Problematika LSM Di Indonesia

Jul 09, 2018 No Comments by

Topik yang secara resmi dimintakan kepada saya adalah mengenai mekanisme kontrol yang ideal bagi LSM. Tetapi sebelum masuk ke sana, mungkin ada baiknya saya mulai juga membicarakan sedikit apa yang kita sebut sebagai transparansi dan akuntabilitas itu. Kenapa? Karena kalau kita bicara mengenai kontrol yang ideal, itu merupakan akhir dari proses atau hasil akhirnya. Hasil akhir yang kita harapkan dari mekanisme kontrol itu adalah adanya institusi yang transparan dan akuntabel. Karena itu, saya kira tidak bisa dipisahkan antara transparansi dan akuntabilitas sebagai tujuan dengan mekanisme kontrol sebagai means (alat) untuk menuju ke sana.

Kalau saya ikuti mulai dari berbagai perdebatan soal transparansi dan akuntabilitas, saya melihat ada kesan yang kuat sekali seolah-olah kalau bicara masalah transparansi dan akuntabilitas, maka pembicaraannya terutama difokuskan pada soal-soal keuangan. Bagi saya, penyempitan semacam ini sangat berbahaya kalau transparansi hanya dipahami pada sisi keuangannya saja. Kenapa? Karena ada yang jauh lebih penting dari sekedar masalah keuangan. Walaupun masalah keuangannya dikelola dengan baik, dilaporkan secara transparan dan akuntabel, tapi itu belum sebenarnya bicara apa-apa, selain hanya soal bahwa uangnya berapa dipakai, untuk apa, kemudian sudah dicatat, dilaporkan atau diaudit. Paling-paling hanya sampai di situ.

Dan saya kira sebuah institusi apa pun, tidak hanya LSM, tapi juga negara maupun perusahaan, tidak didirikan untuk mengelola keuangan. Bukan jadi the main business. Jadi setiap institusi bukan soal duit, termasuk lembaga keuangannya sendiri. Meski lembaga keuangan main business-nya atau bisnis utamanya adalah keuangan, bukan berarti dia hanya mempersoalkan bagaimana duit didapat, dikelola dan dilaporkan. Substansi dari tiap-tiap institusi sebenarnya justru terletak pada apa yang disebut bagai mission atau misi dari institusi itu.

Kalau kita bicara mengenai institusi, lalu bicara mengenai misi sebagai substansi dari tiap-tiap institusi, maka ketika bicara mengenai transparansi dan akuntabilitas sebenarnya pertanggungjawaban program. Dengan kata lain, transparansi dan akuntabilitas program itu jauh lebih penting daripada keuangan. Keuangan itu nomor sekian. Nomor satu itu adalah bagaimana misi itu kemudian dijabarkan ke dalam apa yang di sebut sebagai program. Nah, ini juga sebenarnya sudah ada padanannya, baik dari segi pencatatan, pelaporan maupun pemeriksaan. Dibidang pemeriksaan sebenarnya selain ada yang dikenal sebagai financial audit juga dikenal performance audit. Jadi pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan kineria itu terdiri dari apa yang disebut sebagai efficiency audit, kemudian di dalamnya ada lagi yang disebut sebagai effectivity audit. Jadi bukan hanya semata-mata soal financial audit. Ada financial audit, ada efficiency audit, ada juga effectiuity audit. Secara spesifik yang berkaitan dengan misi program itu adalah apa yang disebut sebegai effectivity audit.

Pertanyannya kemudian, kalau kita bicara transparansi dan akuntabilitas adalah: sejauh mana sebuah institusi sudah konsisten dengan misinya; sejauh mana dia sudah mencapai atau tidak mencapai misinya itu melalui program-program kerjanya; dan, sejauh mana konstituennya, apa pun itu kategorinya, apakah itu konsumen, masyarakat, citizen, benar-benar sudah mengakui bahwa insitutsi itu sudah bekerja sesuai dengan misinya dan program-programnya dirasakan bermanfaat? Ini nomor satu. Kalau sudah bicara ini, saya terus terang menjadi serba salah bicara mengenai NGO. Kenapa? Karena selama ini kita dalam lingkungan NGO, jarang bicara secara sungguh-sungguh dan mendalam mengenai apa itu misi, apa itu program, serta bagaimana itu berkaitan dengan konstituen atau dengan community atau citizen.

Kalau kita sudah masuk ke wilayah tersebut, tidak bisa tidak, lebih baik saya garis bawahi sejak awal, setiap institusi sebenamya harus merumuskan secara jelas ideologinya. Nonsens kita bicara mengenai misi, atau program dan efektivitasnya, kalau ideologinya tidak jelas. Saya pertanyakan, berapa banyak NGO yang merumuskan idieologinya secara jelas? Who cares! Jadi, NGO cenderung terjebak pada aspek-aspek teknis alias pekerjaan. Lumayan kalau ide pekerjaannya datang dari komunitas NGO itu sendiri. Tidak jarang terjadi aktivitas NGO itu digerakkan oleh funding. Tergantung dari program yang ditawarkan oleh funding, alias funding-driven.

Beberapa pengamat bilang, sekarang ini banyak orang berlomba-lomba mencari kekayaan lewat LSM. Di Indonesia saat ini ada sekitar dua juta pengangguran sarjana yang banyak mencari pekerjaan dan masuk NGO. Dan itu faktanya. Betapa susah mencari pekerjaan di Republik ini sekarang. Kalau sarjananya menganggur sampai 2 juta orang, ya apa pun dimasuki, termasuk NGO. Kalau sudah begitu, siapa sempat berpikir mengenai ideologi, misi dan seterusnya? Artinya, akhirnya yang muncul dan banyak beredar di masyarakat itu bukan aktivis NGO, tapi pekerja NGO. Kalau sudah begitu, ya repot….!

Saya ambil contoh konkret dan sederhana bagaimana bahayanya funding-driven. Kalau kita lihat sejarah dari lernbaga-lembaga funding, dari Eropa atau Arnerika Serikat misalnya, harnpir seluruhnya lahir di tengah-tengah situasi perang dingin. Pada saat itu ada kebutuhan dari blok Barat khususnya untuk menyediakan dana, menyediakan funding untuk membiayai propaganda di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran kalau dana-dana funding tersebut hampir seluruhnya, kecuali beberapa, datang dari APBN. FNS (Friedrich Naumann Stiftung) diambil dari APBN -nya Jerman, DFID (Department For International Deuelopment) iambil dari APBN-nya Inggris, USAID (United States Agency for International Development) diambil dari APBN-nya Amerika Serikat. Apa Artinya? Alokasi dana itu dibicarakan di Kongres atau di Parlemen masing-masing negara. Di Jerman misalnya, tiap-tiap partai punya funding dan itu terlihat secara kasat mata. FES (Friedrich Ebert Stiftung) ke Sosial Demokrat, FNS ke Liberal, KAS (Konrad Adenauer Stiftung) ke Kristen Demokrat. Itu dengan sendirinya menjelaskan, waktu itu ada kebijakan untuk membiayai propaganda, tapi karena ada banyak partai politik, akhirnya tiap-tiap partai politik minta jatahnya dari APBN masing-masing.

Lalu coba saja tanya lebih lanjut, bagaimana cara masing-masing negara itu membagi funding di antara lembaga-lernbag tadi? Itu dilakukan berdasarkan seat (kursi) di parlemen. Jadi kalau Sosial Demokrat menang, seat di parlemen banyak, maka FES dapat banyak dana. Tapi kalau yang menang itu Demokrat atau Liberal, maka dia yang dapat dana banyak. Belakangan setelah proses perang dingin di Eropa itu dimenangkan, atau di anggap tidak cukup kalau pertarungan itu hanya terjadi di dalam negara masing-masing, di Eropa, di Inggris atau di Amerika Serikat, maka proses propaganda itu diperluas ke seluruh dunia Itulah sejarahnya, Bagaimana funding agency masuk ke negara-negara ketiga, termasuk Indonesia? Itu tidak lepas dari proses perang dingin yang mewarnai juga situasi di Indonesia.

Kalau kita sudah tahu bahwa sumber dana tadi dari APBN negara, lalu masuk ke funding, terus masuk dunia ketiga, lalu masuk ke NGO, maka pertanyaannya sekarang: pernahkah para aktivis NGO memetakan diri ke dalam framework cold war tadi? Atau pernahkah para aktivis NGO ketika merumuskan mission statement-nya dan programnya, meletakkannya dalam konteks perang dingin? Kita sebenarnya bekerja untuk program-program blok Barat atau blok Timur? Pernahkah persoalan-persoalan itu dibicarakan? Atau, malah sama sekali tidak pernah dipikirkan? Pokoknya berjalan. Ini yang jadi problem.

Jadi jauh sebelum kita bicara mengenai finansial, akuntabilitas atau financial transparency, nomor satu itu adalah program mission-nya. Sebenarnya kita di tengah-tengah pertarungan ideologi besar di dunia. Kalau kita sendiri tidak sadar sedang merumuskan program, melaksanakan program, atau terjebak dalam propaganda ke arah yang tidak tentu, lalu apa yang akan ditransparansikan dan apa yang akan diakuntabilitaskan? Tak ada.

Mohon maaf, bagi para pemikir-pemikir progresif, NGO itu, paling tidak dari bukti-bukti empiris yang ada, cenderung dikategorikan sekedar sayap kiri saja dari mesin Liberal yang sama. Orang boleh setuju atau tidak terhadap pendapat ini, Sayap kanannya WTO, IMF dan The World Bank. Makanya saya jarang melihat NGO mendemo kedutaan Amerika Serikat atau World Bank. Malah sebagian ada yang ikut sidang CGI. Akibatnya, program-program yang dilaksanakan NGO menjadi sangat typical . Kita ambil contoh, dalam konteks hari ini saja, topik yang kita bicarakan mengenai transparansi dan akuntabilitas NGO. Saya mau tanya seberapa jauh NGO sudah terlibat dalam misalnya soal privatisasi yang lagi ramai di tengah masyarakat? Posisi NGO di depan, leading, di tengah-tengah, di belakang atau tidak ikut sama sekali dalam isu itu?

LSM juga terlihat banyak yang tidak mengerti akar persoalan yang ditangani. Bahkan saya kadang-kadang sedih melihat ada LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen yang menyatakan setuju dengan pencabutan subsidi. Apa itu sudah dipikir betul? Tampaknya mereka menerima begitu saja logika yang ditawarkan oleh pemerintah. Pemerintah bilang, subsidi selama ini hanya dinikmati oleh kalangan atas atau sebagian besar di nikmati oleh golongan atas. Oleh karena itu layak untuk dicabut. Logika semacam itu diterima dan didukung. Saya berpikir terbalik, kalau bicara soal siapa yang menikmati, dalam sebuah perekonomian yang strukturnya sudah timpang, subsidi atau fasilitas apa pun pasti dinikmati oleh golongan atas. Coba teliti universitas, mana ada anak penganggur yang masuk kuliah? Tamat SD saja tidak. Mana anak pedagang kaki lima atau anak pengamen? Tidak ada Universitas itu isinya kelas menengah atas semua. Kalau begitu subsidinya dicabut dong? Pertanyaan saya begini, disubsidi saja mereka masih tetap tidak bisa sekolah. Jadi problemnya bukan soal subsidi dinikmati siapa, tapi bagaimana mengupayakan agar mereka yang ada di lapisan bawah bisa naik dan bisa kuliah. Mestinya logikanya semacam itu yang harus dikemukakan untuk menandingi” logika yang disodorkan pemerintah.

Saya melihat NGO ini tercerabut dari problem-problem riil yang sedang hangat di tengah-tengah masyarakat alias ketinggalan. Saya juga punya banyak bukti bagaimana kemudian NGO seolah-olah membenarkan dirinya sendiri sebagai tangan kiri dari kepentingan Liberal yang sama. Begitu juga bicara mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam lingkungan pemerintahan, NGO paling keras sekarang bicara mengenai “raja-raja kecil” misalnya, otonomi yang kebablasan. Pemerintah daerah “dihajar” NGO di seluruh Indonesia. Padahal kalau dilihat angkanya, 95% pungutan di Republik ini masih dilakukan Jakarta dan 75% belanja negara masih oleh Jakarta. Dalam kasus subsidi BBM, mereka tidak tahu bahwa subsidi BBM itu cuma Rp12 triliun. Coba lihat, subsidi Bank Mandiri itu tiap tahun berapa? Rp15,8 triliun. Berapa subsidi sektor perbankan keseluruhannya? Rp58 triliun. Kenapa kita meributkan subsidi BBM yang dinikmati seluruh warga? Tapi, tidak begitu mempersoalkan subsidi perbankan yang hanya dinikmati oleh mereka yang punya tabungan alias orang-orang kaya.

Pertanyaan selanjutnya apakah program-program yang diselenggarakan NGO itu benar-benar sudah sesuai dengan prioritas aspirasi masyarakat? Selama kegiatan-kegiatan NGO masih bersifat funding-driven, saya kira susah bagi NGO untuk bicara mengenai transparansi dan akuntabilitas. Inilah dilema besar NGO di Republik ini. NGO tidak bisa beraktivitas tanpa tergantung kepada funding.

Dalam hal membangun mekanisme kontrol yang ideal, saya kira basisnya tidak hanya keuangan, tapi terutama program. Dan itu berkaitan dengan misi dan apakah program itu sesuai dengan prioritas community, citizen atau constituent atau tergantung lingkupnya. Saya kira tidak ada pilihan lain, hanya satu kata mekanisme yang paling ideal adalah demokratisasi. Prinsipnya hampir sama, apakah di lingkup negara dengan citizen-nya, di lingkup NGO dengan konstituen-nya atau di lingkup partai, ormas, saya kira sampai hari ini paling tidak umat manusia. Hanya punya satu instrumen, kalau kita bicara mengenai mekanisme kontrol, yakni sejauh mana komunitas, citizen, atau constituent masing-masing terlibat dalam proses perumusan program. Jadi bukan sekedar melaporkan duit masuk berapa, duit keluar berapa. Pertanyaannya: sejauh mana kemudian mekanisme demokratisasi itu bisa dikembangkan di dalam masing-masing institusi?

Lalu pertanyaan lainnya, bisakah NGO mengembangkan mekanisme kontrol berdasarkan prinsip one man one vote? Itu tantangan yang paling serius, kalau benar-benar mau mencari model mekanisme kontrol yang ideal. Juga, bisakah NGO dalam merumuskan misi dan program, melaksan kan satu mekanisme

Demokratisasi dengan prinsip one man one vote? Kalau mekanisme itu bisa dilakukan setidak-tidaknya dalam komunitasnya, sudah bagus. Kalau bisa diterapkan dalam komunitas yang lebih luas, itu lebih bagus lagi. Namun, mekanisme ini harus dipersiapkan secara matang dan dalam iklim yang kondusif. Kalau tidak, bisa jadi malapetaka bagi NGO. One man one vote kalau dilaksanakan dalam lingkungan yang tidak kondusif, bisa menjadi anarkis.

Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 96-103.

Pendirian, Tatacara Pembentukan

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Problematika LSM Di Indonesia”

Leave a Reply