Penguasa All England
Satu-satunya perempuan Indonesia yang tercatat dalam “Guinnes Book of World records” adalah Susi Susanti. Sejak 1990 hingga 1994 ia menjadi juara All England, kejuaraan dunia paling bergengsi untuk pemain tunggal bulutangkis berturut-turut. Lucia Francisca Susi Susanti, demikian nama lengkapnya telah menorehkan sejarah bagi Indonesia. Di Olimpiade 1992, ia menggandengkan medali emas tunggal putri dan putra bersama alan Budi kusuma, dan “Pengantin Olimpiade” ini kemudian sungguh-sungguh naik ke pelaminan.
Sejak kecil ia sudah bermain bulutangkis, mulai dari sekadar mencoba-coba di lapangan di dekat rumah. Ketika ia memutuskan meninggalkan kota kelahiran, Tasikmalaya, untuk mengembangkan diri ke Jakarta, pada mulanya orangtuanya keberatan. Maklum, susi adalah putri satu-satunya dari tiga bersaudara pasangan Richard Handoko dan Benawati.
Pilihan itu terbukti tak keliru. Indonesia pun memiliki Srikandi bulu tangkis yang tangguh di era 1990-an. Dengan enam gelar juara World Cup Prix, empat gelar All England, dan tentu saja medali emas Olimpiade 1992, Susi Susanti menyumbangkan keharuan dan kebanggaan untuk bangsanya.
Di balik ketangguhan dan ketangkasannya, Susi pribadi yang sederhana dan sangat rendah hati. Ia pensiun sebagai atlet bulu tangkis nasional pada 1997, dalam keadaan hamil. “saya masih berhasrat menyumbangkan medali untuk indonesia,” katanya pada waktu itu. “tapi sudah dapat rezeki dari tuhan.”
Kini, ibu tiga anak itu fokus mengembangkan usaha dengan suaminya, bisnis apparel bulu tangkis. mereka mendirikan dan mengembangkan ASTEC, nama usaha yang dikelola sejak 2003. Sejak 2004, Susi dan Alan juga menyelenggarakan ASTEC Cup, kejuaraan bulu tangkis untuk atlet junior.
Susi Susanti:
Adik-adikku, atau mungkin
Anak-anakku, yang nanti akan memimpin bangsa kita, Indonesia.
Saya ingin berbagi cerita pribadi sekaligus cerita kita bersama, momen bulu tangkis Indonesia.
Berawal dari keluarga. Keluarga memberikan pengaruh yang besar untuk saya. Lahir dari keluarga besar yang hobi bulu tangkis, khususnya orang tua. Saya sering diajak ke lapangan badminton sama Papa dan dengan sendirinya saya coba main, coba pegang raket, dan coba memukul shuttle cock. Saya pun jadi senang dan hobi bermain bulu tangkis. Orang tua saya pun melihat bakat dan minat saya di bulu tangkis. Saya bersyukur memiliki orang tua yang suportif, meski Papa kadang protektif.
Saya pun berkembang lebih cepat. Ketika orang lain membutuhkan waktu 1 bulan untuk dapat memukul, saya 1 minggu sudah bisa di umur 6 tahun.
Saya diikutkan ke dalam klub milik paman saya untuk berlatih lebih serius di Tasikmalaya. Di usia 10 tahun saya mulai ikut pertandingan, meski masih dibilang ‘anak bawang’. Di kejuaraan pertama saya, juara 3 berhasil saya raih. Rasanya senang banget, baru kejuaraan pertama langsung dapat juara dan dapat tabungan 7500 perak. Senangnya minta ampun! Semangat saya pun semakin bertambah dan bertambah lagi. Kejuaraan selanjutnya, PORSENI, saya menjadi juara 1. Klub-klub besar mulai memantau saya, Djarum dan Jaya Raya. Saya memilih untuk ke Jakarta bersama klub Jaya Raya. Adikku, anakku, di sini lah saya berlatih dengan jadwal yang ketat, latihan rutin 2 kali setiap hari dengan jam makan, tidur, dan sekolah yang diatur. Juara Asia saya raih ketika masih di klub berkat latihan dan kemauan keras. Inilah saat PBSI memantau dan pada akhirnya saya direkrut menjadi atlet nasional.
Tapi adik-adikku, anak-anakku, kalau ditanya momen apa sih yang paling berkesan buat saya? Ya moment yang di tahun 1992, mungkin kalian masih sangat kecil atau belum lahir saat itu.
Kala itu bulu tangkis pertama kali dipertandingkan di Olimpiade dan waktu itu kesempatan, kans terbesar bagi Indonesia ada di cabang olahraga bulutangkis. Bulu tangkis sendiri menjadi andalan untuk Indonesia, pas waktu itu juga saya berada di rangking I dunia di IBF.
Harapan pengurus PBSI, Pemerintah Indonesia, dan masyarakat Indonesia digantungkan pada pundak kami, saya dan Ardi Wiranata, yang kala itu menjadi unggulan tunggal putra. Beban luar biasa saya rasakan. Saya sempat merasa takut bertemu orang karena setiap berpapasan mereka selalu bilang, ”Harus menang ya!” Bukan hanya dari 1 atau 2 orang, tapi semua orang berharap saya menyelesaikan tugas dengan baik. Ini beban dan tanggung jawab, adikku, anakku. Ketegangan dan tekanan luar biasa saya rasakan bahkan sebelum pertandingan dimulai.
Namun, pikiran saya harus tetap positif. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada saya jadi tergantung apakah dipikirkan secara negatif yang akan menjadi beban, atau secara positif yang akan menjadi suatu motivasi. Motivasi untuk mempersiapkan diri karena saya tahu ini adalah pertandingan dengan persaingan sangat berat.
Porsi latihan dengan kemauan dan kesadaran sendiri, saya tambah yang biasanya 4-5 jam sehari menjadi 7-8 jam sehari. Dalam sehari biasanya 2 kali latihan, saya tambah 3-4 kali latihan dalam sehari. Saya lakukan semua latihan yang luar biasa, juga menerima tanggung jawab ini secara ikhlas karena saya punya satu tujuan, ”Kalau tidak sekarang, (Olimpiade) kapan lagi?” Saya berpikir positif bahwa ini adalah kesempatan, dan kesempatan tidak datang dua kali.
Adikku dan anakku, sampailah saya di Barcelona. Ketegangan luar biasa saya rasakan karena ada keinginan kuat untuk menang sekaligus ada beban sangat berat di pundak saya. Makan pun sudah tidak ada rasanya, asal masuk.
Saya sadar bukan hanya membawa nama Susi Susanti tapi di belakang saya juga ada Indonesia. Dari babak ke babak saya berhasil mengalahkan lawan hingga berlabuh di final.
Saya ingat betul dengan pertandingan di final. Saya kalah di set pertama. Lalu di set kedua saya membalikkan keadaan dan di set ketiga saya pun berhasil meraih kemenangan. Di sini lah perbedaannya, biasanya saya menang tuh biasa saja hampir tanpa ekspresi tapi saat itu saya menjerit, melepaskan semua ketegangan. “Tugas saya sudah selesai,” pikir saya saat itu.
Ketika Indonesia Raya berkumandang, medali emas dikalungkan di leher saya, dan Merah Putih berkibar, haru tak tertahankan lagi, adikku, anakku. Saya pun menangis saat ikut menyanyikan Indonesia Raya. Bibir saya bergetar. Ini momen luar biasa.
Teman-teman kontingen Indonesia yang berada di Barcelona kala itu, juga ikut merasakan haru. Sebelumnya belum pernah Indonesia Raya berkumandang di Olimpiade, hanya sering mendengar lagu kebangsaan negara lain seperti Amerika, Rusia, dan China.
Setiap ingat pengalaman ini, saya pasti terbawa perasaan. Mata pun jadi berkaca-kaca.
Keharuan pasti dirasakan, saya merasa bisa memberikan yang terbaik. Ada suatu kebanggaan, suatu keharuan, dan suatu kegembiraan menjadi satu. Campur aduk. Itu dapat dilihat pada foto dan video yang ada. Perasaan haru saya telah memberikan kebanggaan kepada Indonesia, saya harap dapat pula dirasakan oleh kalian.
Benar-benar satu momen yang luar biasa, mungkin bukan hanya bagi saya tapi seluruh bangsa Indonesia. Sekelompok kecil orang Indonesia di Barcelona yang mendengdang hingga kami menangis.
Kebanggaan yang luar biasa menjadi orang Indonesia.
Adik-adikku,
Anak-anakku,
Terima kasih telah mendengarkan ceritaku untuk negeriku.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Susi Susanti, Hal: 265-267.