Penerbitan LSM, Potensi yang Tak Sepenuhnya Tergarap
Buku Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S merupakan contoh sukses penerbitan buku oleh organisasi-organisasi non-pemerintah. Cetakan pertama buku yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) ini, sebanyak 3.000 eksemplar, ludes hanya dalam waktu sebulan. Cetakan kedua sebanyak 5.000 eksemplar kembali habis dalam waktu singkat. Kini, buku itu telah dicetak ulang ketiga kalinya sebanyak 3.000 eksemplar dan masih sambutan hangat di pasar.
Kami menerbitkannya tanpa didukung lembaga dana. Saat ini jumlah buku yang tersisa tinggal kira-kira 400 eksemplar dan kebanyakan tinggal edisi hard cover. Kemungkinan kami akan kembali mencetak ulang,”kata Joseph Adi Prasetyo, pemimpin penerbitan buku ISAI, organisasi non-pemerintah yang didirikan pada tahun 1995 oleh sejumlah jurnalis dan intelektual, menyusul pembredelan majalah berita Tempo, Detak, dan Editor.
Buku-buku yang diterbitkan oleh LSM menambah semarak dunia perbukuan di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir. Organisasi-organisasi non-pemerintah umumnya menyodorkan tema-tema penerbitan yang berpihak, menyimpang dari arus utama tema-tema yang ditawarkan penerbit komersial, dan lebih spesifik. Kalyanamitra, organisasi non-pemerintah untuk menggalang gerakan perempuan, antara lain menerbitkan edisi terjemahan novel Maxim Gorki Ibunda dan disertai Saskia Wirienga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Elsam baru-baru ini merilis buku esai foto Raharja Waluya, Jati Mereka yang Dipisahkan, berisi rekaman keluarga korban penghilang paksa oleh rezim Soeharto. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) menerbitkan buku Matinya Bantaqiah, Menguak Tragedi Beutong Ateuh. Jurnal Perempuan menawarkan judul tokoh perempuan Sumatera Barat, Rohana Koedoes, dan dalam waktu dekat akan menerbitkan buku kumpulan tulisan Feminis Laki-laki.
ISAI merupakan salah satu organisasi non-pemerintah yang paling gencar menerbitkan buku. Pada masa Soeharto, organisasi ini memperkenalkan konsep penerbitan buku cepat yang menggarap tema-tema liputan, seperti disajikan majalah hanya saja diterbitkan dalam bentuk buku. Buku cepat merupakan salah satu upaya untuk menyiasati rezim pers yang dikontrol karena dengan diterbitkan dalam bentuk buku, risiko paling banter buku bersangkutan dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. “Buku cepat hanya untuk menembus kebekuan arus informasi saat itu. Sekarang penerbitan buku cepat tidak relevan lagi karena ruang kebebasan pers telah terbuka,”kata Joseph.
Pada masa itu penerbitan buku cepat mendapat sambutan hangat di masyarakat. Ketika media massa tiarap, muncul buku ISAI, seperti Megawati Soekarnoputri: Langkah Pantang Surut, Bayang-bayang PKI, Sri Bintang Pamungkas: Saya Musuh Soeharto, Pers Memihak Golkar, dan banyak judul lain yang seolah-olah menantang rezim represif saat itu. Buku Bayang-bayang PKI dan Saya Musuh Soeharto akhirnya memang dicekal oleh rezim Soeharto.
Puluhan buku telah diterbitkan oleh ISAI, meski sejak tahun 1999 program penerbitan cepat ditiadakan. Belakang buku-buku tersebut dikelola oleh PT Media Lintas Inti Nusantara (Melin) yang menangani penerbitan dan distribusi buku. Selain itu, perusahaan ini juga mengelola kantor berita radio 68H. sekitar 60 persen saham PT Melin dimiliki oleh koperasi karyawan dan 40 persen lainnya oleh ISAI. Penerbitan buku PT Melin meski kemudian berorientasi profit, tetapi masih menjanjikan satu dari lima buku yang diterbitkan dipergunakan untuk misi-misi nonprofit.
Elsam yang diketuai oleh pengacara Abdul Hakim Garuda Nusantara cukup gencar menerbitkan buku-buku hukum dan advokasi masyarakat sejak tahun 1994. Rata-rata tiap tahun Elsam meluncurkan empat buku. Saat itu lembaga tersebut telah menyumbangkan sekitar 36 judul buku ke masyarakat. Buku-buku yang diterbitkan sebagian merupakan hasil investigasi, panduan pelatihan aktivis, kumpulan makalah, maupun terjemahan.
Otto Adi Yulianto, Ketua Bidang Pengelolaan Informasi Elsam, mengemukakan bahwa buku-buku yang diterbitkan lembaga itu merupakan bagian dari program yang digarap Elsam. Tiap program yang dibiayai oleh lembaga donor biasanya menyertakan anggaran untuk penerbitan buku. “Mungkin ada sedikit profit, tetapi itu bukan tujuan. Bahkan ada juga buku-buku yang dibagikan secara gratis,”kata Otto.
Rata-rata buku yang diterbitkan Elsam dicetak 2.000 eksemplar. Sekitar 1.500 di antaranya diedarkan melalui distributor dengan diskon 50 persen. Sisanya didistribusikan sendiri, antara lain, untuk perpustakaan-perpustakaan LSM atau aktivis dengan diskon 50 persen, dan sebagian lagi dibagikan kepada tokoh-tokoh yang sering diwawancara oleh media massa.
LSPP, organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan media massa, menerbitkan lebih dari 30 buku bidang pers, media komunitas, jurnalisme damai, hak asasi manusia, dan sejumlah topik lainnya. “Penerbitan buku sekaligus merupakan bentuk pertanggungjawaban kami kepada publik,”kata Rusdi Marpaung, Direktur Eksekutif LSPP.
Yayasan Jurnal Perempuan juga memberikan warna tersendiri dalam penerbitan buku di kalangan LSM. Organisasi ini selain rutin menerbitkan Jurnal Perempuan, juga tengah mengembangkan penerbitan buku-buku tentang perempuan. Setelah Rohana Koedoes, organisasi lainnya dari berbagai daerah. “Visi dan misi kami dalam penerbitan buku dan jurnal sangat jelas: pemberdayaan perempuan melalui media,”kata Nur Iman Subono, aktivis Jurnal Perempuan.
Institute For Social Transformation (Insist) Yogyakarta akhirnya menjadi penerbit buku bertolak dari kebutuhan untuk melayani kebutuhan bahan bacaan bagi para aktivisnya. Kini, sasaran organisasi itu tidak hanya para aktivis dan mahasiswa, tetapi masyarakat umum. Misinya, kata Direktur Insist Mansour Fakih, lebih untuk meningkatkan daya kritis dan proses humanisasi, proses bagaimana masyarakat memahami akan sesuatu.
Insist hampir tiap minggu mengeluarkan buku terbitan baru, selama ini menerbitkan buku paling kiri (contohnya Marxis bagi Pemula), buku Islam sampai buku teologi pembebasan. Begitu pentingnya peran buku bagi kepentingan membuka mata hati masyarakat, Insist bahkan berpendapat kalau perlu buku itu gratis, atau buku harus murah. Kalaupun harus ada uang yang dikeluarkan masyarakat, itu semata-mata hanya untuk mengganti ongkos produksi saja. “Yang penting agar selalu ada biaya untuk mencetak buku baru,”lanjutnya.
Alhasil berdiri tahun 1996, dengan kegiatan utama memberikan pelatihan bagi para aktivis dari berbagai daerah. Sejalan dengan kegiatan tersebut, Insist menerbitkan jurnal ilmu sosial transformatif Wacana sebagai alat komunikasi bagi sesama aktivis. Ada juga buku-buku untuk mereka baca (sebagai penambah pengetahuan) dan manual training berupa buku latihan advokasi pendidikan, politik, dan jender misalnya. Sebenarnya, kata Direktur Insist Yogyakarta Mansour Fakih LSM-nya, cenderung untuk mencari buku bacaan dari luar, tetapi fakta sulit sekali mendapat buku sesuai harapan. Akibatnya, Insist menerbitkan sendiri buku-buku bacaan yang di belakang hari justru banyak dicari mahasiswa dan aktivis.
Salah satu contoh buku terbitan Insist adalah Imagine Society karya Ben Anderson yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setelah Soeharto tumbang. Edisi asli buku ini telah mengalami cetak ulang sebanyak Sembilan kali dan diterjemahkan dalam 25 bahasa. Ben sempat kecewa dengan penerjemahan buku ini sehingga dicetak ulang dan dieditnya sendiri. Bahkan, hak cipta edisi Indonesia buku ini diserahkan pada Insist karena sejumlah aktivisnya adalah murid Ben.
Berbeda dengan para penerbit rumahan yang sering melabrak hak cipta, buku-buku terbitan LSM pada umumnya dipublikasikan dengan izin penerbit atau penulisnya. Dari segi substansi karya-karya terjemahan juga lebih dapat dipertanggungjawabkan. Sejumlah LSM bahkan menempuh cara mengirimkan naskah terjemahan buku-buku yang ditulis oleh para Indonesia kepada penulisnya untuk diedit ulang.
Namun, potensi yang dimiliki LSM sebenarnya belum banyak tergarap. Betapa banyak buku yang bisa dihasilkan andaikata para aktivis LSM yang jumlahnya di Tanah Air tidak kurang 4.000 institusi itu mempublikasikan hasil investigasi dan berbagai kegiatan yang dilakukannya, yang tidak tersentuh oleh media massa.
Marpaung mengakui, para aktivis LSM pada umumnya masih memandang penerbitan buku sebagai usaha sampingan. Karena itu, menurut dia, akan lebih baik bila para aktivis LSM dibekali dengan kemampuan menulis sehingga kegiatan mereka dapat disebarluaskan kepada publik. Aktivis LSM, kata Joseph, masih memandang penerbitan buku sebagai bagian dari proses pelaporan sehingga kadang-kadang mereka tidak sempat mengolah kembali hasil laporan tersebut sebagai draft buku.
“Tidak banyak aktivis NGO yang mampu menulis sehingga banyak buku terbitan LSM yang disub editkan kepada wartawan”ujarnya.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Penerbitan LSM, Potensi yang Tak Sepenuhnya Tergarap), Penerbit: Kompas, Halaman: 236-242.