Apa itu Riset Aksi Partisipatoris (RAP)?

Okt 30, 2013 1 Comment by

RAP adalah kegiatan riset yang dilaksanakan secara partisipatif di antara masyarakat warga dalam suatu komunitas atau lingkup sosial yang lebih luas untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif (perubahan kondisi hidup yang lebih baik). Dengan demikian, sesuai istilahnya, RAP memiliki tiga pilar utama, yakni metodologi riset, dimensi aksi, dan dimensi partisipasi. Artinya, RAP dilaksanakan dengan mengacu metodologi riset tertentu, harus bertujuan untuk mendorong aksi transformatif, dan harus melibatkan sebanyak mungkin masyarakat warga atau anggota komunitas sebagai pelaksana RAP-nya sendiri.

Metodologi RAP sesungguhnya berasal dari kerangka metodologi riset-riset konvensional lain. Perbedaannya dari riset-riset konvensional adalah bahwa peneliti/praktisi RAP tidak memisahkan diri dari situasi masyarakat yang diteliti, melainkan melebur ke dalamnya dan bekerja bersama warga dalam melakukan RAP. RAP membahas kondisi masyarakat berdasarkan sistem makna yang berlaku di situ, bukan menurut disiplin ilmu tertentu di luar budaya masyarakat tersebut. RAP tak bisa lagi berposisi “bebas nilai” dan tidak memihak seperti yang dituntut ilmu pengetahuan sebagai syarat obyektivitas, melainkan harus memihak pada kelompok yang lemah, miskin, dirugikan, dan menjadi korban.

Selain itu, RAP tidak berhenti pada publikasi hasil riset (laporan) dan rekomendasi untuk riset berikutnya, melainkan berorientasi pada perubahan situasi, peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat warga untuk memahami dan mengubah situasi mereka menjadi lebih baik. Singkatnya, RAP sungguh-sungguh mengaktualisasikan kegiatan riset sebagai langkah mengambil bagian dalam proses penyadaran dan pemberdayaan masyarakat seperti yang diteladankan Paulo Freire dari Brasil sejak tahun 1960-an dan para pengikutnya yang terus berkembang dewasa ini.

Paradigma dan Pendekatan RAP

RAP lebih didasari paradigma fenomenologis, atau seringkali pula disebut paradigma interpretivisme, subyektifisme, atau definisi sosial. Paradigma ini didasari asumsi bahwa realitas sosial berlaku secara khas, subyektif dan kontekstual secara ruang dan waktu, sehingga peneliti perlu memahaminya dengan cara menginterpretasikan fenomena tersebut secara mendalam dalam konteksnya yang khas, tanpa perlu merisaukan representasinya atas fenomena lain yang sejenis, yang biasa dilakukan dengan analisis statistika sesuai paradigma fungsionalisme, obyektifisme atau fakta sosial (bdk. Sanapiah Faisal, “Filosofi dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif”, dalam Burhan Bungin, 2003:3-17.). Pendekatan ini dipilih karena situasi dan masalah yang diteliti bukan berujud sesuatu yang sangat terukur secara kuantitatif, melainkan situasi dan masalah yang masih sedang berkembang dan memiliki beragam aspek sosial.

Berdasar paradigma tersebut, pendekatan RAP sesungguhnya lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Namun, hal ini tidak menghalangi dimanfaatkan data-data yang bersifat kuantitatif dan metode-metode pengumpulan dan analisis data kuantitatif dalam RAP, dengan catatan kuantifikasi situasi sekadar sebagai alat bantu dan tidak boleh mereduksi fenomena sosial yang faktual terjadi dan dipahami melalui RAP itu sendiri.

 

Prinsip-Prinsip RAP

Terdapat sejumlah prinsip yang memandu pelaksanaan RAP

Pertama, prinsip Partisipasi. Prinsip ini mengharuskan RAP dilaksanakan separtisipatif mungkin, melibatkan siapa saja yang berkepentingan dengan situasi yang sedang diteliti dan perubahan kondisi yang lebih baik. Dengan prinsip ini, RAP dilakukan bersama di antara masyarakat warga melalui proses berbagi dan belajar bersama, untuk memperjelas dan memahami kondisi dan permasalahan mereka sendiri. Prinsip ini juga menuntut penghargaan pada setiap perbedaan yang melatarbelakangi warga saat terlibat dalam RAP, termasuk penghargaan pada kesetaraan jender (terlebih jika dalam suatu komunitas warga perempuan belum memperoleh kesempatan yang setara dengan laki-laki untuk berpartisipasi sosial). Berbeda dengan riset konvensional, tim peneliti dalam RAP bertindak sebagai fasilitator terjadinya proses riset yang partisipatif di antara warga, bukan tim peneliti yang meneliti kondisi komunitas dari luar sebagai pihak asing.

Kedua, prinsip Orientasi Aksi. Prinsip ini menuntut seluruh kegiatan dalam RAP harus mengarahkan masyarakat warga untuk melakukan aksi-aksi transformatif yang mengubah kondisi sosial mereka agar menjadi semakin baik. Oleh karena itu, RAP harus memuat agenda aksi perubahan yang jelas, terjadwal, dan konkret.

Ketiga, prinsip Triangulasi. RAP harus dilakukan dengan menggunakan berbagai sudut pandang, metode, alat kerja yang berbeda untuk memahami situasi yang sama, agar pemahaman tim peneliti bersama warga terhadap situasi tersebut semakin lengkap dan sesuai dengan fakta. Setiap informasi yang diperoleh harus diperiksa ulang lintas kelompok warga/elemen masyarakat (crosscheck). Prinsip ini menuntut RAP mengandalkan data-data primer yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti bersama warga di lapangan. Sedangkan data-data sekunder (riset lain, kepustakaan, statistik formal) dimanfaatkan sebagai pembanding.

Keempat, prinsip Luwes atau Fleksibel. Meskipun RAP dilakukan dengan perencanaan sangat matang dan pelaksanaan yang cermat atau hati-hati, peneliti bersama warga harus tetap bersikap luwes menghadapi perubahan situasi yang mendadak, agar mampu menyesuaikan rencana semula dengan perubahan tersebut. Bukan situasinya yang dipaksa sesuai dengan desain riset, melainkan desain riset yang menyesuaikan diri dengan perubahan situasi.

Metode dan Alat Kerja RAP

Secara umum, metode RAP terbagi dalam dua tipe, yakni Eksplanatif dan Tematik. RAP Eksplanatif memfasilitasi komunitas/masyarakat untuk berpartisipasi dalam menganalisis kebutuhan, permasalahan, dan solusinya sebelum merencanakan aksi transformatif. Sedangkan RAP Tematik menganalisis program aksi transformatif yang sudah berjalan, sebagai alat evaluasi dan pengamatan (monitoring).

Dengan memanfaatkan kekayaan riset-riset konvensional yang masih terus berkembang, RAP melengkapi diri dengan banyak metode dan alat kerja. Untuk mengumpulkan data lapangan dan menganalisisnya, RAP memiliki metode berbagi cerita (sharing), wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD). Dalam FGD misalnya, partisipan atau informan tidak sebatas berdiskusi dalam posisi duduk, melainkan bisa berdiskusi dalam dinamika tertentu dengan menggunakan alat kerja tertentu, misalnya pemetaan gagasan (mind mapping), diagram pohon masalah (problem tree), grafik kecenderungan (trend lines), matriks peringkat atau skala prioritas (ranking), diagram keterkaitan/diagram afinitas (linkage diagram), dsb.

Bahkan, penggalian informasi dari partisipan bisa dilakukan melalui permainan peran (role-play). Dalam dinamika tersebut, partisipan/informan berpeluang lebih besar mengungkapkan pengalaman, gagasan, dan refleksi mereka secara lebih terbuka karena terbantu dengan sejumlah alat kerja yang memudahkan pengamatan (visual) dan kegiatan yang dinamis/tidak kaku. Dinamika tersebut juga memudahkan fasilitator untuk mendorong sebanyak mungkin partisipan/informan berpartisipasi lebih aktif karena menggunakan kegiatan dan alat kerja yang bisa dipilih atas dasar kesesuaiannya dengan latar belakang budaya, pendidikan, dan pekerjaan partisipan/informan.

Sumber: Kelas Kyutri, Kamis, 4 Oktober 2013.

Pemantauan dan Evaluasi, Penilaian Kinerja

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.

One Response to “Apa itu Riset Aksi Partisipatoris (RAP)?”

  1. Anonymous says:

    Sukses terus LingkarLSM, Semangat!

Leave a Reply