Soal Legitimasi LSM
Keberadaan, visi, dan misi LSM memperoleh legitimasi yang kuat dari Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya pasal 28 (hak berserikat) dan pasal 33 (demokrasi ekonomi). Bentuk kelembagaan LSM pun dapat dicari landasan hukumnya sesuai dengan modelnya, misalnya yayasan (Hukum Perdata) atau perhimpunan (UU Keormasan).
Pengakuan bahwa LSM merupakan salah satu agen pembangunan juga terdapat pada Inmendagri No. 8 tahun 1990 yang menyatakan: “LSM merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan fungsi yang diminati oleh lembaga yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih berdayaguna agar LSM, sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan, dapat meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat tersebut, melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasinya demi tercapai sasaran-sasaran pembangunan nasional baik di pusat maupun di daerah”.
Berdasarkan rujukan di atas, cukup jelas kiranya bahwa keberadaan LSM diakui dan dinilai sebagai salah satu aktor yang berperan dalam pembangunan. Sementara itu, sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pun turut mendukung berbagai kesepakatan internasional yang memandang pentingnya pemerintah mendorong partisipasi LSM dalam pembangunan. Kesepakatan internasional itu antara lain: Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992) yang menghasilkan AGENDA 21; Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (Kairo, Mesir, 5-13 Septem-ber 1994); Konferensi Internasional tentang Pembangunan Sosial (Kopenhagen, Denmark, 6-12 Maret 1995) yang menghasilkan 10 komitmen untuk meningkatkan pembangunan dan keadilan sosial melalui penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan integrasi sosial; Konferensi Dunia ke-4 mengenai wanita (Beijing, Cina, 4-15 September 1995) yang membahas 12 Areas of Concern (kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, militer dan konflik lainnya, partisipasi ekonomi, ketimpangan kekuasaan dan pembuatan keputusan, perangkat nasional dan internasional, hak asasi manusia, media massa, lingkungan dan pembangunan, anak perempuan).
Sementara itu, dalam Konferensi Gerakan Non-Blok di Jakarta, 1-6 September 1992, Indonesia telah menyampaikan konsep Self Propelling Growth atau Pembangunan Berkelanjutan dan Mandiri. Konsep tersebut tercantum dalam “Dokumen Final Non-Blok” pada bab Economic And Social Issues butir 51:
“The Heads of State or Government were of the view that is necessary to enhance community self-reliance and people-centred development, as well as local resources development which could relate micro-activities of the community and national macro development policies. They emphasized the need to pursue integrated community development and the ensure better coordination among the development actors. In this regard, the Movement should develop programmes within TCDC which would enhance integrated community development through the promotion of cooperative endeavours and self-propelling growth schemes, with a view to strengthening the national capacities and collective self-reliance of developing countries”.
Self-Propelling Growth Schemes (Skema Pembangunan yang Berkelanjutan dan Mandiri, Skema PBM) adalah upaya pembangunan berpadu yang secara khusus direkayasa untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang berkelanjutan bagi kelompok miskin atau lemah, sehingga kemandirian mereka semakin kuat. Skema PBM juga direkayasa agar dalam setiap proses terjadi interaksi yang positif dan konstruktif antarpelaku pembangunan. Interaksi ini akan membentuk persepsi dan wawasan yang konstruktif sehingga terjadi proses konvergensi yang sinergis dan sibernetis. Skema PBM merupakan skema yang memungkinkan pemerintah, LSM, pengusaha, perguruan tinggi, maupun masyarakat bersatu dalam suatu program bersama bagi peningkatan kemandirian masyarakat.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 7-9.