Konflik LSM dengan Pemerintah
Secara garis besar, sebab-sebab terjadinya konflik antara LSM dengan pemerintah dapat dikemukan sebagi berikut:
Pertama, adanya perbedaan pandangan tentang siapa aktor utama yang melaksanakan pembangunan dan apa makna partisipasi. Implikasi dari perbedaan pandangan ini, misalnya, terlihat dalam program peningkatan produksi padi. Pemerintah, dengan mempertimbangkan perkembangan jumlah penduduk dan niat untuk berswasembada beras, menargetkan produksi padi pada tahun tertentu. Karena pemerintah tidak mengelola usaha tani sendiri, maka pemerintah menerapkan target tersebut pada usaha tani keluarga. Dalam konteks inilah muncul ungkapan petani sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pembangunan. Sementara itu, LSM berpendapat bahwa peningkatan produksi demi peningkatan pendapatan keluarga merupakan pusat perhatian petani secara individual maupun kelompok. Untuk mencapai hal ini diperlukan dukungan (partisipasi) pemerintah berupa kebijakan-kebijakan yang melindungi petani lemah dari aktor-aktor pembangunan lain yang lebih kuat, seperti lembaga perbankan, industriawan, dan pedagang, dalam kancah pertentangan kepentingan.
Kedua, menyangkut soal keberadaan organisasi LSM. Walaupun ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun pernyataan dari para pemimpin negara kita memberikan kedudukan yang jelas mengenai keberadaan LSM, tetapi dalam kenyataannya, para pejabat di tingkat operasional tidak memahami ihwal kedudukan LSM. Hal ini, menurut penulis, berakar dari kebijakan stabilitas politik dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru (Orba) pada awal 1970-an. Salah satu langkah untuk menuju stabilitas adalah dengan melakukan penyederhanaan organisasi politik dan organisasi massa. Seperti kita ketahui, organisasi politik disederhanakan menjadi tiga, sedangkan organisasi massa buruh, tani, nelayan, dan lain-lain menjadi satu. Kebijakan ini dilembagakan dan disosialisasikan kepada seluruh aparat hingga menjadi satu pedoman yang baku.
Keberhasilan-keberhasilan pembangunan, pada gilirannya, memunculkan aspirasi-aspirasi dan permasalahan-permasalahan baru yang membutuhkan pelayanan dari lembaga-lembaga yang tentunya juga baru. Muncullah kemudian LSM. Hal ini kurang dipahami oleh pemerintah.
Akibatnya, para pejabat di daerah bersikap menolak, semata-mata karena lembaga baru itu tidak sesuai dengan pedoman yang ada. Konflik pun timbul.
Ketiga, di bidang kegiatan. Walaupun kegiatan LSM pada umumnya bersifat sporadis, artinya hanya muncul di beberapa wilayah tertentu, tetapi kegiatannya dilaksanakan dengan intensitas perhatian dan dedikasi yang tinggi. Karena itulah, proyek-proyek LSM secara lokal mencatat hasil yang relatif lebih baik dari proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan secara massal. Hal ini kemudian menimbulkan perasaan tidak enak di kalangan pengelola proyek pemerintah. Kehadiran LSM di daerah dianggap seolah-olah menyaingi pemerintah. Proyek-proyek LSM pun dipermasalahkan legitimasinya, bahkan sering dicurigai dan dipersulit. Hubungan LSM dengan pemerintah, tidak dapat dielakkan lagi, akhimya memanas dan tidak serasi.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 23-25.