Ketika Laut dan Udara Bertemu
Susi Pudjiastuti adalah wujud keteguhan hati. Aroma laut Pangandaran, Jawa Barat, selalu memanggilnya. Sejak kecil dia gemar mengikuti para nelayan, tak jarang sampai berbilang hari dia berperahu di tengah laut.
Awal 80-an, dia memutuskan meninggalkan bangku SMA. Gadis pesisir ini memilih berjualan ikan. Perlahan bisnisnya membesar. Pada 1996, dia mendirikan pabrik pengolahan ikan di Pangandaran.
Banyak permintaan lobster dalam keadaan hidup dari Jakarta. Satu-satunya jalan adalah membawa lobster dengan pesawat udara. Akhirnya, pada 2004 Susi membeli dua buah pesawat jenis Cessna Caravan.
Desember 2004. Tsunami menggempur. Pesisir Aceh babak belur. Susi tak tinggal diam. Bersama suaminya, Christian von strombeck, Susi terbang menuju Meulaboh, salah satu titik terparah yang dihajar tsunami, membawa obat dan makanan. Peristiwa itulah yang mengubah arah bisnis Susi dan menjadi cikal bakal maskapai penerbangan: PT. ASI Pudjiastuti Aviation.
Berbagai penghargaan sebagai pengusaha tangguh diterima Susi. Dengan bahasa inggris yang fasih, Susi cukup tegas membawahi puluhan pilot dan teknisi. “Saya belajar bahasa inggris dari banyak baca novel,” katanya.
Rumahnya di Pangandaran adalah perpaduan dua dunia: air dan udara. Di sini ada pabrik pengolahan ikan yang terus berkembang. Di kompleks yang sama, puluhan pilot dan teknisi pesawat hilir mudik.
25 april 2012, sebuah pesawat Susi Air jatuh di Balikpapan, dua korban meninggal. Kecelakaan ini justru membuatnya terinspirasi membangun sekolah pilot profesional di Pangandaran, lengkap dengan peta tiga dimensi Kalimantan dan Papua.
Hingga awal 2012, susi air memiliki 47 berbagai jenis pesawat ringan yang siap menembus pedalaman Sumatera, Kalimantan, sampai Papua. Bisnis lobster dan ikan segarnya pun menembus pasar mancanegara.
Pemuda Pemimpin Masa Depan….
Inilah sepenggal kisah dari saya:
Saya mengenal dunia usaha sejak remaja. Tepatnya sejak saya memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah tahun 1982. Waktu itu saya baru kelas 2 SMA. Saya sadar dengan hanya berbekal ijazah SMP, tak akan ada satupun perusahaan yang mau mempekerjakan saya. Kalaupun ada hanya sebatas sebagai “Cleaning Service“. Tapi pada saat itu saya yakin bahwa putus sekolah bukanlah akhir dari segalanya. Meskipun mungkin keputusan itu salah; saya tidak pernah menyesalinya. Yang saya sangat tahu waktu itu adalah “School was just not my thing“. Saya selalu punya keyakinan kalau kita mau berbuat sesuatu pasti akan ada jalan, saya selalu percaya bahwa manusia diberi pilihan untuk menciptakan jalan hidup yang dipilihnya.
Saya ciptakan sebuah sebuah usaha, pekerjaan yang yakin akan menghasilkan uang, dimana akhhirnya saya tidak harus bergantung dengan orang lain. Saya tidak suka ketergantungan, karena ketergantungan akan mengurangi kemadirian. Tanpa kemandirian kita akan selalu dalam keterbatasan dalam menciptakan atau mengerjakan sesuatu, sehingga akhirnya hasilnya tidak sesuai dengan yang kita rencanakan.
Kehidupan nelayan di Pagandaran dan pesisir Pantai Selatan Jawa, begitu keras dan penuh resiko, dinihari melaut siang/sore baru pulang, setiap hari tidak peduli ombak atau cuaca untuk sebuah keyakinan. Ini banyak memberikan kepada saya keyakinan & lebih mengerti makna hidup adalah sebuah keyakinan. Masa-masa itu untuk bertahan hidup saya jualan Bed Cover, cengkeh, hingga akhirnya menjual ikan hasil tangkapan para nelayan. Pokoknya apa saja yang bisa saya kerjakan akan saya kerjakan.
Ketika pada akhirnya saya fokus di bisnis hasil tangkapan Lobster nelayan, peluang besar itu akhirnya datang. Tantangannya adalah saya harus membawa Lobster hidup dari Pangadaran ke Jakarta untuk diekspor ke luar negeri. Perjalanan yang jauh, berjam-jam membuat angka kematian sangat tinggi. Hal ini membuat saya bertekad menerbangkan lobster-lobster hidup tadi dengan pesawat kecil ke Jakarta.
Para pemimpin masa depan, dalam hidup ini kita juga harus berani mengambil resiko. Ini terjadi ketika saya kembali nekad memutuskan mendaratkan pesawat kecil saya di Meulaboh dan Pulau Simeuleu, setelah tsunami menggerus pesisir timur propinsi NAD. Semua orang tergerak untuk membantu, termasuk saya. Tanpa ijin terbang bahkan ijin operasi, tanpa kepastian bisa mendarat atau tidak, saya akhirnya bisa meyakinkan semua pihak, Meulaboh biosa ditembus lewat udara. Dan sejak hari itu bantuan mengalir kesana. Ini bukanlah kisah heroik saya. Namun, ada perasaan “Hangat “ (saya merasakan “good feeling“ yang luar biasa!) menyusup ke dalam hati kita, ketika kita mampu berbuat sesuatu untuk orang lain karena kita bisa & memutuskan untuk melakukannya. Keyakinan, keberanian seperti inilah yang membuat saya bertahan dan menjadi seperti sekarang ini; membawa pesawat-pesawat kecil saya menembus pedalaman, pelosok Indonesia.
Pemimpin masa depan, saya tahu tidaklah mudah memulai sebuah usaha di negeri kita tercinta ini. Begitu banyak barikade yang harus kita hadapi, dari regulasi yang tidak fexible, paper work exercise yang berlapis yang mencekik kita, bahkan setelah kita menjadi sebesar sekarang. Tapi itulah tantangan kita, untuk membuat lingkungan usaha lebih kondusif bagi semua pihak, untuk menciptakan lapangan kerja dan kesempatan untuk lebih banyak anak bangsa. Yang saya lakukan hanyalah sebagian dari tujuan kita untuk menjadi bagian Indonesia. Memudahkan, mendekatkan anak-anak bangsa dengan ibukota, atau kabupaten dengan propinsi. Merubah hari perjalanan menjadi hanya satu jam atau dua jam saja. Ikut berpartisipasi menjaga NKRI.
Pesan saya untuk para pemimpin masa depan: mulailah rubah pola pikir kita, untuk selalu mau bekerja keras jangan berleha-leha. Sangatlah tidak pantas di negeri yang kaya raya; kita menjadi miskin. Seperti tikus mati di lumbung padi. Sumber daya apa yang kita tidak punyai di negeri ini? Saya tahu saya orang yang tidak mau diatur, diperintah atau disuruh untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani, tapi itulah yang membuat saya menjadi manusia dengan pikiran merdeka.
Pemimpin masa depan, yakinlah keberhasilan kita untuk masa depan bangsa kita hanya kita dapatkan dengan jiwa & pikiran yang merdeka & mandiri.
Selamat berjuang.
Salam hangat,
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Susi Pudjiastuti, Hal: 236-238.