Karakteristik LSM
LSM sejak kehadirannya sangat bervariasi atau beraneka ragam dalam isu. Dan programnya dapat dilihat dari profil lembaga yang diembannya, seperti visi, misi, tujuan, fungsi, struktur, bentuk lembaga, serta bidang garapan (program).
Dalam sejarah kelahiran dan perkembangannya, LSM memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Independen, artinya tidak berafiliasi kepada sebuah kekuatan politik tertentu; 2) Nirlaba, artinya non-profit atau tidak mencari keuntungan, dan mengutamakan kepentingan masyarakat; 3) Sukarela, lebih menyediakan waktu untuk kepentingan lembaga; 4) Non-birokratis, tidak melalui prosedur yang berbelit-belit; 5) Komunitas kecil, terdiri dari beberapa orang saja, dilihat dari struktur dan ruang lingkup dan; 6) Lahir dan dekat dengan lapisan masyarakat bawah (grassroots).
Philip Eldridge (1995) mengajukan tiga model hubungan LSM dengan negara, dilihat dari orientasi LSM dalam menjalankan berbagai kegiatannya, yaitu: 1) High Level Partnership: Grassroots Development. Karakteristik jenis ini ditandai hubungan yang sangat partisipatif, mengutamakan kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan dibanding dengan kegiatan yang bersifat advokasi, kurang memiliki minat pada hal yang bersifat politis, tapi mempunyai perhatian yang besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan selalu memelihara dukungan pada tingkat grassroots; 2) High Level Politics: Grassroots Mobiliziation. Karakteristik jenis ini cenderung hanya aktif dalam kegiatan politik dan umumnya bersifat advokatif terutama untuk mendukung peningkatan kesadaran politik di tingkatan masyarakat; 3) Empowerment at the grassroots. Karakteristik jenis ini cenderung memusatkan perhatian pada pemberdayaan masyarakat pada tingkat grassroots, dan tidak berminat mengadakan kontak dengan pemerintah dan umumnya tidak mau terlibat dalam kegiatan berskala besar.
Bagi kalangan LSM, ada hal yang harus mendapat perhatian serius, bahwa kehadiran LSM sering kali mengundang paradoks. Hal tersebut bisa dicermati pada kinerja LSM yang kadang bertolak belakang dengan semangat akuntabilitas, transparansi dan partisipasi yang terkandung dalam good governance. Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat dari:
- Akuntabilitas. Ketika LSM menyuarakan bahwa setiap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, misalnya soal keuangan, maka LSM yang menggunakan dana pemerintah dan sumber-sumber lain seharusnya memberanikan diri mempertanggungjawabkan hal serupa kepada komunitasnya dan publik.
- Transparansi. Ketika LSM menuntut pengelolaan pemerintahan memuat transparansi, sesuai dengan semangat good governance yang diperjuangkannya, hal tersebut harus mendapat perhatian. Misalnya saat pemerintah daerah bersama DPRD membahas masalah RAPBD dengan semangat transparan, terbuka, dan menjadi hak dari publik untuk bisa mengakses informasi yang diinginkan dari proses tersebut. Saat yang sama sebaiknya LSM menanamkan dan mampu membudayakan prinsip tersebut pada komunitasnya, jika perlu kepada publik.
- Partisipasi. Bagi LSM, partisipasi adalah salah satu prasyarat mewujudkan good governance. Oleh karena itu, keterlibatan publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi sangat penting. Namun, yang perlu dikritisi, apakah LSM melakukan prinsip serupa dalam perencanaan program kelembagaannya? Misalkan, mengkonsultasikan kepada publik apa yang akan dilakukan untuk mereka, di mana lokasinya, kapan dilaksanakan, siapa yang diajak, dan seperti apa mekanismenya?
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 77-79.