Praktik Tata Pengurusan Internal Lembaga Anggota Konsil LSM Indonesia

Jun 09, 2014 No Comments by

Ke-18 lembaga yang menjadi bahan analisis dan contoh dalam tulisan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Sebanyak 50% berbentuk yayasan, 39% berbentuk perkumpulan dan 11% berbentuk lainnya. Dari segi usia, 72,2% organisasi berusia lebih dari 10 tahun, dan 27,8% kurang dari 10 tahun. Kesemuanya tersebar di sepuluh provinsi di Indonesia.

Ke-18 lembaga tersebut mewakili dua kategori tingkat penerapan Kode Etik; sembilan lembaga termasuk kategori ‘sesuai’ (compliant) dan sembilan lembaga termasuk kategori ‘belum sesuai’ (non-compliant). Pengambilan dua kategori sebagai sampel bertujuan untuk melibat apakah ada perbedaan dalam tata pengurusan organisasi berkorelasi dengan tingkat akuntabilitas mereka (kesesuaian dengan Kode Etik).

Dalam praktik berorganisasi, ke-18 LSM tersebut mengembangkan tata pengurusan internalnya dengan cara yang beragam. Keragaman tersebut menjadi pembahasan sebagai berikut.

 

Kelengkapan AD/ ART dan SOP

Kelengkapan AD/ ART organisasi adalah satu indikator penerapan akuntabilitas tata pengurusan yang baik. Karena AD/ ART adalah aturan dasar organisasi dan menjadi landasan seluruh tindakan dan pengambilan keputusan, sehingga organisasi wajib mentaati AD/ ART secara konsisten.

Temuan assessment memperlihatkan bahwa semua lembaga memiliki AD/ART. Dari jumlah tersebut, hanya 61% yang menjalankan AD/ART; sebagian besar merupakan lembaga-lembaga yang memiliki masuk kategori Sesuai (compliant) dengan Kode Etik. Meski demikian, sebagian dari lembaga yang masih belum sesuai (non-compliant) dengan Kode Etik juga sudah mematuhi ketentuan AD/ART.

Dalam hal kelengkapan SOP, semua organisasi yang sudah Sesuai (compliant) dengan Kode Etik Konsil memiliki SOP dan mematuhinya dalam operasional sehari-hari organisasi. Di antara lembaga yang belum sesuai (non-compliant) dengan Kode Etik Konsil, 78% tidak memiliki SOP (hanya 22% yang mempunyai SOP) tetapi hanya sebagian yang benar-benar mematuhi SOP lembaga. Meskipun SOP merupakan aturan manajemen dan keuangan yang sifatnya sangat operasional, namun jika mengacu kepada Kode Etik Konsil, SOP tetap harus mendapatkan persetujuan dari board yang berwenang dalam membuat kebijakan strategis dan pengawasan lembaga. Kendati di satu sisi SOP bersifat teknis operasional, namun karena ketentuan dalam SOP mengatur eksekutif, maka potensi konflik kepentingan cukup besar jika pengesahan SOP menjadi kewenangan dari eksekutif. Pemisahan antara yang membuat aturan/ kebijakan dan yang menjalankannya adalah salah satu prasyarat tata pengurusan yang baik. Lembaga-lembaga yang tidak memiliki SOP, kemungkinan besar mengalami hambatan dalam pengawasan operasional organisasi oleh board, karena sebagian tidak memiliki board (yang hanya ada eksekutif) dan sebagian lagi memiliki board tetapi tidak aktif (sleeping board).

 

Periodisasi Kepengurusan

Praktik demokrasi yang paling mendasar dan harus diterapkan oleh LSM adalah melakukan rotasi kepemimpinan atau kepengurusan secara periodik untuk menghindari terjadinya praktik otoritarianisme yang sesungguhnya sangat ditentang oleh LSM. Kontrol internal dengan cara pembatasan waktu ini didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan cenderung korup, sedangkan kekuasaan yang mutlak pasti korup (Halim, 2006). Oleh karena itu, board dan eksekutif idealnya memiliki jangka waktu dalam menjabat. Periodisasi ini bukan hanya supaya terjadi pergantian kepengurusan, namun yang tidak kalah penting merupakan proses kaderisasi dalam lembaga. Hampir dapat dipastikan bahwa di lembaga yang tidak melakukan pergantian kepengurusan, kaderisasinya terhenti.

LSM umumnya memiliki aturan yang bervariasi mengenai periodisasi kepengurusan dalam AD mereka, biasanya antara dua sampai lima tahun. Beberapa LSM yang berbadan hukum yayasan umumnya menetapkan periode kepengurusan lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan sesuai dengan pasal 32 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Namun jika melihat UU No. 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001, jangka waktu kepengurusan yayasan hanya dibatasi periodenya (yaitu maksimal 5 tahun) tapi dapat dipilih kembali untuk seterusnya. Hal ini merupakan kemunduran dari UU sebelumnya, karena memungkinkan dewan pengawas tidak pernah diganti.

Hasil assessment memperlihatkan bahwa semua lembaga yang sudah menerapkan Kode Etik Konsil secara penuh, memiliki periodisasi empat tahun masa kepengurusan dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Aturan tersebut dilaksanakan secara konsisten. Di antara LSM yang belum sesuai Kode Etik Konsil, sebagian besar tidak memiliki aturan atau ada yang memiliki aturan tentang periodisasi, tapi masa jabatan lebih dari delapan tahun.

Disarikan dari buku: Akuntabilitas Jurnal Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil, Penulis: Lily Pulu, Hal: 37-40.

Perencanaan, Rencana Strategis

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Praktik Tata Pengurusan Internal Lembaga Anggota Konsil LSM Indonesia”

Leave a Reply