Perencanaan sebagai Kunci
Kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan di masa lalu disebabkan antara lain karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat.
Kelahiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, yakni diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah.
Otonomi daerah membawa konsekuensi terhadap penguatan peran masyarakat, dan penguatan semangat tata pemerintahan yang baik (good governance). Penguatan peran masyarakat, bukanlah sekedar memberikan kesempatan bagi “peran serta masyarakat”, akan tetapi adalah bagaimana menempatkan masyarakat secara bertahap terlibat pada proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Sedangkan penguatan semangat good governance menuntut semua pelaku pembangunan untuk mengedepankan transparansi, akuntabilitas, meningkatkan profesionalisme, kepedulian terhadap rakyat, dan komitmen moral yang tinggi dalam segala proses pembangunan.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam semua tahapan proses pembangunan sesungguhnya telah disadari Pemerintah jauh sebelum dilaksanakannya otonomi daerah. Pola perencanaan pembangunan melalui mekanisme Proses Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian Pembangunan Desa (P5D) telah mencoba melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, melalui proses perencanaan berjenjang mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional.
Namun keterlibatan masyarakat hanya dalam tataran wacana dan dalam implementasi hanya sekedar pelengkap proses pembangunan. Akibat dari mekanisme perencanaan pembangunan yang tidak aspiratif dan kurang partisipatif, mengakibatkan hasil perencanaan dan proses pembangunan, terutama di tingkat desa, menjadi tidak berkelanjutan. Sebagian besar kegiatan pembangunan merupakan program dari atas (Top down), sangat berorientasi proyek, dan menonjolkan ego sektoral. Padahal pembangunan desa merupakan dasar dari pembangunan nasional, dan partisipasi masyarakat merupakan modal utama keberhasilan pembangunan.
Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif dan berkelanjutan memiliki peran yang strategis dalam kerangka otonomi daerah karena pembangunan desa merupakan dasar dari pembangunan nasional; sementara itu, partisipasi masyarakat merupakan modal utama bagi keberhasilan pembangunan. Karena itu, perencanaan merupakan pintu gerbang untuk mewujudkan agenda kemandirian desa.
Perencanaan Desa mempunyai posisi yang sangat penting, karena jika Desa mempunyai perencanaan sendiri (yang dibimbing dengan kewenangan Desa) maka ia akan tumbuh menjadi kesatuan pemerintahan dan masyarakat yang mandiri. Dengan adanya desa mandiri, maka akan mengurangi beban pemerintah kabupaten dan sekaligus mempercepat tujuan penanggulangan kemiskinan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 16-18.