Pendidikan untuk Melahirkan Generasi Baru (Bagian 2/4)

Okt 17, 2012 No Comments by

Ketika gerakan reformasi merebak pada tahun 1977-’78, seluruh rakyat Indonesia berharap agar segera terjadi perubahan-perubahan yang berarti dalam kahidupan mereka. Lima tahun setelah reformasi berjalan, dan kehidupan rakyat ternyata tidak juga bertambah baik, mulailah terdengar pendapat, bahwa Indonesia harus melahirkan “generasi baru” untuk dapat keluar dari berbagai jenis krisis yang melilit dirinya selama ini.

Suara ini makin lama kedengaran makin lantang, dan bahkan ada yang melontarkan pendapat, bahwa bila perlu Indonesia harus berani melakukan “loncatan generasional”. Artinya, Indonesia harus berani “mengorbankan” suatu generasi, yaitu mengabaikan sepenuhnya generasi tadi, tidak usah memperhitungkannya dalam penyusunan dan pengembangan kekuatan baru dalam kehidupan bangsa.
Apakah gagasan-gagasan di atas cukup sehat, cukup realistik, dan dapat dilaksanakan?

Sukar untuk menjawab pertanyaan ini secara definitif. Bagi saya, yang jelas ialah bahwa gagasan di atas mencerminkan masih adanya optimisme dalam masyarakat kita. . Ini lebih baik daripada gagasan-gagasan yang pesimistik. Apakah cukup realistik? Sukar untuk dijawab, karena gagsan-gagasan tadi masih “mentah”, belum cukup diolah. Jadi belum dapat dikatakan, apakah gagasan untuk melahirkan generasi pembaharu ini cukup realistik atau tidak, dan dapat dilaksanakan atau tidak.

Pendidikan Sebagai Faktor Perantara (Intervening Factor)

Di sementara kalangan terdapat pendapat, bahwa generasi-generasi pembaharu tadi lahir berkat pendidikan yang mereka terima. Menurut pandangan ini, Generasi 1908 lahir berkat pendidikan yang mereka terima di berbagai jenis Sekolah Kedokteran, dari Sekolah Doktor Jawa sampai ke sekolah STOVIA (School Ter Opleiding Vann Indische Artsen), yaitu Sekolah Dokter yang lebih modern daripada Sekolah Dokter Jawa. Menurut pandangan ini pula, Generasi 1928 lahir berkat pendidikan yang sangat menekankan humanisme, yaitu program pendidikan liberal yang dilaksanakan Pemerintah Belanda setelah Kerajaan Belanda menerima prinsip-prinsip ethische politiek. Berkat pendidikan yang berwatak humanistik ini generasi pembaharu waktu itu mampu melihat masalah peri kemanusiaan dalam konteks global. Mereka melihat pula kenyataan, bahwa kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme menghalang-halangi terwujudnya masyarakat yang manusiawi di seluruh tanah jajahan, wilayah Hindia Belanda. Begitu juga halnya dengan Generasi 1945.Menurut pandangan ini Generasi 1945 ini lahir berkat meluasnya semangat humanisme dan nasionalisme dalam sekolah-sekolah di Hindia Belanda pada akhir zaman kolonialisme Hindia Belanda .

Saya pribadi lebih cenderung mengikuti pandangan yang agak berbeda. Yaitu pandangan yang menganggap, bahwa berbagai generasi pembaharu lahir karena suasana zaman. Suasana zaman atau “semangat zaman” (Zeitgeist) bagi orang-orang yang peka terhadap nuansa-nuansa dalam dinamika kultral (nuances within cultural dynamics) lalu terasa mengandung panggilan zaman, dan orang-orang yang peka nilai ini lalu berusaha untuk memenuhi “panggilan zaman” atau “menjawab tantangan zaman” ini.

Dalam kehidupan politik, Generasi-Generasi 1908, 1928, dan 1945 lahir karena pendidikan yang mereka terima membuat mereka memahami semangat serta panggilan zaman yang hidup dalam zaman mereka masng-masing.. Dalam bidang seni dan budaya, dari seni sastra dan seni tari, terus ke seni teater sampai ke seni film, berbagai gerakan pembaharuan lahir berkat kehadiran tokoh-tokoh yang memahami semangat serta panggilan zaman yang setiap kali muncul dalam perjalanan kehidupan bangsa. Dan kemampuan memahami semangat zaman, memahami panggilan zaman ini dimungkinkan oleh karena meluasnya program pendidikan yang berwatak humanistik yang diterima oleh para pelopor gerakan pembaharuan dalam zaman mereka masing-masing. Jadi, kalau pendidikan dilihat dalam konteks pandangan ini, maka peranan pendidikan dalam kelahiran suatu generasi pembaharu bersifat tidak langsung (indirect).. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, tetapi bukan faktor yang menentukan.

Untuk memperbaharui kehidupan bangsa, apakah perlu dan mungkin untuk “mengorbankan” suatu generasi? Dalam perubahan sosisl yang bersifat damai saya kira gagasan “mengorbankan suatu generasi” ini tidak pernah ada. Yang selalu “memakan korban” ialah perubahan sosial yang mempergunakan kekerasan yaitu revolusi atau anarkisme dalam revolusi. Dan dalam revolusi serta
anarkisme ini yang menjadi korban bukanlah suatu “generasi”, melainkan suatu “kelas sosial”. Dalam revolusi Perancis yang menjadi korban ialah kelas ningrat. Dalam revolusi Rusia zaman Lenin yang menjadi korban ialah kelas ningrat dan kelas borjuis. Dan siapa yang menjadi korban dalam Revolusi Kemerdekaan tahun 1945-1949? Korban utama menurut pandangan sasya ialah kelas marjinal yang bernama kaum “Indo”, yaitu keturunan perkawinan campuran Indonesia-Belanda. Dari suatu kelas sosial yang turut memiliki kekuasaan kolonial, dan turut menikmati perlakuan-perlakuan istimewa (ispedial privileges) dalam zaman kolonial Hindia – Belanda, golongan ini menjadi cerai berai dan hilang dari masyarakat Indonesia Merdeka. Mereka “diungsikan” ke Negeri Belanda, tetapi di Negeri Berlanda sendiri mereka tidak diterima secara penuh oleh masyarakat Belanda. Banyak di antara mereka yang lalu bermigrasi ke negara-negara Barat lainnya di luar Negeri Belanda. Kenyataan ini rupanya tidak cukup dipikirkan oleh mereka yang menganjurkan perlunya untuik “mengorbankan” suatu generasi.

Oleh: (Alm) Mochtar Buchori

Makalah yang disampaikan pada “Simposium tentang Peran Guru dalam Perubahan Sosial Politik Bangsa”

Diselenggarakan di Aula SMU 6 Bulungan pada 15 Mei 2009 oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah DKI, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).

Cerita Perubahan

About the author

lingkarLSM hadir untuk menemani pertumbuhan. Kami mengidamkan masyarakat sipil yang jujur dan punya harga diri. Kami membayangkan ribuan organisasi baru akan tumbuh dalam tahun-tahun perubahan ke depan. Inilah mimpi, tujuan dan pilihan peran kami. Paling tidak, kami sudah memberanikan diri memulai sebuah inisiatif; dan berharap langkah kecil ini akan mendorong perubahan besar.
No Responses to “Pendidikan untuk Melahirkan Generasi Baru (Bagian 2/4)”

Leave a Reply