Peranan LSM dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Dalam membantu masyarakat miskin, ada empat pendekatan yang dipakai oleh LSM. Keempat pendekatan itu didasarkan pada persepsi mereka mengenai keberadaan masyarakat miskin, yakni:
Pertama, pendekatan sosio-karitatif, yakni suatu pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat adalah miskin, menderita, dan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Sejumlah LSM, khususnya yang berlatar belakang keagamaan, menggunakan pendekatan ini dengan, misalnya, mendirikan panti jompo, rumah yatim piatu, membuat program beasiswa.
Kedua, pendekatan sosio-reformis. Pendekatan ini dilakukan secara aksidental, dengan maksud mengembalikan keadaan menjadi normal kembali. Bentuk kegiatannya antara lain seperti karya kesehatan, menolong persoalan pribadi (antara lain masalah ketergantungan pada narkotika), penanggulangan bencana alam, dan kelaparan.
Ketiga, pendekatan sosio-ekonomis, yakni suatu pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa orang miskin mempunyai potensi untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi mereka sendiri. Kalau potensi itu diperkuat, maka mereka akan menjadi mandiri dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan ini belakangan disebut pemberdayaan.
Keempat, pendekatan sosio-transformis. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pembangunan masyarakat pada dasamya adalah mengupayakan perubahan sikap, tingkah laku, pandangan, dan budaya masyarakat. Upaya dilakukan dengan cara memperjuangkan kebijakan pembangunan yang lebih berkeadilan dan partisipatif.
Mungkin timbul pertanyaan, mana dari keempat pendekatan tersebut yang paling baik? Tidak dapat ditentukan pendekatan yang paling baik. Sebab, semuanya bermanfaat dan dibutuhkan, bergantung pada situasi konkrit, analisis sosial, dan kelompok yang didampingi. Bahkan, banyak pula LSM yang mengombinasikan beberapa pendekatan tersebut dalam suatu program yang terpadu.
Berbagai pendekatan tersebut, sedikit banyak, telah menggambarkan peranan LSM dalam pembangunan nasional. Hampir semua bidang kehidupan rakyat kecil yang ditangani oleh departemen-departemen pemerintah merupakan bidang garapan LSM (dalam skala kecil). Berikut beberapa contoh:
- Bidang pertanian. LSM menyelenggarakan proyek-proyek yang mendorong kemandirian masyarakat, seperti proyek tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Secara spesifik, proyek-proyek itu mengembangkan pertanian lahan kering, Tambak Inti Rakyat, Perkebunan Inti Rakyat, mengelola berbagai pusat latihan pertanian, dan mendorong terbentuknya kelompok-kelompok swadaya petani.
- Bidang kesehatan. LSM memelopori program dana sehat serta Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang kemudian disebarluaskan oleh pemerintah. Demikian juga dengan Program Keluarga Berencana (KB), dirintis oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan selanjutnya dikembangkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Di banyak tempat, LSM juga mengupayakan tersedianya air bersih untuk minum dan program kesehatan masyarakat.
- Bidang keuangan. LSM menumbuhkan KSM yang mempunyai kegiatan di bidang pemupukan modal, dengan menyelenggarakan tabungan dan kredit. Mereka kemudian dihubungkan dengan bank, sehingga timbul Program Hubungan Bank dan KSM (PHBK). Sementara itu CUCO (Credit Union Counceling Office) telah menumbuh kembangkan ribuan koperasi kredit dengan total aset puluhan milyar rupiah.
- Bidang pendidikan. LSM menyelenggarakan program pelatihan untuk tenaga pendamping dan pengelola kegiatan yang mengembangkan kemandirian masyarakat. Selain itu, banyak juga LSM yang menyelenggarakan pendidikan non-formal di berbagai bidang serta melakukan pembinaan usaha kecil.
- Bidang lingkungan hidup. LSM mengupayakan kesadaran masyarakat dan mendorong kepeloporan untuk melestarikan lingkungan hidup. LSM juga memperjuangkan dilaksanakannya undang-undang lingkungan hidup dalam dunia industri, seperti masalah pengolahan limbah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, peranan LSM dalam proses pembangunan selama ini adalah: a). menyelenggarakan berbagai kegiatan inovatif yang bila berhasil dapat direplikasi oleh pemerintah dan organisasi lain melalui program yang lebih luas; b). melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat; c). menyelenggarakan berbagai forum dialog tentang kebijakan serta berfungsi sebagai katalis bagi berbagai aktor pembangunan.
Dalam kegiatan di lapangan, ada LSM yang mendampingi binaannya secara individual, dan ada pula yang mendampingi secara kelompok. Pengalaman Bina Swadaya menunjukkan bahwa pendampingan terhadap masyarakat kecil, yang umumnya lemah di bidang pengetahuan, ketrampilan, sikap tanggap, permodalan, serta kesempatan, paling tepat dilakukan secara berkelompok. Melalui kelompok akan terjadi proses belajar-mengajar serta saling bantu di antara anggota. Melalui kelompok juga dimungkinkan terjadinya pengumpulan daya dan dana untuk mengatasi masalah secara mandiri, selain memberi pelayanan kepada lebih banyak orang.
Untuk membantu mengembangkan kemandirian kelompok, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi secara partisipatif. Identifikasi ini dilakukan agar mereka dapat merancang sendiri pendekatan yang tepat sebagai jalan keluarnya. Adapun sebab-sebab yang melatarbelakangi kekurang mandirian kelompok-kelompok miskin di perdesaan, yang tercermin dari rendahnya partisipasi mereka dalam pembangunan, termasuk menikmati hasil-hasil pembangunan yang dicapai, adalah:
Pertama, terisolasinya kelompok-kelompok miskin dari berbagai sumber atau pusat kemajuan. Jika desa mereka terisolasi dari berbagai informasi, teknologi, modal, dan pasar maka kelompok-kelompok miskin itu tidak mempunyai banyak harapan untuk melepaskan diri dari keadaan yang ada.
Kedua, langkanya kesempatan untuk berusaha dan bekerja. Lapangan kerja yang dominan di desa adalah pertanian. Tetapi, kebanyakan kelompok miskin di perdesaan tidak memiliki tanah garapan.
Ketiga, kurangnya pengembangan sumber daya manusia. Karena terisolasi dari berbagai faktor kemajuan, kelompok miskin boleh dikatakan hampir tidak mempunyai peluang untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Kemiskinan yang mereka tanggungkan membuat mustahil memperoleh pendidikan yang cukup tinggi, yang dapat menjadi dasar untuk mengembangkan diri.
Keempat, kurangnya pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat rendahnya pengembangan sumber daya manusia. Karena rendahnya pendidikan formal yang mereka miliki, kelompok miskin di perdesaan tidak menguasai teknologi maju yang memungkinkan memanfaaatkan peluang-peluang yang ada di lingkungan mereka. Dengan demikian produktivitas mereka rendah.
Kelima, adanya pelapisan sosial-ekonomi pada masyarakat, sebagai akibat dari faktor-faktor di atas. Pelapisan masyarakat ini telah menghambat kemajuan kelompok miskin, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk melakukan inovasi demi memperbaiki keadaan ekonomi mereka.
Penanggulangan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat miskin pada ujungnya bergantung pada masyarakat miskin itu sendiri. Ini berarti potensi, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir serta membangun diri, sesuai tujuan yang mereka kehendaki, harus dikembangkan. Usaha pengembangan itu dilakukan dalam wadah kelompok kecil (kelompok swadaya) yang memungkinkan interaksi di antara individu yang ada di dalam kelompok menjadi suatu proses pendidikan yang saling “asah-asih-asuh”. Di dalam kelompok, masalah-masalah yang dihadapi bersama didiskusikan, termasuk cara-cara pemecahannya. Tumbuhnya harga diri pada anggota kelompok, berkat interaksi yang saling mengukuhkan itu, akan menjadi modal utama menuju tercapainya kemandirian kelompok.
Kelompok-kelompok itu dapat dibentuk melalui kelembagaan tradisional yang sudah ada di dalam masyarakat, atau secara spontan berdasarkan kebutuhan untuk memecahkan permasalahan yang dirasakan bersama. Pembentukan kelompok menurut cara kedua dapat dikatakan bersifat modern, karena menekankan pada asas manfaat. Contoh, kelompok-kelompok di desa Baturetno (Wonogiri, Jawa Tengah), Cigugur (Kuningan, Jawa Barat), dan Widodaren (Madiun, Jawa Timur). Masalah paceklik pangan yang berat, yang dihadapi oleh desa-desa tersebut, telah mendorong sejumlah orang untuk mendirikan KSM perlumbungan. Mekanisme kerjanya, pada musim panen orang mengumpulkan padi atau gaplek untuk kemudian dipinjamkan kepada anggota kelompok yang membutuhkan saat musim tanam atau paceklik.
Contoh-contoh yang lain adalah KSM di Pacet (Mojokerto, Jawa Timur), Yosowilangun (Lumajang, Jawa Timur), dan Pakem (Yogyakarta) yang dipicu oleh tingginya bunga pinjaman. Mereka membentuk usaha simpan-pinjam dengan mengumpulkan tabungan anggota dan meminjamkannya kembali kepada anggota dengan bunga yang rendah. Di Lumajang, para petani muda lulusan Taman Karya membentuk KSM dengan modal, ketrampilan, dan kredit dari lembaga penyelenggara kursus. Mereka menyewa dan mengerjakan sebidang tanah, dan sisa hasilnya dipakai untuk pemupukan modal bersama. Para petani di Ngablak (Salatiga, Jawa Tengah) membentuk KSM peternakan dengan memanfaatkan sisa sayuran yang tak terjual, yang merupakan hasil pokok daerah itu. Para petani di Seputih Banyak dan Seputih Surabaya (Lampung Tengah) membentuk KSM pengolahan dan pemasaran gaplek.
Dengan demikian, bermacam-macam kebutuhan dan masalah setempat telah mendorong terbentuknya KSM. Pada awalnya, kebutuhan yang dirasakan hanya berkisar modal dan tenaga, tapi kemudian meningkat pada pengetahuan dan ketrampilan. Dalam perkembangan yang lebih jauh lagi, dirasakan pula kebutuhan akan pembinaan sikap mental, organisasi, dan manajemen.
Indentifikasi masalah yang dihadapi bersama dan keinginan untuk memecahkan masalah itu, telah mendorong anggota kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif bersama. Peluang untuk melakukan kegiatan produktif itu akan tercipta bila kekuatan bersama dipadukan. Modal kecil yang dimiliki oleh masing-masing anggota disatukan, dan modal yang terkumpul dikelola untuk kegiatan bersama. Pada aras inilah peranan LSM sangat dibutuhkan. LSM dapat membantu kelompok melakukan kegiatan pemupukan modal melalui sistem kredit dengan bunga yang rendah. Berkaitan dengan hal itu, peranan LSM adalah mendampingi kelompok binaan dengan jalan:
Pertama, menggali motivasi dan membangkitkan kesadaran anggota kelompok. Dalam penggalian motivasi ini diasumsikan bahwa anggota kelompok, bagaimanapun keadaannya, mempunyai motivasi sendiri. Jadi, yang dilakukan bukanlah memberi motivasi, melainkan membantu menggali motivasi.
Kedua, membantu perkembangan kelompok melalui berbagai pendampingan, seperti pendidikan dan latihan, pemupukan modal dan pengelolaan. Pendampingan ini diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan dan daya serap kelompok.
Ketiga, mengkatalisir hubungan kerjasama antar kelompok, termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga lain demi tercapainya tingkat kemandirian yang tinggi.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 9-16.