Latar

Semua negara kini tengah berada dalam turbulensi, hampir tanpa terkecuali, dihantam krisis energi dan bahan bakar, pangan, air, iklim, sistem keuangan, ekonomi dll. Indonesia bahkan harus mengalami tambahan krisis-krisis lain; krisis kultural, krisis integrasi, krisis kejujuran dan integritas serta krisis kepemimpinan. Kehadiran negara akhirnya hanya samar-samar dirasakan. Dunia usaha semakin tamak mengejar pundi-pundi keuntungannya. Jurang kemakmuran makin lama makin lebar dan dalam.

Dan di mana peran masyarakat sipil -sektor terakhir yang harusnya menyuarakan kepentingan nurani rakyat- ketika semua kondisi ini terjadi? Ternyata masyarakat sipil pun, makin rapuh; sama sekali tidak siap merespon perubahan dinamika yang begitu cepat terjadi. Lengkaplah sudah.


Situasi saat ini membuat masing-masing dari kita merasa gelisah dan berpikir keras. Namun, gelisah dan berpikir keras saja, kita tahu, tentunya tidak akan membawa perubahan apapun. Kita harus bersama-sama berani mengambil peran dan mengembangkan inisiatif-inisiatif baru. Ya, mengambil peran. Dan mengambil inisiatif.

Inisiatif individu akan berkembang menjadi kesepakatan tujuan bersama. Ketika tujuan telah berkembang menjadi milik bersama, maka sesungguhnya, mulai terciptalah bentuk kelembagaan yang paling dasar. Pembentukan sebuah organisasi menjadi titik awal pelembagaan peran dan inisiatif bersama demi sebuah cita-cita bersama.

Memenangkan sebuah tujuan membutuhkan kelihaian penyusunan strategi. Alih-alih menetapkan sasaran, memilih pendekatan dan alat intervensi; organisasi sering terjebak untuk buru-buru meloncat ke area pengaturan relasi input-output dan penjadwalan kegiatan semata. Logical framework analysis dianggap sudah mewakili segalanya, padahal ada lubang besar di dasarnya yang kita biarkan menganga.

Pencapaian tujuan membutuhkan dukungan sumberdaya. Tapi, sejatinya, bagaimana kita harus memandang relasi ‘keterbutuhan’ ini? Apa yang menjadi sumberdaya utama dalam upaya mengawal inisiatif bersama? Sumberdaya tidak bisa lagi hanya didefinisikan sebagai dukungan dana. Partisipasi dan keterlibatan publik, bahkan kini telah jauh lebih berharga. Kemitraan, jejaring, aliansi ataupun sindikasi telah menjadi tuntutan strategi.

Saat upaya mobilisasi berbuah terkumpulnya sekian jenis dan bentuk sumberdaya, maka kita akan dipaksa mempelajari seni pengelolaan energi, bukan sekedar pemahaman atas teori text book tentang manajemen. Seni kelola butuh penyelarasan terhadap irama kehidupan, dan seni kelola pasti akan menghasilkan sentuhan yang ‘unik’, sesuai dengan karakteristik masing-masing organi(sme)sasi. Mengenalinya membutuhkan kepekaan.

Energi sendiri adalah kekal. Yang terjadi adalah perubahan dari satu atau sekumpulan energi menjadi energi lain. Perubahan-perubahan yang berhasil dikreasi ini seharusnya membawa kita semakin dekat dengan visi organisasi. Mengukurnya sesekali, membuat kita memiliki daya refleksi atas apa yang sudah berhasil kita perbuat selama ini, dengan tetap punya daya koreksi kritis atas mimpi-mimpi awal pembentukan organisasi.

Keseluruhan siklus ‘kebersamaan’ ini, layak membawa kita untuk sampai pada tahap pembelajaran diri, yang kemudian sepantasnya juga menjadi proses pembelajaran ‘bersama’. Kemampuan menjadi si pembelajar akan ditentukan seberapa jauh kita mampu mengamati proses dan mengimajinasikan ikatan-ikatan dan simpul pengetahuan di dalamnya. Pengetahuan akan membawa kita menjadi manusia baru, yang sayangnya pada saat yang sama, akan menghadirkan kegelisahan baru sekaligus dorongan kebutuhan akan inisiatif baru.

Siklus pertumbuhan hanya akan dapat terjadi,

jika kita mampu mengikat makna dalam keseluruhan proses daurnya.

Pertumbuhan adalah proses perubahan. Walau kita tahu bahwa yang abadi adalah perubahan itu sendiri, namun kegamangan dan keengganan selalu menyertai. Pemicu perubahan harus dikenali tanda-tandanya. Dan oleh karena dia tak terelakkan, maka dia harus dipahami dengan apa adanya, lalu tuntutannya harus dijawab sekuatnya. Berbahagialah siapa yang mampu memanfaatkan dorongan perubahan menjadi momentum pertumbuhan. Itu jelas sebuah kemewahan.

Demikianlah.