NGO, gerakan mahasiswa, gerakan ormas, partai politik dan komponen lainya dijamin akan kebebasan dan independesinya.
Seiring dengan cita-cita civil society yang menjadi harapan masyarakat sekaligus paradigm berpikir dan bertindak, masyarakat sipil di pahami sebagai upaya untuk mewujudkan suatu spaced di antara negara dan masyarakat sipil yang menurut Michel Walker (1995), dalam ruang publik terdapat berbagai komponen masyrakat yang bersifat sukarela untuk membangun jaringan kebersamaan dengan berbagai komponen lainnya dalam dalam mengelola publik. Ikatan yang terjadi adalah ikatan plural, apakah berdasarkan kekeluargaan, ideologi, keyakinan dan sebagainya, yang dikembangkan berdasarkan toleransi dan menghargai satu sama lain (Gaffar, 2000).
Jadi interaksi kontrol yang memiliki nilai akuntabilitas yang tinggi, yaitu adanya solidaritas, Saling menghargai dan bertanggung jawab bersama di antara berbagai komponen masyarakat. Ini menjadi tidak sekedar harapan, tetapi sebuah tuntutan masyarakat. Untuk itu Einsenstadt (dalam Lipset, 1995) sebagaimana dikemukakan oleh Afan Gaffar, terwujudnya ruang publik civil society membutuhkan beberapa syarat, yaitu: 1) adanya otonomi; 2) akses masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara; 3) arena publik yang bersifat otonomi; dan 4) arena public tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat (Gaffar, 2000).
Keberadaan NGO ada dalam suatu sistem sosial yang di dalamnnya terdapat interaksi berbagai komponen masyarakat, seperti citizens, pemerintah partai politik, parlemen, lembaga hokum, dan lainnya. Kenyataan ini membawa NGO pada konsekuensi logika sistem sosial di mana di dalamnya dijamin hak-hak dasar individu maupun kelompok dalam interaksi yang teraktur dan bertanggung jawab. Hak-hak dasar ini muncul sebagai akibat hubungan sosial yang terjadi dalam sosial kemasyarakatan dan hanya dapat dicabut jika terjadi pelanggaran aturan-aturan sosial. Hak-hak dasar yang dimaksud adalah hak-hak dasar dalam demokrasi, seperti hak berkumpul, berserikatdan mengeluarkan pendapat.
Wujud aplikatif hak-hak dasar berserikat berkumpul tersebut adalah adanya lembaga-lembaga politik, sosial, NGO dan sebagainya. Sementara hak dasar menyampaikan pendapat terwujud dengan kebebasan untuk mengemukakan opini atau pemikiran terhadap berbagai aktivitas pengelolaan publik yang berdimensi sosial kemasyarakatan. Ini kemudian yang berujung kepada apa yang disebut dengan kontrol publik. Berbicara tentang kontrol publik, maka kita dihadapkan pada keterlibatkan masyarakat dalam mengawasi berbagai kegiatan yang di jalankan oleh organisasi publik, apakah birokrasi atau pun LSM.
Dalam khazanah teoretis, kontrol publik termasuk dalam kategori pengawasan secara eksternal, dan dipahami sebagai pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi eksistensinya terpisah dari garis komando suatu organisasi (Denny BC Hariandja, 1999). Ketika berbicara tentang kontrol terhadap LSM, maka dimaknai sebagai pengawasan terhadap LSM yang dilakukan oleh publik atau stakeholders, dalam arti pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang berinteraksi dengan LSM yang mana terlepas dari gari komando organisasi. Aktor-aktor publik dan stakeholders itu, adalah kekuatan-kekuatan yang senantiasa berinteraksi secara dinamis dan menjaga iklim politik agar tetap demokratis.
Berbagai kekuatan dapat diidentifikasikan, yaitu lembaga legislatif rakyat; pemerintah sebagai regulator; partai politik; dan masyarakat sebagai kelompok sasaran suatu LSM. Apa yang ingin dicapai oleh adanya pengawasan eksternal, adalah sebuah dampak terhadap organisasi LSM yang senantiasa memiliki nilai akuntabilitas yang tinggi, tidak hanya secara kelembagaan, tetapi juga secara individual. Kontrol publik juga merupakan refleksi adanya mekanisme check and balances yang terjadi antara berbgai kekuatan-kekuatan masyarakat yang dalam menjalankan aksi-aksinya, sehingga LSM masuk di dalamnya senantiasa di tuntut untuk tetap menjadi lembaga yang akuntabel.
Mekanisme pernyataan dan penyaluran pendapat sebagai kontrol publik atas aktivitas berbagai komponen masyarakat, dalam hal ini LSM, dapat disalurkan secara lansung melalui media. Secara langsung, kontrol publik bisa terwujud audiensi langsung kepada pengurus LSM atau yang lebih aktual adalah bersifat massal, yaitu demontrasi dan unjuk rasa. Sementara kontrol publik secara tidak langsung dapat dilakukan melalui pers, lembaga pers, lembaga parlemen atau kelompok mediasi lainnya. Bagi kalangan LSM sudah harus menyadari bahwa kontrol publik atas berbagai aktivitas sebagai suatu keniscayaan dan harus dipahami sebagai input, saran maupun kritik.
Yang harus dilakukan LSM agar mekanisme kontrol dari stakeholders dapat berjalan secara efektif, adalah dengan mengekspresikan lembaga secara jelas, transparan, akuntabel dan apa adanya kepada publik atau stakeholders. Ada bebrapa hal yang harus diekspresikan LSM kepada publik dengan mengacu kepada pendapat Edwards dan Humle ketika berbicara tentang LSM yang akuntabel, yaitu, “effective accountability requires a statement of goals (weather in adherence to certain ruler or achievement of identified performance levels), transparacy of decision-making and relationship, honest reporting of what resources have been used and what has been achieved,an appraisal process for the overseeing authority (ies) to judge whether results are satisfacatory and concrete mechanism for holding to account ( ie, rewarding or penalizing ) thoose responsible for performance”. ( Edward dan Humle, 1995 ).
Pernyatan Edwars dan Hulme di atas memberi inspirasi terhadap beberapa hal yang paling tidak digunakan sebagai acuan untuk mengekspresikan kelembagaan LSM kepada publik, Pertama, tujuan yang jelas dari LSM akan menunjukan apakah eksitensi dan peranannya masyarakat memiliki keterkaitan yang jelas atau tidak, dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, berbicara tentang akuntabilitas akan terkait dengan kesesuaian dengan kerja-kerja dengan harapan masyarakat itu sendiri. Misalnya ketika berbicara tentang akuntabiltas pelayanan publik, maka seberapa jauh penyelengaraan pelayanan itu memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai atau norma-norma masyarakat atau stakeholders ( Agus Dwiyanto, dkk, 2002 ). Kejelasan tujuan LSM didirikan merupakan salah ekspresi akuntabilitas suatu LSM, walaupun tujuan ini tidak dimaknai sebatas rumusan dalam selembar kertas, tetapi juga akan dilihat konsistensinya dalam kerja-kerja lapangan.
Kedua, transparansi laporan mengenai asal, aloksi dan penggunaan resources secara jujur. Transparansi ini menjadi penting berkaitan dengan upaya membangun kepercayaan terhadap masyarakat, sekaligus untuk menguji apakah LSM itu benar-benar bekerja berdasarkan kepentingan masyarakat atau tidak. Melalui laporan transparansi sumber dana, penggunaan dan alokasinya secara jujur akan menunjukan keberpihakan kerja LSM kepada masyarakat, sekaligus membuka ruang publik untuk melakukan penilaian kritis terhadap implentasi eksistensi LSM di tengah masyarakat.
Ketiga, transparansi selanjutnya berkaitan dengan kejelasan dan keterbukaan terhadap hubungan yang dibangun dengan berbagai pihak, baik secara internal maupun eksternal. Transparansi relasi ini berkaitan dengan kepemahaman secar asadar terhadap hubungan itu dengan berbagai aturan, etika, pertanggungjawaban dan nilai etis lainnya.
Keempat, laporan kinerja program dapat diakses oleh publik. Ini adalah indikasi yang terbuka atau tidak terhadap penilaian atas program-program dan dampaknya tehadap masyarakat.
Kelima, pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan evaluasi program. Melibatkan partisipasi publik dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program akan menunjukan keseriusan LSM terhadap persoalan kontrol publik itu sendiri, yaitu kesusuaian program kerja terhadap kebutuhan mesyarakat yang senantiasa terjaga. Selama ini masyarakat lebih dilibatkan dalam tahap pelaksnaan program dengan menempatkannya sebagai subjek program atau proyek LSM.
Keenam, membuka ruang kontrol bagi publik. Hal ini berkaitan dengan upaya untuk mengawasi dan meluruskan kerja-kerja LSM agar tetap dalam koridor kebutuhan nilai dan kepentingan masyarakat sebagai target program-programnya. Dan ruang kontrol publik dapat dimunculkan secara otomatis manakala sebuah LSM mengekspresikan dirinya secara terbuka, transparan, jujur dan akuntabel.
Masyarakat atau stakeholders, apakah itu pemerintah, partai politik, pers, masyarakat sebagai target LSM, lembaga audit, lembaga donor dan sebagainya, dapat menjalankan mekanisme kontrol manakala menjadikan identitas dirinya sebagai maysarakat sipil yang kuat dan mandiri. Berbagai elemen di dalamnya seperti jaringan LSM yang terbangun secara sistematik, kepedulian pemerintah terhadap LSM sebagai partner dan mitra kerja, parlemen yang rensponsif terhadap aspirasi rakyat, lembaga audit yang indenpenden bertanggung jawab kepada publik dan lembaga donor yang berpihak kepad masyarakat, tidak sekedar kepentingan idiologis lembaga dan negara donor.
Dengan identitas seperti itu, maka mekanisme atau kontrol publik terhadap LSM dapat berjalan secara efektif, sehingga akan terjadi secara organik dan spontan. Mekanisme kontrol publik secara organik dan spontan adalah reaksi yang cepat dari publik terhadap LSM dan lembaga apapun yang muncul dan menjalankan aksi-aksinya tidak sesuai dengan norma, nilai, harapan, kebutuhan dan kepentingan publik atau stakeholders. Untuk mewujudkan interaksi kontrol yang organik dan spontan, masyarakat harus dibangun dengan berpijak pada nilai-nilai sosial yang positif dalam dirinya, seperti kepercayaan (trust), solidaritas sosial gotong-royong, bertanggung jawab dalam kebersamaan komunitas dan lainya.
Berbicara tentang mekanisme kontrol publik, secara teknis dapat dipilah menjadi kontrol publik secara langsung dan tidak lansung. Mekanisme pernyatan dan penyaluran pendapat sebagai kontrol publik atas aktivitas LSM, dapat disalurkan langsung maupun media. Secara langsung, kontrol publik bisa berwujud audiensi langsung kepada pengurus LSM atau yang lebih aktual adalah bersifat massal yaitu demonstrasi, unjuk rasa dan sebagainya. Sementara kontrol publik secara tidak langsung dapat dilakukan melalui pesr,lembaga parlemen atau kelompok mediasi lainya.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 118-125.