Kontrol Internal: Sebuah Gagasan
Dalam konteks transformasi dan akuntabilitas kinerja Omop, tidaklah terbatas pada aspek dana saja, tapi juga meliputi aspek manajemen, program, visi, misi dan bahkan rekrutmen staf sebuah lembaga yang bernama Ornop. Dengan begitu, kontrol yang bersifat internal menjadi sangat penting dengan suatu asumsi bahwa kekuasaan cenderung korup, sedangkan kekuasaan yang mutlak pasti korup.
Dengan cara pandang seperti itu, maka aspek-aspek yang perlu dicermati terhadap keberadaan suatu Ornop, adalah sebagai berikut:
Pengurus nepotisme
Ornop yang sehat jika dipandang dari aspek pengurus adalah, yang bersangkutan tidak menempatkan orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan sebagai pengurus inti. Misalnya, suami istri sebagai direktur dan sekretaris, bendahara adik ipar. Alasannya, komposisi pengurus seperti itu, akan sangat sulit diukur transparansi dan pertanggunganjawabannya.
Tumpang tindih program aksi
Ornop yang programnya tumpang tindih dalam arti, visi programnya, kelompok sasaran, waktu pelaksanaan, sama, sementara sumber dananya lebih dari satu, maka hal tersebut juga dipandang tidak sehat. Pasalnya, dalam kondisi demikian itu. program cenderung mubazir, sementara kelompok sasaran lain menjadi tertutup peluangnya karena perhatian terfokus pada satu kelompok sasaran.
Idependensi lembaga
Dalam kaitan ini, Ornop yang secara organisasi berafiliasi kepada parpol, lembaga komersil dan atau lembaga pemerintah, juga akan sangat sulit untuk dikatakan sehat. Dikatakan demikian, sebab sebuah Ornop dituntut untuk bekerja secara independen, dalam arti bebas dari tekanan-tekanan sehingga yang menjadi perhatian utama adalah masalah dan kebutuhan rakyat sasaran yang dipandang perlu diantisipasi. Itu berarti, Ornop yang tidak independen akan sulit melakukan transparansi dan akuntabilitas secara konsisten.
Catatan Penutup
Pada prinsipnya esensi kehadiran Ornop adalah untuk menjadi “pengimbang” dominasi negara dalam semua apek kehidupan. Asumsinya, jika dominasi negara dibiarkan, maka dimensi keadilan, demokratisasi dan partisipasi akan cenderung dinegasikan oleh penguasa. Pada posisi sebagai “pengimbang”, maka Ornop dituntut setiap saat agar merefleksikan positioningnya sesuai dengan perubahan paradigma negara dan perubahan sosial yang terjadi.
Urgensi transparansi dan akuntabilitas Ornop, tidak hanya meliputi dimensi “keuangan/dana”, tetapi meliputi wilayah manajemen, program, visi, misi, dan rekrutmen pengurus. Tentang proses dan mekanismenya perlu pembahasan melalui diskusi yang spesifik dan komprehensif.
Dalam upaya mengefektifkan kontrol internal terhadap Ornop, selain pengurus, independensi dan programnya terjamin demokratis dan berkeadilan, maka aturan main (misalnya Standar Operasional/SOP) menjadi suatu keharusan. Melalui “SOP” akan dapat dikontrol, siapa melakukan apa sampai kepada batas hak dan tanggung jawab setiap personil pada suatu Ornop.
Masih dalam konteks internal, kehadiran “kode etik” yang merupakan dasar utama dalam berperilaku, juga sangat penting bagi Omop, baik kelembagaan maupun para aktivis. Melalui kode etik, sanksi sosial/moral, dapat diterapkan, sehingga aktivis akan rerasing dari komunitas jika dipandang melanggar etika yang telah disepakati. Hanya saja, dalam merumuskan kode etik, perlu dilakukan secara cermat, sehingga tidak menjadi suatu penjara, yang justru bertentangan dengan prinsip dasar kelahiran Ornop.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 51-53.