Sebatang Lilin di Jalan Sunyi
Ia penerang di tengah hutan belantara. Dia membuka mata dunia dengan aktivitasnya, mengajar baca tulis ke anak-anak rimba di kawasan taman nasional Bukit Dua Belas, Jambi, yang sunyi. Tanpa bantuan, tanpa bayaran.
Awalnya, Butet tinggal bersama suku Rimba di Bukit Dua Belas untuk penelitian skripsi. Melihat suku Rimba sering ditipu orang-orang luar, Butet akhirnya tetap tinggal untuk mengajari baca dan tulis.
Berkali-kali dia ditolak, bahkan diusir dan diasingkan. Namun, Butet pantang menyerah. Dia bertahan dengan berburu, mencari umbi-umbian, hingga membuat rumah sendiri. Perlu waktu tujuh bulan sampai akhirnya dia diterima.
“Saya ingin meyakinkan mereka bahwa pendidikan bisa melindungi diri dari ketertindasan dunia luar,” katanya. Berangsur-angsur, banyak yang mulai bisa membaca, menulis, dan menghitung. Lama kelamaan, usaha meyakinkan masyarakat suku itu berbuah.
Butet prihatin melihat kenyataan bahwa tidak semua warga Indonesia memiliki kesempatan yang serupa untuk mendapatkan pendidikan. Dia akhirnya mendirikan sekolah alam dan mengajar suku rimba.
Butet berpindah-pindah dari desa satu ke desa lain, menjadi lilin pengetahuan. Selain mengajar membaca, menulis, dan berhitung, dia juga menjelaskan hukum, terutama soal pembalakan liar. “Agar mereka tak ditipu lagi dan bisa mempertahankan tanah serta hasil alam mereka,” kata pengagum tokoh film Indiana Jones ini.
Obsesi Butet berkembang, dia lalu membuat Yayasan Sokola. “Kami menyebutnya sekolah untuk kehidupan,” ujarnya. Lembaga ini jadi wadah pendidikan alternatif bagi komunitas-komunitas di Indonesia yang sebelumnya tidak terjangkau sekolah formal. Selain Jambi, beberapa wilayah lain telah dijangkau oleh Sokola, di antaranya Flores, Halmahera, Bulukumba, Aceh, Yogyakarta, Makasar, Klaten, dan Garut.
Baiklah saya akan bercerita tentang tiga bagian penting dalam hidup saya di mana saya membuat keputusan besar.
Saat saya berusia sekita 11-12 tahun, saya melihat film Indiana Jones dan God Must be Crazy yang membuat saya langsung jatuh cinta dengan petualangan alam bebas dan orang-orang pedalaman. Saya bilang pada ayah saya bahwa, satu hari nanti saya akan jadi orang seperti professor Jones. Ayah saya bilang kalau itu adalah tokoh imaginative, tapi saya jawab, “Kalau begitu saya akan jadi Jones beneran!” ayah saya bilang “Nanti kita bicarakan lagi setelah kamu lulus SMA ya!” Cita-cita saya watu itu adalah menjadi dokter, dan kendatipun tidak pernah melihat hutan (ikut pramuka pun tidak dibolehkan ayah), saya tanamkan pada diri saya, bahwa saya akan jadi dokter di pedalaman Papua. Inilah “calling” saya yang pertama, membayangkan hidup di alam bebas membuat saya merasa keren. Kepergian selamanya Ayah saya mebuat saya tidak ingin jadi dokter, saya pun masuk Antropologi Unpad, dan bergabung dengan kelompok pecinta alam universitas. Hampir setiap minggu saya ikut mendaki gunung, panjat tebing, telusuri gua, atau yang paling saya suka, arung jeram di sungai yang deras. Saya pun bekerja mengajar organ dan matematika supaya selalu bisa dapat uang untuk naik gunung.
Saat saya berusia 21 tahun, suatu saat saya mendaki puncak Jayawijaya di Papua, tingginya 4.750 meter di atas permukaan laut kalau tidak salah, dan saya sangat bangga, dengan sombong bercerita ke semua orang. Bahwa saya menempuh sembilan hari perjalanan, melewati berbagai suku-suku pedalaman lembah baliem. Salah seorang yang apes mendengar cerita saya adalah seorang antropolog senior saya, kebetulan ia akan pergi ke perundingan 2 suku yang berperang. Saya tanya di mana dan apa serunya. Saya sempat mencemoh saat tahu lokasinya hanya berjalan 2-3 jam di bukit setinggi 2.000 meter. Tetapi apa yang saya saksikan mengubah hidup saya, melihat dia bicara 2 bahasa lokal, di tengah-tengah perdebatan seru perang adat. Wow, itu sangat keren, sangat real. Seketika aku malu dengan hobiku selama ini saya sibuk menyenangkan diri sendiri. “Mendaki gunung memang hebat, tapi siapa yang senang? Cuma elo sendiri. Gunungnya begitu-begitu aja, orang-orangnya gak berubah nasib!” saya bicara pada diri sendiri. Begitulah, nasehat seniorku itu, “jadilah antropolog yang sebenarnya Tet! Elo gak mau kan hidup cuma sekadarnya?!” Sialan, nancep banget di hati…
Tamat kuliah aku bekerja di sebuah LSM konservasi untuk mendampingi komunitas orang Rimba. Walaupun sangat sulit, tapi pekerjaan itu membuat saya merasa keren; banyak anak muridku yang bisa baca dan hobi berkeliling hutan sambil mengatasi bahayanya binatang buas bisa tersalurkan. Tapi ada yang kurang, pekerjaan berguna buat orang lain saya ternyata tidak cukup, ini seperti memberi ikan pada orang lapar. Sampai kapan? Gak bikin mandiri…
Tahun 2003 setelah 4 tahun bekerja mapan, demi idealisme dan ketenangan diri saya sendiri, saya berhenti bekerja. Saya kembali ke rimba sendirian, tanpa sokongan pekerjaan, tak lama kemudian empat teman lain dari kantor lama bergabung. Lahirlah lembaga impian kami, SOKOLA, di tengah-tengah kebangkrutan kami semua. Sampai-sampai untuk pulang Natal saja saya minta dikirimi ibu ongkos bus ke Jakarta. Impian memang mahal harganya, tapi bukanlah untuk itu kita diutus ke dunia ini? Jika keinginan itu begitu kuat, maka seluruh alam raya akan membantu. Waktu itu usiaku 31 tahun, aku senang karena aku sudah betul-betul yakin dengan apa yang aku inginkan, yang bisa dikontribusikan pada bumi ini. Dan mungkin karena begitu jelas berbeda, hanya orang-orang tertentu tapi serius mau bergabung dengan Sokola. Kami seperti magnet, bertemu 1 menit saja sudah tau dan langsung lengket. Kami mengembangkan program literasi hingga mereka mandiri. Tahu cara mempertahankan hak dan menentukan arah hidupnya. Kami pun membuat program sejenis di pulau-pulau lain: Flores, Selawesi, Maluku, walaupun sering buka tutup karena kekurangan dana. Titik ini kusebut “Sustainablity”, dimana calling itu hanya berguna, tetapi berumur panjang.
Saya tidak akan bicara tentang pemimpin, karena semuanya dimulai dari memimpin diri sendiri seperti Buddha berkata “All that we are is the result of what we have thought. The mind is everything what we think we become.”
Salam Rimba, Butet Manurung
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Butet Manurung, Hal: 307-310.