Desentralisasi Fiskal sampai Desa
Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan. Dibandingkan dengan era sebelum desentralisasi, transfer dari pusat kepada daerah dalam bentuk Dana Perimbangan, melonjak drastis, baik secara proporsi maupun jumlah absolut. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini berkontribusi kepada lebih dari 85% rata-rata penerimaan Kabupaten/Kota, dan sekitar 70% rata-rata penerimaan daerah Provinsi.
Sebagai ilustrasi, ketika memasuki era desentralisasi, jumlah total dana APBD berbagai daerah melonjak menjadi 5 sampai dengan 20 kali lipat dari APBD-nya di tahun-tahun terakhir Orde Baru. Penyebabnya adalah Dana Perimbangan yang sangat signifikan tersebut. Apabila pada tahun anggaran 1999/2000 dana pusat yang didaerahkan baru sekitar Rp 30 trilyun, maka pada tahun 2001 jumlah Dana Perimbangan adalah sebesar Rp 81 trilyun. Jumlah ini dari tahun ke tahun meningkat dengan signifikan hingga mencapai lebih dari Rp 200 trilyun pada tahun 2006, atau rata-rata kenaikan diatas 20% per tahunnya.
Dari keseluruhan dana yang didaerahkan (Dana Perimbangan) tersebut, jumlah terbesar adalah DAU, meskipun ada kecenderungan penurunan proporsi dari sekitar 75% di tahun 2001 menjadi sekitar 60% untuk tahun 2005 dan 2006. Sementara DAK, yang mencerminkan kepentingan pusat di daerah, adalah komponen yang terkecil, walaupun jumlahnya terus diupayakan meningkat yakni dari sekitar 1% di tahun 2001 menjadi 3% di tahun 2006.
Salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari proses desentralisasi dan otonomi desa adalah persoalan pengelolaan keuangan. Kampanye desentralisasi keuangan desa yang banyak disuarakan merupakan momentum untuk menata keuangan yang ada di desa. Momentum ini menyiratkan makna bahwa apa yang sedang terjadi di ranah desa tersebut adalah sebuah proses.
Sebagai sebuah proses, maka desentralisasi desa bagi pemerintah desa dan seluruh stakeholders yang ada harus dimaknai untuk berkonsolidasi dan membangun kesadaran masyarakat agar mampu untuk mandiri (berotonomi). Konsolidasi intensif ini ditandai oleh adanya penataan kelembagaan demokrasi desa dan inventarisasi potensi-potensi desa. Penataan kelembagaan dan inventarisasi potensi desa, bermakna strategis dalam konteks menjemput desentralisasi keuangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. Konskuensi dari desentralisasi keuangan ini bagi pemerintah desa, harus mau serta mampu mengelola keuangan desanya secara transparan, partisipatif dan akuntabel.
Pembahasan tentang desentralisasi keuangan desa, pada dasarnya menyoal seputar kapasitas keuangan yang dimiliki oleh suatu desa. Termasuk dalam uraian ini adalah sumber-sumber keuangan itu dari mana, alokasinya untuk apa, pengelolaannya seperti apa serta kontrol maupun pertanggungjawabannya bagaimana. Dalam konteks desentralisasi keuangan tersebut, tujuan transfer keuangan yang ingin dicapai adalah mengurangi kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang terjadi antar desa, baik dalam konteks pemenuhan fasilitas pelayanan publik maupun penyediaan infrastruktur yang mendorong peningkatan pendapatan perkapita masyarakat desa.
Tujuan transfer keuangan ini akan cepat terealisir, jika keleluasaan (discretion) diberikan kepada desa. Keleluasaan desa bisa mewujud kalau kemampuan keuangan desa yang dimiliki kuat, dan dalam realitasnya harus ditopang oleh pemerintahan di atasnya (pemerintah kabupaten). Bentuk penguatan pemerintah kabupaten terhadap kemampuan keuangan desa adalah melalui transfer keuangan ke desa. Transfer keuangan yang mencerminkan desentralisasi keuangan dan keleluasaan desa tersebut adalah formulasi perimbangan dana dalam bentuk alokasi dana desa (ADD).
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 13-16.