Definisi Transparansi
Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti bahwa informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Kalaupun ada informasi yang tidak boleh diketahui oleh publik, yang sering disebut dengan “rahasia perusahaan”, maka harus ada kriteria yang jelas untuk itu. Keterbukaan juga bisa berarti informasi yang cukup berkaitan dengan kinerja lembaga tersedia dan disajikan dalam bentuk atau media yang mudah dipahami masyarakat.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa transparansi terkait erat dengan akuntabilitas. Ada yang menyatakan bahwa keduanya merupakan hubungan kausalitas, sementara kalangan yang lainnya menempatkannya secara independen. Menyangkut materi dan ruang lingkupnya, beberapa kelompok juga memiliki pandangan yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa transparansi dan akuntabilitas cukup pada aspek keuangan, ada yang berpendapat sebaliknya, semua aspek kecuali masalah keuangan, dan ada juga yang berpendapat semua aspek, termasuk program dan keuangan. Sementara kata kunci yang bisa menjelaskan sekaligus menghubungkan akuntabilitas dan transparansi adalah pengungkapan (disclosure). Pengungkapan data dan informasi merupakan praktik transparansi di satu sisi dan pada saat yang sama menjadi prasyarat akuntabilitas. Ada tiga model disclosure yang diterapkan oleh LSM:
Pertama, model legalism yang mengacu pada model pengungkapan berbagai data dan informasi organisasi karena adanya tekanan regulasi. Misalnya, mendorong pengungkapan pelaporan keuangan lembaga nirlaba lewat aturan-aturan yang berlaku. Pemberlakuan UU Yayasan merupakan salah satu contoh upaya mendorong lembaga nirlaba untuk terbuka dan mengungkapkan informasi yang dimilikinya berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Model ini diterapkan dengan mekanisme audit oleh akuntan publik dan mempublikasikan hasilnya di surat kabar.
Kedua, model associatism di mana pengungkapan data dan informasi dilakukan berdasarkan kesepakatan asosiasi atau konsorsium yang membawahi organisasi tersebut. Misalnya, upaya pengaturan standar pelaporan keuangan yang dilakukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia. Begitu juga upaya beberapa koalisi atau asosiasi LSM, seperti LP3ES, Sawarung dan KPMM, yang membentuk dan menyepakati mekanisme pengungkapan secara khusus bagi para anggotanya. Beberapa upaya yang dilakukan berkaitan dengan model ini adalah laporan pertanggungjawaban anggota secara terbuka dalam sarasehan, atau pembuatan mekanisme/sistem keuangan yang mudah dipahami oleh konstituen.
Ketiga, Model kommunalism yang merujuk pada mekanisme pengungkapan data dan informasi yang dimiliki orgnisasi berdasarkan cara atau metode yang ditentukan oleh komunitas atau masyarakat konstituen. Masyarakatlah yang menentukan bagaimana proses transparansi dilakukan dan informasi apa saja yang harus diungkapkan. Lewat mekanisme semacam ini, pelibatan dan kontrol masyarakat terhadap kinerja organisasi bisa dilakukan secara optimal. Model ini diajukan sebagai bentuk alternatif terhadap model pertama dan kedua yang dianggap belum mencerminkan transparansi secara utuh dan mudah dimanipulasi, meski sistem yang digunakan sudah cukup rapi dan menggunakan tenaga audit yang profesional.
Dari ketiga model tersebut, model pertama yang banyak dipraktikkan oleh NGO. Itu pun belum dilakukan secara baik dan profesional karena banyak NGO masih belum punya sistem administrasi keuangan yang bagus atau menggunakan tenaga audit. Model kedua mulai digunakan dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan terbentuknya berbagai asosiasi, jaringan atau koalisi LSM yang menerapkan self regulation yang disepakati bersama bagi anggotanya. Model ketiga, meski lebih mudah dan dilakukan sesuai dengan kapasitas lembaga, belum banyak diaplikasikan. LSM jarang menggunakannya karena mereka tidak terbiasa melakukan pengungkapan secara terbuka dan memberikan akses yang luas kepada konstituennya.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 63-65.