Ketika Tempo Dibredel
Ketakutan punya batas. Dan toriq Hadad menerabas batas itu ketika Tempo dibredel rezim Suharto pada 1994. Sarjana pertanian Institut Pertanian Bogor ini ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di tengah tekanan penguasa yang tak ingin informasi bebas diakses orang banyak. Toriq, salah satu orang di balik penerbitan situs tempointeraktif.com. Situs berita ini menyuarakan perlawanan terhadap kezaliman Orde baru. “Bisa dikatakan menjadi aktivis itu karena terpaksa,” katanya.
Banyak orang yang bergantung pada Tempo. para wartawan mungkin bisa hidup dengan menulis apa saja. Tapi mereka yang bukan di bagian redaksi akan telantar karena tak punya pekerjaan. Gerilya toriq dan kawan-kawannya berupaya mengayuh kembali biduk Tempo yang dikaramkan Orde Baru.
Sejak bergabung dengan Tempo pada 1985, ia banyak belajar tentang bagaimana seharusnya wartawan bersikap: membela yang lemah, tetap kritis dan skeptis. Maka ketika majalahnya dibredel, arek Pasuruan, Jawa Timur, ini melampaui batas ketakutannya berhadapan dengan penguasa. “Setiap orang punya peran, ini saatnya berperan sesuai kemampuan,” katanya.
Dia menghitung peluang dan risiko yang mungkin timbul. Karena itu ISAI dan tempointeraktif.com lepas dari pantauan Orde Baru karena masih menjadi “barang baru”. Studi-studi demokrasi dan berita-beritanya diunduh lalu dibagikan gratis di kalangan aktivis dan mahasiswa. Dan reformasi 1998 tiba, Orde Baru runtuh, Tempo kemudian terbit kembali.
Toriq salah satu yang memimpin majalah itu kembali dari titik nol. Pelajaran berharga sebelum bredel dan masa-masa gerilya mempengaruhinya mengelola Tempo hingga menjadi pemimpin redaksi dan unit produksi saat ini. Bagi dia, seorang pemimpin harus adil dengan memberi penghargaan kepada yang berprestasi dan memberi kesempatan kepada yang kurang berprestasi. sikap adil dan kejelasan bersikap itu yang ia tularkan dalam memimpin Tempo.
Suatu Hari Pada Juni 1994
Rekan-rekan muda yang saya cintai,
Sata bercerita tentang kelompok orang saat Tempo dibredel pada satu hari yang celaka di bulan Juni 1994. Jumlah mereka sekitar 70-80 orang: separuh di antaranya wartawan, sebagian lagi fotografer, desainer, layouter, staf bahasa, staf perpustakaan, sekretaris, dan bahkan offce boy. Mereka menolak bergabung dengan majalah “pengganti Tempo” yang didirikan kaki-tangan Presiden Soeharto pimpinan rezim yang memberanguskan Tempo. Tulisan ini merupakan cara saya berterima kasih untuk pernah menjadi bagian dari mereka.
Kalau saja tidak menolak, mereka tak akan kehilangan gaji bulanan yang jumlahnya lebih besar di tempat “baru” itu. Mereka tak akan kehilangan sejumlah fasilitas, dan yang terpenting: tak akan berganti status dari pekerja menjadi pengangguran. Mereka kecewa dan marah kehilangan tempat bekerja. Tapi saya tahu yang menggerakkan mereka memilih “tidak” adalah ketidakadilan yang sangat. Perasaan diperlakukan semena-mena itu terlalu dalam, sekaligus begitu menyatukan, mengalahkan kepedulian soal makan besok pagi atau hilangnya karier dan masa depan. Saya belum pernah melihat sekelompok orang saling terikat begitu kuat, sambil mengerjakan apa saja sacara serabutan dan tak menjanjikan apa pun kecuali sekadar imbalan yang tak pantas. Saya tahu pasti mereka memelihara harapan untuk bersatu kembali dalam sebuah tempat kerja yang dulu direbut paksa itu.
Saya kira kami juga disatukan oleh rasa kehilangan yang menyakitkan. Terlalu menyiksa bila kita hanya bisa menonton pengunjuk rasa yang digebuki tanpa punya tempat menuliskan kepedihan itu. Setelah semua pengaduan kami atas kesewenang-wenangan itu membentur tembok – ke setiap fraksi DPR yang ternyata lebih tampil diliput tivi ketimbang serius menanggapi kami, ke komisi ini dan itu yang ternyata tak membuat rezim beringsut, ke pengadilan yang akhirnya memenangkan penguasa – kami tahu yang bisa kami lakukan hanya menunggu.
Kami berdiaspora ke segala penjuru, tapi saya yakin sekelompok orang itu tidak merasa salah dan kalah. Setidak-tidaknya sekali dalam hidup ini, kami pernah memenangkan yang kami anggap benar. Pilihan sulit yang menyehatkan jiwa. Pilihan yang tak pernah disesali. Pilihan yang bertahun-tahun kemudian terbukti benar. Kemerdekaan pers negeri ini sedikit banyak lahir dari keadaan yang membuat kami harus memilih itu.
Rekan-rekan muda yang saya cintai, suatu saat nanti barangkali pilihan itu akan datang menghampirimu. Saya berharap kamu mengingat cerita saya ini.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Toriq Hadad, Hal: 245-246.