Pendekatan Pembangunan untuk Pedesaan
The Trickle-Down Theory
Teori tetesan ke bawah (the trickle-down theory) dibangun dengan bercermin pada sejarah ekonomi Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi yang mantap, yang ditandai oleh Revolusi Industri di Inggris pada abad 18 telah memberikan keuntungan yang luar biasa bagi para pemilik modal. Keuntungan itu selanjutnya meningkatkan pula kehidupan kelas pekerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan kata lain, telah terjadi perembesan kesejahteraan dari kelas atas ke kelas bawah melalui industrialisasi.
Proses ini ternyata tidak berlaku di negara-negara sedang berkembang. Bila di Inggris dan Eropa Barat golongan kaya adalah golongan penabung (dan investor), sebaliknya, golongan kaya di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, lebih banyak membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri. Selain itu, program-program pembangunan yang dilakukan secara terpusat seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat bawah. Para perencana dan pengambil kebijakan lebih menekankan hasil kuantitatif dengan waktu yang secepat mungkin. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan terabaikan, bahkan kadang dianggap sebagai hambatan. Mereka tidak mau melihat pentingnya keselarasan antara aspirasi masyarakat dengan keahlian perencanaan.
Di Indonesia, di tingkat perdesaan, pendekatan trickle-down theory tampak sekali dalam pembinaan koperasi (Koperasi Unit Desa, KUD) ,yang dilakukan oleh Pemerintah Orba. Dengan berorientasi pada skala usaha ekonomi besar, selama 10 tahun (1967-1978) unit koperasi telah bergeser dari pendukuhan ke kecamatan (lihat “LSM dan Upaya Pengembangan Koperasi di Perdesaan” dalam Bab III). Akibatnya, keberadaan koperasi hanya dinikmati oleh mereka yang secara sosial, ekonomis dan politis siap untuk memanfaatkannya.
Basic Needs Approach
Dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka terjadilah di negara-negara berkembang (antara lain Korea Selatan, Taiwan, Mexico, Brazil) laju pertumbuhan GNP (Gross National Product) yang mengesankan, antara enam sampai delapan persen. Tetapi, bersamaan dengan meningkatnya GNP itu, muncul pula berbagai persoalan yang gawat. Kelebihan produksi diikuti dengan meningkatnya pengangguran. Mayoritas penduduk miskin yang tinggal di perdesaan terus membanjiri kota-kota besar, tetapi tidak tertampung dalam industri-industri besar yang ada. Akibatnya, terjadilah kekurangan pangan pada lapisan rakyat miskin. Kepincangan sosial antara kota dan desa, kaya dan miskin, si kuat dan si lemah semakin tajam.
Menurut Soedjatmoko (1980), kemiskinan absolut itu ditandai dengan usia yang lebih pendek, tingginya tingkat kematian anak, kekurangan makan secara kualitatif dan kuantitatif, terhambatnya pertumbuhan fisik, psikis, daya pikir, serta kemampuan-kemampuan sosial lainnya yang menghambat interaksi dengan lingkungan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, telah diperkenalkan oleh para pemikir suatu pendekatan yang disebut basic needs approach.
“Pendekatan kebutuhan pokok” dikembangkan pertama kali oleh Bariloche Foudation di Argentina sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan massal yang terjadi, dengan memenuhi kebutuhan pokok 40 persen penduduk yang berpenghasilan paling rendah. Pendekatan ini berupaya menanggulangi secara langsung masalah makanan, gizi, kesehatan, pakaian, pendidikan, dan perumahan melalui penyediaan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan lain, serta KB. Pendekatan ini dilaksanakan melalui satu paket kebijakan yang mengusahakan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (enam hingga delapan persen), pemerataan pendapatan, pengaturan kembali pola produksi dan pola konsumsi masyarakat, serta, dalam batas-batas tertentu, pemerataan kekayaan. Walaupun tujuan pendekatan basic needs adalah untuk membebaskan kelompok miskin dari penderitaannya, tetapi tetap menjadi sasaran kritik, terutama terhadap implikasinya.
Pada awal 1978 Soedjatmoko mencetuskan karya yang berjudul Policy Implication of the Basic Needs Model, yang kemudian secara internasional diakui sebagai berhasil meletakkan dasar-dasar kerangka kebijakan dan pelaksanaan model kebutuhan pokok dalam konteks negara sedang berkembang. Melalui karya tersebut Sudjatmoko menjabarkan berbagai implikasi nasional dan internasional dari penetapan model kebutuhan pokok, menguraikan syarat kerangka politik yang diperlukan, menunjukkan garis-garis siasat perangkat kebijakan yang perlu diambil di berbagai bidang untuk menunjang keberhasilan dan menyingkirkan hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan kata lain, pendekatan kebutuhan pokok, secara teknis tidak bisa dan tidak boleh diterapkan dalam satu wadah yang vakum dan steril, seolah-olah lepas dari lingkungan dan struktur masyarakat. “Sebab, kalau begitu, di dalam kebun binatang atau penjara pun kebutuhan pokok itu bisa saja dipenuhi,” kata Soedjatmoko. Pemikiran Soedjatmoko itu sangat mirip dengan uraian berikut.
Pembagunan dari Dalam (Development from Within)
Kita mengetahui serba sedikit tentang proses, motivasi, dan dinamika hidup yang memungkinkan kaum miskin mampu mempertahankan hidupnya. Yang kita tahu hanya soal kebergantungan mereka pada fluktuasi pendapatan dan harga bahan makanan, ketika mereka tidak mampu menolak tingkat gaji yang ditawarkan, betapapun rendahnya, atau menunda pembelian bahan makanan pada saat harga melambung tinggi. Dengan kata lain, kita belum cukup mengetahui peta bumi kemiskinan. Karena itulah, kemiskinan tidak cukup dipahami melalui pendekatan basic needs. Pengalaman juga menunjukkan bahwa pelayanan-pelayanan dasar hanya bermanfaat sepanjang diintegrasikan dalam self-organization dan self-mangement dari kelompok miskin yang bersangkutan. Kelembagaan tradisioana seperti sinoman, arisan, gugur gunung, tanggung renteng, lumbung paceklik di Jawa tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut, sebab tidak bersifat permanen. Menurut Geertz, seperti dikutip Rusidi (1978), sifat kelembagaan itu normless dan structureless.
Mengefektifkan pelayanan pada kelompok miskin berarti mengefektifkan bekerjanya basic communities yang berorientasi pada pengembangan masa depan. Dengan kata lain, penanggulangan golongan ekonomi lemah atau masyarakat miskin hanya bisa dilakukan melalui ekonomi lemah dan masyarakat miskin itu sendiri, melalui pembangunan dari dalam. Pembangunan dari dalam berarti mengembangkan potensi, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri dan berkembang sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki. Usaha pengembangan ini dilakukan di dalam wadah kelompok kecil (kelompok swadaya), tempat untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah-masalah mereka hadapi bersama. Dengan semangat kebersamaan, pada akhirnya, tidak hanya dicapai self-sufficiency atas kebutuhan-kebutuhan dasar, tetapi juga self-confidence, unsur pokok bagi self-reliance.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 60-63.